Mereka tidak kuhiraukan. Dua orang muda yang menyanyi di dalam bis yang kunaiki dalam perjalanan pulang itu. Memang kasihan, setiap hari luntang-lantung tak jelas. Tak peduli panas yang menyengat atau dingin hujan yang menusuk, mereka selalu begitu. Tapi apa boleh buat. Aku juga ingin menuruti aturan pemerintah yang melarang untuk memberi pada mereka.
Lagi pula, aku memang tidak terlalu suka pada mereka. Bukan karena aku sombong. Aku juga bukan orang kaya. Kalau aku kaya, aku tidak akan ada di dalam bis tua yang sesak ini. Kalau aku kaya, aku pasti di dalam mobil pribadi dengan supir pribadi pula, kalau perlu aku juga akan membangun jalan pribadi. Tapi kenyataannya aku hidup pas-pasan. Tapi walau aku hidup dalam kondisi yang pas-pasan, aku selalu berusaha untuk berdiri tegak di atas kekuatan sendiri.
Lihat mereka berdua itu. Mereka masih muda, kelihatannya usia mereka tidak berbeda jauh dariku. Lihat pakaian mereka. Bahkan lebih bagus dan lebih keren daripada yang aku kenakan. Lihat juga rambut dan dandanan mereka, jauh lebih modis dari aku. Maklumlah, aku juga tak punya uang untuk hal-hal seperti itu.
Tampaknya mereka sadar juga akan ‘kesederhanaanku’ itu. Sehingga mereka sengaja lewat dan tidak meminta padaku setelah selesai menyanyi. “Baguslah”, gumamku dalam hati.
Tak lama, aku turun dari bis. Kemudian berjalan menyusuri rute yang biasa kulewati setiap pulang. Masih jauh, tapi memang tidak ada angkutan umum yang lewat rute ini. Lebih enak naik ojek, tapi itu berarti menyiksa kantong orang tuaku sendiri yang penghasilannya tidak seberapa.
Baru lima menit aku berjalan, aku melihat pemandangan lain. Seorang wanita paruh baya duduk di pinggir jalan. Menunggu orang yang lewat mengeluarkan uang mereka dan memasukkannya ke sebuah kotak yang ia letakkan di depannya.
Sekonyong-konyong aku ingat ucapan guru agamaku di sekolah. “Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang, jika ia sendiri tidak berusaha merubah nasibnya”. Kurang lebih seperti itu yang guruku ucapkan.
Bukannya aku bermaksud menghina wanita itu. Tapi ia masih tergolong orang yang sehat. Anggota tubuhnya lengkap. Mengapa ia tidak mencoba mengubah nasib dengan mencari penghasilan dengan cara lain? Pembantu rumah tangga, buruh cucian, atau bahkan pemulung menurutku lebih terhormat.
Ah, tapi itu kan hanya pendapatku pribadi. Tidak mesti jadi pendapat umum. Lagi pula siapa yang mau mendengar pendapat anak SMP sepertiku. Pasti wanita itu punya pertimbangannya sendiri.
Aku melanjutkan perjalanan dengan penuh syukur. Walau ayah hanya seorang supir dan ibu tukang jahit, kami tidak perlu meminta-minta pada orang lain. Walau tak bisa tampil dengan gaya seperti teman-teman, setidaknya aku masih bisa sekolah. Terlebih, paman sering datang dan memberi bantuan untuk kami. Tidak besar jumlahnya, tapi cukup berarti bagi kami sekeluarga.
Sambil terus bersyukur aku tetap melangkahkan kaki. Kali ini ketika aku kembali meneruskan perjalanan, aku melewati beberapa anak kecil dengan pakaian lusuh dan sangat kotor. Mereka tampaknya juga bagian dari para peminta-minta. Sekilas aku mendengar mereka akan segera menyetorkan penghasilan mereka pada bos mereka. Kudengar juga mereka menyebutkan nominal uang yang harus mereka setor setiap hari.
Mendengar jumlah setoran itu, sontak kupingku panas. Siapa yang dengan tega menyuruh mereka jadi pengemis seperti ini? Sementara ia sendiri hanya berdiam diri dan menunggu setoran di tempat yang nyaman. Sangat keterlaluan.
Aku ingin tahu wajah bos mereka. Aku pun mengikuti mereka dengan tetap menjaga jarak. Rasanya ingin kuhabisi orang yang memaksa mereka mempunyai mental peminta-minta sejak kecil. Tak tahukah dia bahwa anak-anak inilah penerus bangsanya? Kalau dari kecil sudah mengemis, kapan negara ini akan punya putra-putri terbaik yang mandiri yang bisa membesarkan bangsa?
Sekitar lima belas menit aku membuntuti mereka. Masuk ke lorong kecil di antara gedung tinggi. Dari jauh aku lihat anak-anak itu menuju sebuah rumah kecil. Di terasnya ada beberapa orang. Tampaknya beberapa pengamen dan pengemis dari berbagai usia. Di antara mereka kulihat ada dua pengamen yang tadi kutemui di bis, ada juga wanita paruh baya yang tadi kulihat. Mereka semua menyetor uang pada seseorang yang gemuk dan berpakaian paling rapi di situ. Aku yakin dialah bosnya.
Setelah meyakinkan diri, aku mempercepat langkah menuju rumah itu. Ingin kulabrak bosnya itu. Aku benar-benar ingin melihat dan kemudian cepat-cepat menghancurkan wajah bajingan itu.
Orang-orang di situ kaget melihat kedatanganku. Mereka terdiam dan terperangah melihatku yang tampaknya penuh kemarahan. Tapi aku tidak menggubris. Yang ada di otakku hanyalah sosok gendut yang wajahnya kini mulai terlihat walau masih samar. Semakin lama semakin jelas wajah orang itu. Tanganku sudah mengepal siap meninju wajah orang itu. Amarahku hampir tak terbendung lagi pada penghancur mental anak bangsa ini. Darah mudaku sudah benar-benar mendidih.
Akhirnya aku berada cukup dekat untuk melihat wajahnya dengan jelas. Ia juga menatap padaku. Sedetik ia terlihat terkejut, namun sejurus kemudian ia tersenyum dan berkata padaku. “Hai Rio! Kebetulan sekali, malam ini rencananya aku akan datang ke rumahmu.”
Aku hanya terdiam. Seketika amarahku lenyap. Berganti dengan perasaan lain yang tak bisa aku jelaskan. Kemudian dari mulutku hanya bisa terucap kata dengan terbata. “Pa.. Paman?”
***
Banyuasin, 6 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar