Kamis, 10 Oktober 2019

Birokrasi Gigi

*Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos


Bala ingin menghajar siapapun yang bilang bahwa sakit gigi lebih baik daripada sakit hati. Bahkan, jika bertemu di akhirat, ia akan dengan senang hati menghajar pelantun lagu dangdut yang membuat ungkapan itu terkenal.
Lagi-lagi malam ini Bala tak bisa tidur akibat sakit gigi. Ia tak pernah semenderita itu ketika sakit hati. Istrinya pun ikut nelangsa melihat penderitaan yang dialami Bala.
 Tiga hari penuh derita itu dilalui Bala bukan tanpa usaha agar sakit giginya berkurang. Di hari pertama, tepatnya setelah pulang kerja, Bala tiba-tiba merasakan sakit luar biasa di gigi geraham kiri yang paling belakang. Sakit yang menghentak-hentak seirama dengan denyut jantungnya. Bala ingat bahwa dulunya gigi itu berlubang dan sudah ditambal tiga tahun lalu. Lalu kenapa sekarang sakit lagi?
Di hari itu juga Bala mendatangi dokter gigi yang dulu menambal giginya. Setelah mengetuk-ngetuk gigi Bala dengan alat khusus, dokter mengangguk-anggukkan kepala.
“Sepertinya tindakan yang saya ambil tiga tahun lalu itu gagal, dan ini untuk pertama kalinya sepanjang karier saya sebagai dokter gigi.”
“Jadi bagaimana, Dokter?”
“Perlu tindakan dari dokter spesialis bedah mulut.”
Dokter itu pun memberikan sebuah surat rujukan yang berisi rekomendasi tindakan lanjutan yang ditujukan pada dokter di rumah sakit khusus gigi. Bersama sedikit obat pereda nyeri, dokter itu menyerahkan surat rujukan yang telah ditulisnya kepada Bala.
“Silakan tunjukkan rujukan ini ke dokter di sana. Bapak punya asuransi kesehatan yang dari pemerintah, kan?”
Bala mengangguk. Sedikit senang karena merasa akhirnya kartu asuransi itu akan terpakai juga.
“Segera ya, Pak. Gigi Bapak ini butuh penanganan segera dari ahli bedah mulut.”
Sekali lagi Bala mengangguk. Di rumah, ia menceritakan yang terjadi pada istrinya.
***

 Bala adalah pendaftar pertama di Puskesmas pada hari itu. Ia sudah berdiri di depan pagar setengah jam sebelum jam operasional puskesmas. Namun, di bagian administrasi, ia hanya mendapatkan kekecewaan. Perawat di puskesmas menggelengkan kepala. “Maaf, Pak. Kartu asuransi Bapak ini tidak bisa digunakan.”
“Lho? Kenapa?”
“Bapak menunggak bayaran selama tiga bulan?”
“Menunggak bagaimana? Asuransi itu kan dibayari oleh kantor saya. Gaji saya sudah dipotong setiap bulan untuk itu.”
“Maaf, Pak. Tapi ini belum bisa dipakai sampai Bapak melunasi tunggakan.”
Sambil menahan sakit gigi yang semakin heboh karena obat pereda nyeri dari dokter tidak terlalu ampuh, Bala juga terpaksa menahan marah. Lalu, di hari itu juga, ia mendatangi bendahara kantornya. Dengan wajah yang merah padam. Membuat bendahara yang biasanya tampak acuh tak acuh, mau tak mau jadi sangat peduli dengan Bala.
Setelah menceritakan semua yang terjadi pada sang bendahara, Bala mendapatkan sebuah kertas berisi salinan bukti pembayaran asuransi yang telah dipotong dari gajinya setiap bulan.
“Kau ke kantor asuransi itu secepatnya, tunjukkan bukti ini. Jadi blokir atas kartu asuransimu itu bisa segera dibuka.”
Bala mengangguk. Hampir lupa mengucapkan terima kasih dan berlalu. Ia melangkah menuju kantor asuransi milik pemerintah itu. Giginya semakin sakit.
***

“Bapak sejak kapan punya kartu ini?” ujar wanita manis di depannya.
“Bulan Juli.”
“Itu Bapak buat secara mandiri atau langsung dari kantor?”
“Buat sendiri.”
“Sejak kapan pembayarannya dialihkan ke kantor?”
Bala mengambil napas dalam-dalam. Mencoba untuk tetap bersabar menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi. Menghujat wanita manis di depannya itu di dalam hati. Setelah cukup tenang, ia menjawab, “Sejak bulan Oktober.”
“Jadi begini, Bapak. Sekarang ini sedang dalam masa transisi. Selama masa transisi, Bapak masih harus tetap membayar iuran bulanan asuransi ini.”
“Gajiku sudah dipotong sejak bulan Oktober,” nada suara Bala mulai meninggi. Ia meletakkan bukti pemotongan gaji dengan tidak sabar ke hadapan sang wanita.
“Iya, Bapak. Mohon maaf. Ini bukan kebijakan saya. Memang dari pusat mengharuskan seperti itu.”
“Jadi kalian menyuruhku membayar dua kali, hah?” kali ini suara Bala benar-benar keras. Beberapa orang yang ada di dekatnya mulai menoleh. Tertarik ingin tahu apa yang terjadi.
“Sekali lagi mohon maaf, Bapak. Ini sama sekali bukan kebijakan dari saya. Saya hanya pegawai rendahan yang mengikuti instruksi dari pusat.”
Bala menggebrak meja. Satpam mulai berjalan ke arahnya. Bala bersungut, “Tak usah disuruh, aku akan keluar dari ruangan ini segera tanpa pengawalanmu.”
***

Setelah dihitung-hitung, tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan oleh Bala kecuali membayar ‘tunggakan’ yang dibebankan padanya. Bagaimanapun juga, biaya bedah mulut seperti yang dikatakan dokter bisa sampai tiga kali lipat dibandingkan ‘tunggakan’ asuransinya.
Maka hal yang selanjutnya dilakukan oleh Bala adalah pergi ke ATM, memasukkan kartu ATM-nya, menekan nomor identitas pribadi, memencet tombol pilihan ‘pembayaran asuransi’ yang tertera di layar, dan keluar dari bilik kecil itu. Ia meringis, tak tahu karena sakit gigi atau karena sisa uang di ATM yang bahkan untuk beli pecel lele di pinggir jalan pun tak cukup lagi.
Satpam segera mengenali wajah Bala ketika ia kembali ke kantor asuransi. Tampak ia bersikap waspada, namun Bala segera berkata, “Aku datang dengan damai.” Satpam pun mempersilakan ia masuk.
Ia berhadapan lagi dengan wanita manis yang sama setelah menunggu antrean selama setengah jam. Wanita itu kikuk, kentara sekali bahwa ia takut, tapi juga harus bersabar karena yang begitu itulah pekerjaannya. Hanya saja, wanita itu jadi tidak secerewet tadi.
Bala sedikit bersyukur karenanya. Ia langsung menunjukkan bukti pembayaran yang telah ia lakukan di ATM terdekat. Wanita manis itu meminta Bala untuk menunjukkan kartu asuransinya. Setelah mengetikkan beberapa huruf di keyboard komputer, ia pun berusaha tersenyum untuk kemudian berkata pada Bala, “Pemblokiran pada kartu Bapak telah dilepas dan kartu ini sudah bisa dipakai kembali untuk berobat.”
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Artinya Puskesmas pun sudah tutup. Jadi, meskipun kartu asuransinya sudah bisa dipakai, ia tetap harus menunggu sampai besok. Bala meninggalkan kantor asuransi yang dikelola pemerintah itu. Pipinya yang sebelah kiri mulai bengkak. Obat dari dokter itu memang tidak berpengaruh banyak.
Istri Bala semakin tak tega melihat kondisi suaminya, tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa.
***

Seperti hari sebelumnya, Bala menjadi pasien pertama yang mendaftar di Puskesmas. Perawat yang sama telah duduk di belakang meja. Bala memberikan kartu asuransinya. Sang perawat mengecek di komputer, kartunya sudah aktif. Ia pun menanyakan keluhan Bala dan mempersilakan Bala menuju ruang dokter gigi.
Ia sebenarnya sudah tahu bahwa meskipun sudah ada rekomendasi dari dokter praktik yang menyatakan ia harus ditangani segera oleh dokter spesialis bedah mulut, dia tidak bisa begitu saja ke rumah sakit khusus gigi dan mulut. Harus mendapat surat rujukan dari Puskesmas dulu. Dan dokter gigi di Puskesmas-lah yang nanti akan memberikan rujukan yang dimaksud.
Sekali lagi, Bala sudah tahu itu, tapi yang tidak dia tahu adalah, “Dokter di Puskesmas tidak boleh langsung memberikan rujukan ke rumah sakit. Bapak harus menjalani perawatan dulu di sini. Setidaknya dua kali berobat ke sini, baru nanti kalau masih tidak membaik, dokter Puskesmas akan memberikan rujukan,” seperti yang dinyatakan dokter Puskesmas.
Bala menunjukkan rekomendasi dari dokter yang dulu menambal gigi gerahamnya yang kini sakit, “Tapi berdasar surat ini, saya harus segera dapat tindakan dari spesialis bedah mulut.”
“Ya, tapi ini aturan dari pusat, Pak. Kami nggak boleh langsung kasih rujukan untuk pasien yang baru pertama kali datang. Minimal harus dua kali.”
Bala baru akan buka mulut lagi ketika dokter itu berujar, “Tenang saja. Ini obat pereda nyeri. Minggu depan Bapak ke sini lagi. Nanti saya kasih surat rujukannya.”
“Minggu depan?”
“Iya. Minggu depan.”
***

Selama satu minggu itu Bala tak bisa tidur nyenyak. Begitu pula istrinya, ia sering menangis tanpa suara melihat suaminya menahan sakit. Obat dari Puskesmas sama saja dengan obat yang sebelumnya, tidak berpengaruh pada sakitnya. Bahkan pipi kiri Bala semakin membengkak. Hanya saja ia benar-benar tak punya pilihan lain selain menunggu dan menunggu itulah yang ia lakukan selama seminggu.
Begitu hari yang ditunggu datang, dengan tak sabar Bala mengambil surat rujukan dari dokter. Ia memacu sepeda motor ke rumah sakit khusus gigi dan mulut. Melewati semua proses pendaftaran dan bertemu dengan dokter di sana.
“Ini ada infeksi yang serius. Gigi Bapak harus dibedah segera oleh ahli bedah mulut,” ujar dokter itu. Bala harus menahan emosi untuk kesekian kali mendengar itu sebab ia sudah tahu sejak awal.
“Tapi ada satu masalah. Asuransi yang Bapak gunakan ini tidak membolehkan kami mengambil tindakan pada kunjungan pertama pasien. Ini saya kasih obat pereda nyeri untuk Bapak. Silakan datang lagi ke sini minggu depan, dan akan langsung kami ambil tindakan.”
Bala mengambil napas dalam-dalam, begitu dalam. Tangannya bergetar menahan emosi. Namun ia teringat dengan saldo di ATM-nya. Ia, sekali lagi, tak punya pilihan selain tunduk pada birokrasi ini.
Ia pulang ke rumah dengan wajah digagah-gagahkan. Tak ingin melihat istrinya semakin sedih melihat kondisinya.  
***

Istri Bala sedang duduk menghadap televisi. Orang ramai telah pulang dari rumahnya, para tetangga yang datang untuk memperingati tujuh hari kematian Bala. Kini tinggal ia sendiri di rumah itu.
Channel televisi berganti-ganti karena remote­-nya tak berhenti dipencet oleh istri Bala. Sampai akhirnya sang janda memilih sebuah siaran. Konferensi pers dari pemerintah.
“Kartu asuransi kesehatan yang merupakan program unggulan kami telah berjalan dan terus dijalankan. Sampai akhir tahun ini, telah jutaan masyarakat Indonesia yang menikmati fasilitas ini,” ujar seseorang berpeci hitam di layar televisi itu.
Istri Bala tertawa mendengar suara dari kotak berwarna itu. Ia tertawa terbahak-bahak. Sampai air matanya meleleh.
***

ART.
Banyuasin, 12 Januari 2017