Selasa, 10 April 2018

Orang yang Selalu Ingin Marah


Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspress edisi Maret 2018

Bosku itu sepertinya ketagihan untuk marah. Sehari saja ia tidak marah, mungkin akan muncul sariawan di mulutnya. Jadi jangan heran jika suatu hari kau bertandang atau tidak sengaja masuk ke ruang kantor kami dan menemukan bosku sedang marah-marah. Memang begitulah dia.
Aku dan Fajri, rekan satu divisi di kantor ini, sudah hafal dengan sifat bos kami. Setiap hari kami mencoba berbuat sebaik mungkin, tapi selalu saja ada kesalahan yang terlihat oleh bos dan membuatnya marah. Awalnya kami benar-benar mengira bahwa kami berdua adalah orang bodoh yang tidak pernah bekerja dengan becus. Namun, lama-lama kami tahu bahwa tidak demikian adanya. Masalahnya bukan pada kami, tapi dia.
Setelah marah, dia akan tampak sedikit lebih tenang. Kami bahkan juga sadar bahwa lebih baik jika dia marah pagi-pagi. Sebab dengan begitu, ia tidak akan marah lagi sampai jam pulang. Tapi, jika dia belum marah sampai menjelang pulang, maka berhati-hatilah. Ia akan mencaci-maki antara sepuluh sampai lima belas menit sebelum pulang. Tentu itu akan jadi penutup yang buruk untuk sebuah hari kerja.
***

Minggu lalu, bosku mendapatkan perintah dari bosnya. Ia disuruh untuk membuat laporan kemajuan program divisi kami. Dan bosku itu dengan santainya menunjuk aku dengan telunjuk yang mengarah tepat ke hidungku dan berkata, “Kau saja yang kerjakan. Aku sudah capek. Aku sudah terlalu tua. Kau yang masih muda yang mengerjakannya.”
Kalimat itu lagi. Selalu. Sebenarnya aku sudah teramat sungguh sangat benar-benar muak sekali dengan kalimat-kalimat andalannya itu.
Bayangkan! Laporan kemajuan program divisi dibuat olehku. Lalu apa tugas dia sebagai ketua divisi? Aku melirik pada Fajri. Menggelengkan kepala melihat kelakuan sang bos.
“Tolong ya,” imbuhnya kemudian. Tanpa mengubah ekspresi.
***

Selain pemarah, dia juga pelupa. Mungkin karena benar dia sudah tua. Dua tahun lagi pensiun. Masalahnya, sering kali ia jadi marah dan menyalahkan orang lain karena kelupaannya sendiri.
“Mana berkas yang aku minta?”
“Berkas apa, Pak?” aku bingung.
“Berkas yang tadi aku minta.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Yang tentang laporan keuangan bulan ini.”
“Sudah saya serahkan ke Bapak tadi.”
“Iya. Tapi sekarang aku tidak pegang berkasnya. Paling sudah kamu ambil lagi. Mana?”
Aku diam. Mencoba menahan emosi.
“Maaf, Pak. Tadi seingat saya yang terakhir pegang berkas itu memang Bapak,” Fajri menyela. Tampaknya ia ikut kesal.
“Tidak ada. Aku tidak ingat pernah memegangnya. Dengar tidak? Tidak ada. TIDAK ADA,” nada bos meninggi.
“Nanti di-print satu rangkap lagi saja, Pak,” Fajri menjawab.
“Jangan nanti. Sekarang. Kerja itu jangan ditunda-tunda. Kalau nanti terus, kapan mau buatnya? Sekarang.”
Setelah mengatakan itu, bos kami itu kembali ke kursi kekuasaannya. Membuka gawai dan membaca gosip-gosip terkini tentang artis nusantara. Meskipun dongkol, aku sedikit merasa lega karena hari ini bos sudah marah. Temperamennya akan jadi sedikit lebih baik di sisa jam kerja. Sepertinya Fajri berpikiran tak beda denganku.
Di hari yang sama, setelah jam kerja selesai dan bos pulang, aku membereskan ruangan seadanya. Tak sengaja kulihat di meja bos ada dua rangkap laporan keuangan bulan ini.
***

Dengan bantuan Fajri, keesokan harinya laporan kemajuan program divisi kami pun rampung. Aku berjalan menuju meja bos. Menyerahkan tumpukan kertas yang telah terjilid rapi itu. Bos kami meletakkan gawainya di meja dan mengalihkan pandangan ke arah barang yang kubawa.
“Serahkan pada –menyebut nama bosnya-. Laporan ini ditunggunya paling lambat hari ini juga. Jam 3. Begitu tadi katanya,” ujar bosku.
Kulihat jarum di jam tanganku, setengah jam lagi menuju jam 3. Aku benar-benar kesal melihat tingkah bosku ini. Tapi kulakukan juga apa yang ia perintahkan. Bagaimanapun, ia masih bosku. Menjelang keluar dari ruangan, Fajri memberi isyarat yang berarti, “Hari ini bos belum marah.”
Aku tahu. Artinya aku harus menyelesaikan tugas yang diberikan ini dengan baik, sebab jika tidak, bos akan mendapatkan alasan untuk marah.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan bosnya bosku, aku terus-menerus mengingat-ingat Tuhan dan memohon agar diberikan kesabaran menghadapi semua ini. Saat sampai, sekretaris bosnya bosku mengatakan bahwa yang aku cari sedang rapat mendadak dengan dewan direksi. Rapatnya mungkin akan berlangsung lama.
Aku sedikit tercenung, berpikir. Jika aku kembali ke ruanganku dan bos tahu bahwa ‘tanggung jawabku’ ini belum terlaksana, tentu ia akan mengamuk. Jadi, aku putuskan untuk menunggu saja bosnya bosku itu selesai rapat.
Jam 3 lewat lima belas menit, rapat itu selesai. Bosnya bosku keluar ruangan. Aku menghampiri, tapi dia, dengan sangat sopan, memintaku untuk menunggu sebentar lagi sebab ia harus ke toilet barang dua atau tiga menit. Tentu saja aku mengangguk.
Saat bosnya bosku itu di dalam toilet itulah, bosku datang.
“Sudah kau berikan belum laporan itu? Kenapa lama sekali, hah?”
Belum sempat aku menjawab, ia melihat bahwa aku masih memegang berkas yang dimaksud. Kontan saja wajahnya memerah. Berkas di tanganku itu diambilnya secara paksa. Dengan nada tinggi ia berujar lantang, “Yang begitu saja tidak becus. Apa guna kau kerja di sini, hah? Bekerja kok tidak tuntas!”
Ya. Ia mengucapkan itu di hadapan semua dewan direksi lain yang baru keluar dari ruang rapat, dan tentu saja di hadapan bosnya bosku yang baru keluar dari toilet. Setelah mendengar itu, semua orang menatapku.
***

“Apa bos sudah marah hari ini?” tanya Fajri.
Aku menggelengkan kepala. Belum. Sekarang jam kantor tinggal sebentar lagi. Bos sedang ke toilet. Seperti yang sudah kukatakan. Berdasarkan pengalaman, jika sampai jam segini bos kami belum marah, ia akan mencari-cari alasan sekecil apapun untuk dijadikan bahan amuk. Maka kami pun mengecek hal-hal apa saja yang mungkin akan jadi alasannya untuk marah. Tidak ketemu.
Kami pasrah. Jika tidak tahu apa yang mungkin membuatnya marah, maka tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mencegahnya, atau paling tidak mengurangi kadar marahnya itu.
Dalam kondisi pasrah itu, bos kami keluar dari toilet. Berjalan menuju kursi kekuasaannya. Matanya menyusuri ruangan, senti demi senti. Aku dan Fajri menahan napas.
“Laporan harian sudah?” ia memulai.
“Sudah,” jawab kami serentak.
“Sudah dicetak?”
“Sudah.”
“Dijilid?”
“Sudah.”
“Rekap harga pasaran?”
“Sudah.”
“Sudah dicek betul-betul? Tidak ada kesalahan rekap?”
“Sudah, Pak.”
“Grafik penjualan?”
“Sudah.”
“Mana buktinya?”
Kami pun menunjukkan hasil kerja kami masing-masing yang sudah terbaring indah di atas mejanya. Ia membukanya. Membaca sepintas. Tampak sekali mencari-cari celah kesalahan. Tapi sepertinya tidak ketemu. Ia mulai gelisah. Ingin segera menemukan alasan untuk marah.
Matanya ia edarkan sekali lagi ke seluruh sudut ruangan. Memperhatikan mili demi mili. Namun, sepertinya tetap tidak ketemu. Karena memang semua sudah kami kerjakan dengan sebaik mungkin. Kegelisahan bos kami semakin terlihat. Ia sudah benar-benar ingin marah, tapi belum menemukan alasan.
Lalu, tanpa kami sangka, ia menunjuk dua rangkap laporan keuangan bulanan yang ada di atas mejanya.
“Kenapa laporan keuangan bulanan ini bisa ada dua rangkap, hah?”
Hening sejenak.
“Kenapa? Kan cukup satu saja. Ini pemborosan. Buang-buang uang.”
“Karena Bapak yang minta,” jawabku akhirnya.
“Tidak mungkin,” nadanya meninggi.
“Betul, Pak,” Fajri menyela, “Waktu itu laporan sudah dibuat, tapi Bapak bilang tidak ada. Lalu Bapak minta dibuatkan satu rangkap lagi. Makanya sekarang ada dua rangkap laporan bulanan.”
Wajah bos kami mulai memerah, “Jangan mengada-ada kau, ya!”
“Saya tidak mengada-ada, Pak.”
“Kau pikir aku sudah pelupa? Apa buktinya, hah?” bos kami meledak.
Tanpa kuduga, Fajri mengeluarkan gawainya. Memutar rekaman suara dari kejadian beberapa hari lalu. Aku benar-benar terkejut ketika mengetahui bahwa Fajri begitu nekat merekam adegan itu di telepon selulernya.
Demi mendengar rekaman itu, mulut bos kami mengatup. Wajahnya benar-benar merah kali ini. Gerahamnya bergemelutuk. Tangannya gemetar. Matanya menatap nyalang. Ia muntab, tapi tak bisa menyalahkan kami sebab sekarang ada bukti kuat bahwa kami tidak bersalah. Aku menahan napas untuk menutupi rasa takut.
“Dasar, tua bangka. Apalagi yang mau kau katakan, hah? Mau marah dengan siapa lagi kau kali ini? Kerjamu yang tak becus, dan kau mau menyalahkan orang lain?”
Aku dan Fajri menganga, tapi belum sempat berkata apa-apa, bos kami telah melanjutkan.
“Kau sendiri yang lupa,” tangannya menggampar meja. “Kau pikir orang lain tak tahu, hah? Kau tua dan tak tahu diri. Hanya mengandalkan jabatan yang tak seberapa.”
Berikutnya kata-kata kotor yang tidak pantas untuk dituliskan di sini berhamburan keluar dari mulutnya. Belum pernah kami saksikan dia semarah itu. Napasnya megap-megap.
Itu adalah marahnya yang paling lama yang pernah kami saksikan. Setengah jam ia mengumpati diri sendiri tanpa henti. Tapi, setelah setengah jam itu ia tampak puas. Benar-benar puas. Lalu tersenyum.
Aku dan Fajri mengernyitkan dahi. Pulang dalam bingung.
***

ART.
Banyuasin, 18 Januari 2017