Kamis, 14 Juli 2011

Gunungan Cirit

aku bukan penyair besar yang berbakat..
humorku tak selucu Moliere, romantika kataku tak seromantis Shakespeare..
aku tak bisa tak bisa memantra seperti Sutardji Calzoum Bachri, atau berpuisi selugas Chairil Anwar.. Rentetan ceritaku tak sehebat Pramoedya Ananta Toer ataupun Putu Wijaya.. Karyaku pun tak bisa mendobrak kebekuan angkatan seperti Armijn Pane, tak bisa membawa nilai budaya layaknya Andrea Hirata.. Apalagi religius seperti Kang Abik..
Sesukses Seno Gumira Ajidarma, STA, SAnusi Pane, dan lain-lain..
Aih, jauh.. Nama-nama itu hanya bisa kudengar dan kubaca.. Bisa gila sendiri kalau memikirkan karya-karya mereka..
Yang penting aku berusaha dulu untuk tetap menulis dan kembali menulis..
persetan mau jadi apa.. menjadi seperseribu dari mereka pun jadilah.. sepersemilyar bila perlu..
tulis sajalah.. ada satu pelajaran yang aku dapat dari mereka, mereka pun bersusah payah dulu untuk bisa menjadi dikenal seperti sekarang..
dalam bahasaku, dimulai dari secirit, baru jadi segunung.. kalau tidak bisa jadi gunung, jadi kumpulan cirit pun jadilah.. hahahahaha...

Jumat, 01 Juli 2011

Alunan Sendu

Kini dia bisa melihat anaknya yang tengah bermain di halaman depan rumah. Matanya sayu melihat anak kecil itu. Tiga tahun lalu adalah saat terakhir kalinya ia melihat anaknya itu. Saat itu anaknya masih dalam gendongan si ibu. Sudah lama sekali. Begitu lama hingga rindu itu sudah tak tertahankan dan dia akan melakukan apapun untuk bertemu lagi dengan putrinya tercinta, seperti sekarang. Orang tua mana yang sanggup berpisah sekian lama dari anaknya. Begitupun lelaki itu. Ia sudah mencapai batas kesanggupannya menahan rindu akan putri kecilnya. Perlahan matanya basah.
Sementara ibu anak itu, hanya berdiri mematung tanpa suara menyaksikan kedatangan suaminya. Tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Para tetangga yang tadinya sibuk sendiri-sendiri di teras rumah masing-masing pun seperti tersihir dan diam, takjub melihat pemandangan itu.
Pria itu kemudian mendekati anaknya yang masih sibuk bermain. Diangkat, lalu digendongnya. Si anak hanya diam tak mengerti. Ditatapnya dalam-dalam wajah anaknya itu. “Wajah inilah yang selalu ingin kulihat. Wajah inilah yang membuat aku memendam rindu tak terkira. Anakku, ayah pulang.” Itulah kata-kata yang diucapkan lelaki itu. Diciuminya kening anaknya yang kemudian tersenyum. Lelaki itu mencium anaknya sekali lagi, penuh dengan cinta seorang ayah yang tulus. Ia tak peduli tangan anaknya telah mengotori seragamnya. Yang ia tahu, tak sia-sia ia pulang lebih cepat. Senyuman itu.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. “Dor. Dor. Dor.”
Anak kecil itu menangis ketakutan. Merah hangat merembes dari seragam narapidana sang lelaki. Beberapa peluru telah mengenai punggungnya. Lelaki itu roboh, namun tetap memeluk erat anaknya. Kemudian dengan linangan air mata, ia berkata, “Jangan menangis, anakku. Tetaplah tersenyum.” Sesaat setelah itu pelukannya mengendur dan akhirnya tak bertenaga sama sekali. Lelaki itu meregang nyawa.
Beberapa meter dari situ terlihat beberapa polisi yang mengacungkan pistolnya. Salah seorang di antaranya kemudian berteriak, “Rasakan itu. Berani-beraninya perampok seperti kau melarikan diri.”
Anak tadi hanya menangis tersedu. Ketakutan dan tidak mengerti apa yang terjadi. Tangis yang mengalun dengan sendu.

***
Banyuasin, 16 September 2010

Para Peminta-minta

Mereka tidak kuhiraukan. Dua orang muda yang menyanyi di dalam bis yang kunaiki dalam perjalanan pulang itu. Memang kasihan, setiap hari luntang-lantung tak jelas. Tak peduli panas yang menyengat atau dingin hujan yang menusuk, mereka selalu begitu. Tapi apa boleh buat. Aku juga ingin menuruti aturan pemerintah yang melarang untuk memberi pada mereka.
Lagi pula, aku memang tidak terlalu suka pada mereka. Bukan karena aku sombong. Aku juga bukan orang kaya. Kalau aku kaya, aku tidak akan ada di dalam bis tua yang sesak ini. Kalau aku kaya, aku pasti di dalam mobil pribadi dengan supir pribadi pula, kalau perlu aku juga akan membangun jalan pribadi. Tapi kenyataannya aku hidup pas-pasan. Tapi walau aku hidup dalam kondisi yang pas-pasan, aku selalu berusaha untuk berdiri tegak di atas kekuatan sendiri.
Lihat mereka berdua itu. Mereka masih muda, kelihatannya usia mereka tidak berbeda jauh dariku. Lihat pakaian mereka. Bahkan lebih bagus dan lebih keren daripada yang aku kenakan. Lihat juga rambut dan dandanan mereka, jauh lebih modis dari aku. Maklumlah, aku juga tak punya uang untuk hal-hal seperti itu.
Tampaknya mereka sadar juga akan ‘kesederhanaanku’ itu. Sehingga mereka sengaja lewat dan tidak meminta padaku setelah selesai menyanyi. “Baguslah”, gumamku dalam hati.
Tak lama, aku turun dari bis. Kemudian berjalan menyusuri rute yang biasa kulewati setiap pulang. Masih jauh, tapi memang tidak ada angkutan umum yang lewat rute ini. Lebih enak naik ojek, tapi itu berarti menyiksa kantong orang tuaku sendiri yang penghasilannya tidak seberapa.
Baru lima menit aku berjalan, aku melihat pemandangan lain. Seorang wanita paruh baya duduk di pinggir jalan. Menunggu orang yang lewat mengeluarkan uang mereka dan memasukkannya ke sebuah kotak yang ia letakkan di depannya.
Sekonyong-konyong aku ingat ucapan guru agamaku di sekolah. “Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang, jika ia sendiri tidak berusaha merubah nasibnya”. Kurang lebih seperti itu yang guruku ucapkan.
Bukannya aku bermaksud menghina wanita itu. Tapi ia masih tergolong orang yang sehat. Anggota tubuhnya lengkap. Mengapa ia tidak mencoba mengubah nasib dengan mencari penghasilan dengan cara lain? Pembantu rumah tangga, buruh cucian, atau bahkan pemulung menurutku lebih terhormat.
Ah, tapi itu kan hanya pendapatku pribadi. Tidak mesti jadi pendapat umum. Lagi pula siapa yang mau mendengar pendapat anak SMP sepertiku. Pasti wanita itu punya pertimbangannya sendiri.
Aku melanjutkan perjalanan dengan penuh syukur. Walau ayah hanya seorang supir dan ibu tukang jahit, kami tidak perlu meminta-minta pada orang lain. Walau tak bisa tampil dengan gaya seperti teman-teman, setidaknya aku masih bisa sekolah. Terlebih, paman sering datang dan memberi bantuan untuk kami. Tidak besar jumlahnya, tapi cukup berarti bagi kami sekeluarga.
Sambil terus bersyukur aku tetap melangkahkan kaki. Kali ini ketika aku kembali meneruskan perjalanan, aku melewati beberapa anak kecil dengan pakaian lusuh dan sangat kotor. Mereka tampaknya juga bagian dari para peminta-minta. Sekilas aku mendengar mereka akan segera menyetorkan penghasilan mereka pada bos mereka. Kudengar juga mereka menyebutkan nominal uang yang harus mereka setor setiap hari.
Mendengar jumlah setoran itu, sontak kupingku panas. Siapa yang dengan tega menyuruh mereka jadi pengemis seperti ini? Sementara ia sendiri hanya berdiam diri dan menunggu setoran di tempat yang nyaman. Sangat keterlaluan.
Aku ingin tahu wajah bos mereka. Aku pun mengikuti mereka dengan tetap menjaga jarak. Rasanya ingin kuhabisi orang yang memaksa mereka mempunyai mental peminta-minta sejak kecil. Tak tahukah dia bahwa anak-anak inilah penerus bangsanya? Kalau dari kecil sudah mengemis, kapan negara ini akan punya putra-putri terbaik yang mandiri yang bisa membesarkan bangsa?
Sekitar lima belas menit aku membuntuti mereka. Masuk ke lorong kecil di antara gedung tinggi. Dari jauh aku lihat anak-anak itu menuju sebuah rumah kecil. Di terasnya ada beberapa orang. Tampaknya beberapa pengamen dan pengemis dari berbagai usia. Di antara mereka kulihat ada dua pengamen yang tadi kutemui di bis, ada juga wanita paruh baya yang tadi kulihat. Mereka semua menyetor uang pada seseorang yang gemuk dan berpakaian paling rapi di situ. Aku yakin dialah bosnya.
Setelah meyakinkan diri, aku mempercepat langkah menuju rumah itu. Ingin kulabrak bosnya itu. Aku benar-benar ingin melihat dan kemudian cepat-cepat menghancurkan wajah bajingan itu.
Orang-orang di situ kaget melihat kedatanganku. Mereka terdiam dan terperangah melihatku yang tampaknya penuh kemarahan. Tapi aku tidak menggubris. Yang ada di otakku hanyalah sosok gendut yang wajahnya kini mulai terlihat walau masih samar. Semakin lama semakin jelas wajah orang itu. Tanganku sudah mengepal siap meninju wajah orang itu. Amarahku hampir tak terbendung lagi pada penghancur mental anak bangsa ini. Darah mudaku sudah benar-benar mendidih.
Akhirnya aku berada cukup dekat untuk melihat wajahnya dengan jelas. Ia juga menatap padaku. Sedetik ia terlihat terkejut, namun sejurus kemudian ia tersenyum dan berkata padaku. “Hai Rio! Kebetulan sekali, malam ini rencananya aku akan datang ke rumahmu.”
Aku hanya terdiam. Seketika amarahku lenyap. Berganti dengan perasaan lain yang tak bisa aku jelaskan. Kemudian dari mulutku hanya bisa terucap kata dengan terbata. “Pa.. Paman?”

***

Banyuasin, 6 September 2010

Lingkaran Setan

Sore itu aku merapikan kantorku sebelum bersiap pulang. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Kuhela napas, ingin beristirahat sebentar, lalu aku duduk di kursi yang biasa kududuki. Sepintas aku melihat bayangan yang terpantul dari cermin di ruangan besar itu. Wajah itu mulai tua, keriput mulai muncul, uban pun mulai menjarah di kepala. Aku tepekur. Ternyata aku sudah mulai tua. Tak sekuat dulu, tak segagah dulu, tak sehebat dulu ketika masih muda.
Saat umurku belasan, tak ada yang bisa menghalangi jiwa muda ini. Aku teringat betapa susahnya aku kuliah. Setiap hari adalah perjuangan. Kondisi ekonomi yang menghimpit tak membuat aku goyah. Mataku lurus menatap harapan di masa depan. Walau harus tertatih melangkah, kobar semangat itu tak ada tanda akan memudar.
Langkah mudaku itu terus bergelora. Aku melanjutkan pendidikan mengambil gelar Master. Tak kalah susahnya mengalahkan tantangan-tantangan yang datang silih berganti.
Aku ingat motivasiku saat itu. Merubah dunia. Bukan merubah dunia secara keseluruhan, tapi aku ingin merubah dunia Indonesiaku ini.
Negara ini sudah tua tapi tak kunjung jadi dewasa. Negara ini kaya tapi tetap terpuruk dalam kemiskinannya. Bangsa ini besar tapi bertahan dalam kekerdilan warga-warganya. Negara ini butuh berubah dan akulah yang akan menjadi tokoh perubahan itu. Itulah yang kupikir.
Untuk mencapai itulah aku berjuang. Seorang yang tak punya kekuatan dan pengaruh tak akan mampu membuat perubahan pada negaraku ini. Demi mengubah semua itu, aku harus menjadi seorang tokoh. Untuk menjadi tokoh itu aku butuh kekuatan dan kekuatan itu akan kudapatkan dengan belajar.
“Hhh.. Cita-cita anak muda.”
Kataku saat aku tersadar dari lamunanku. Kulanjutkan lagi membereskan kantor. Tapi sekali lagi aku terkenang masa lalu saat kubuka laci di bawah meja kerjaku. Di sana ada sebuah photo berbingkai. Photo saat aku dan kawan-kawan melakukan demonstrasi.
Aku kemudian terhanyut dalam kenangan masa itu.
Akulah pemimpin demonstrasi itu. Menuntut para pejabat korup agar turun dari tahtanya. Milyaran bahkan triliyunan rupiah negara dirugikan karena mereka. Karena merekalah negara ini tak kunjung maju.
Sejak itulah aku bertekad akan menjadi pejabat negara ini. Aku akan membenahi negara ini dengan menjadi pejabat. Menggantikan para koruptor itu dan mengganti seluruh sistem yang penuh dengan kebusukan ini. Sejak itu juga, semangat mudaku semakin menggelegak untuk belajar dan belajar.
Tapi ternyata mimpi itu tak mudah terwujud. Besok aku harus meninggalkan kantor ini dan menyerahkan surat pengunduran diriku. Aku baru merasa betapa duduk di sini sangat melenakan. Aku juga baru sadar bahwa godaan itu tak mudah ditaklukan. Mungkin karena diri ini sudah tua hingga tak sanggup lagi berdiri di atas idealisme muda itu.
Aku harus memenuhi permintaan para mahasiswa yang sudah seminggu penuh ini menggugatku dari singgasanaku. Setelah aku sukses menjadi pejabat selama beberapa tahun ini, sekarang aku digugat karena kasus korupsi kelas kakap. Aku sendiri hampir tidak percaya bahwa korupsi itu, aku sendiri yang merancanakan dan menjadi otaknya.
Sekarang aku baru sadar dengan sepenuhnya. Tak mudah merubah duniaku ini. Aku sendiri yang melecehkan mimpi mudaku.
Kutatap lagi photo saat aku memimpin demonstrasi memberantas korupsi. Sejenak kemudian kuingat-ingat wajah mahasiswa yang kini menjadi pemimpin demo untuk menurunkanku. Lalu aku berkata dalam hati. Dengan sangat tulus, tak pernah lagi aku setulus ini setelah duduk di singgasana ini. “Tuhan, kumohon jangan jadikan kejadian ini sebagai lingkaran setan yang tak berkesudahan.”

Banyuasin, 1 September 2010

Permainan Para Raja

Ini adalah permainan para raja
Sementara kita adalah para pion
Kita yang saling tikam dan bunuh di baris terdepan
Berdarah dan terbuang
Berteriak “perang” dan “hantam”
Lalu mereka tertawa di belakang
Para raja, tersenyum dan kembali berpikir
Pion mana lagi yang akan ditumbalkan
agar aku menang?
Raja hitam dan raja putih
Membawa semangat regenerasi
yang telah didoktrin memusuhi
Kulihat sudah ribuan korban perang ini
Tetap bermimpi para raja turun gunung
Dan mengakhiri permainan mereka
Cukuplah sudah!
Jangan libatkan kami lagi!


Indralaya, 28 Juni 2011

Memori Sandal Jepit Sebelah Kiri

Ah, gadis! Ke mana yang kanan? Mengapa kiri semua?
tajam karang yang terinjak kaki saat kita akan ke tengah lautan itu..
tidak terlalu kurasa karena tertutupi riang hati bersamamu, jilid dua..
lebih berat memang kali ini..
berapa kali terjatuh, jatuh, dan menjatuhkan diri..
lebih lelah memang kali ini..
melelapkan saat kita bermimpi..
perjalanan ini panjang dan berliku..
sempat kita tersesat dan tak tahu jalan pulang..
tapi semua terbayar saat deras angin menerpa tubuh yang letih..
saat suara debur ombak yang berbuih putih dan gemercik cipratannya di tepian..
saat itulah kita saksikan tenggelamnya sang raja.. dengan anggun menghilang perlahan..
adakah ini bulan madu?
......
batas tak berlaku bagiku dan kau, kita lewati batas-batas itu..
kita lewati untuk kemudian kembali ke kampung halaman..
dan beristirahat.. dan bersiap kembali..
bersiaplah! tempat berikutnya menanti, sayang..

diselesaikan di Indralaya, 28 Juni 2011