Sore itu aku merapikan kantorku sebelum bersiap pulang. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Kuhela napas, ingin beristirahat sebentar, lalu aku duduk di kursi yang biasa kududuki. Sepintas aku melihat bayangan yang terpantul dari cermin di ruangan besar itu. Wajah itu mulai tua, keriput mulai muncul, uban pun mulai menjarah di kepala. Aku tepekur. Ternyata aku sudah mulai tua. Tak sekuat dulu, tak segagah dulu, tak sehebat dulu ketika masih muda.
Saat umurku belasan, tak ada yang bisa menghalangi jiwa muda ini. Aku teringat betapa susahnya aku kuliah. Setiap hari adalah perjuangan. Kondisi ekonomi yang menghimpit tak membuat aku goyah. Mataku lurus menatap harapan di masa depan. Walau harus tertatih melangkah, kobar semangat itu tak ada tanda akan memudar.
Langkah mudaku itu terus bergelora. Aku melanjutkan pendidikan mengambil gelar Master. Tak kalah susahnya mengalahkan tantangan-tantangan yang datang silih berganti.
Aku ingat motivasiku saat itu. Merubah dunia. Bukan merubah dunia secara keseluruhan, tapi aku ingin merubah dunia Indonesiaku ini.
Negara ini sudah tua tapi tak kunjung jadi dewasa. Negara ini kaya tapi tetap terpuruk dalam kemiskinannya. Bangsa ini besar tapi bertahan dalam kekerdilan warga-warganya. Negara ini butuh berubah dan akulah yang akan menjadi tokoh perubahan itu. Itulah yang kupikir.
Untuk mencapai itulah aku berjuang. Seorang yang tak punya kekuatan dan pengaruh tak akan mampu membuat perubahan pada negaraku ini. Demi mengubah semua itu, aku harus menjadi seorang tokoh. Untuk menjadi tokoh itu aku butuh kekuatan dan kekuatan itu akan kudapatkan dengan belajar.
“Hhh.. Cita-cita anak muda.”
Kataku saat aku tersadar dari lamunanku. Kulanjutkan lagi membereskan kantor. Tapi sekali lagi aku terkenang masa lalu saat kubuka laci di bawah meja kerjaku. Di sana ada sebuah photo berbingkai. Photo saat aku dan kawan-kawan melakukan demonstrasi.
Aku kemudian terhanyut dalam kenangan masa itu.
Akulah pemimpin demonstrasi itu. Menuntut para pejabat korup agar turun dari tahtanya. Milyaran bahkan triliyunan rupiah negara dirugikan karena mereka. Karena merekalah negara ini tak kunjung maju.
Sejak itulah aku bertekad akan menjadi pejabat negara ini. Aku akan membenahi negara ini dengan menjadi pejabat. Menggantikan para koruptor itu dan mengganti seluruh sistem yang penuh dengan kebusukan ini. Sejak itu juga, semangat mudaku semakin menggelegak untuk belajar dan belajar.
Tapi ternyata mimpi itu tak mudah terwujud. Besok aku harus meninggalkan kantor ini dan menyerahkan surat pengunduran diriku. Aku baru merasa betapa duduk di sini sangat melenakan. Aku juga baru sadar bahwa godaan itu tak mudah ditaklukan. Mungkin karena diri ini sudah tua hingga tak sanggup lagi berdiri di atas idealisme muda itu.
Aku harus memenuhi permintaan para mahasiswa yang sudah seminggu penuh ini menggugatku dari singgasanaku. Setelah aku sukses menjadi pejabat selama beberapa tahun ini, sekarang aku digugat karena kasus korupsi kelas kakap. Aku sendiri hampir tidak percaya bahwa korupsi itu, aku sendiri yang merancanakan dan menjadi otaknya.
Sekarang aku baru sadar dengan sepenuhnya. Tak mudah merubah duniaku ini. Aku sendiri yang melecehkan mimpi mudaku.
Kutatap lagi photo saat aku memimpin demonstrasi memberantas korupsi. Sejenak kemudian kuingat-ingat wajah mahasiswa yang kini menjadi pemimpin demo untuk menurunkanku. Lalu aku berkata dalam hati. Dengan sangat tulus, tak pernah lagi aku setulus ini setelah duduk di singgasana ini. “Tuhan, kumohon jangan jadikan kejadian ini sebagai lingkaran setan yang tak berkesudahan.”
Banyuasin, 1 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar