Kamis, 22 Maret 2012

Para Pemakan Muntah

Alangkah nikmatnya sambal terasi basi dan ikan busuk ini..
Kumakan terus sangat lahap walau perut sudah penuh..
Kumakan dan kumakan lagi..
Suapan terakhir memenuhi lambung yang sudah membludak dan akhirnya aku muntah..
Keluar lagi sambal terasi basi itu.. ikan busuk itu..
Wujudnya sudah agak berubah.. bekas gigitanku waktu kukunyah tadi.. bercampur liur dan kangkung yang kemarin kumakan..
Tapi aku tetap tidak rela kenikmatan itu keluar dari tubuhku..
Kumakan lagi muntahku itu, nikmat sekali rasanya..
Tekstur yang empuk, aroma yang semerbak, semakin menggairahkan aku melahap habis muntahku..
Persetan orang menilaiku gila, mereka tidak tahu saja betapa nikmatnya muntahku ini..
Sekali saja mereka mencicipinya, pasti mereka akan ketagihan lebih dari aku..
Karena itu aku takkan pernah rela ada orang lain mencicipi muntahku..
Kupercepat lajuku memamah muntah itu..
Perutku penuh lagi dan aku muntah lagi..
Kumakan lagi muntah yang sudah kumakan dan kumuntahkan lagi itu..
Terus seperti itu.. Orang lewat memperhatikanku tiada henti, aku tak peduli..
Salah satu dari yang menonton tiba-tiba muntah di dekatku..
Mulanya malu-malu, tapi dia juga tak rela makanannya keluar dari perutnya.. Dia ikuti yang kulakukan dan memakan juga muntahnya tadi..
Aku tak peduli dan tetap lanjut menyantap muntahku terus..
Tak lama semakin banyak yang muntah karena jijik melihat kami, tapi mereka semua juga memakan muntah mereka itu.. Semuanya muntah dan memakan muntahnya sendiri..
Melihat itu hilang selera makanku..
Di antara gerombolan itu kulihat seorang hedonis yang menyeruput kembali bir yang sudah ia muntahkan.. Kutanya “kenapa kau minum lagi muntahmu?” Dia menoleh dan memandang seolah takut aku ikut menyeruput muntahan birnya itu dan berkata, “aku baru tahu minum bir yang sudah dimuntahkan itu lebih memabukkan dan lebih nikmat lagi rasanya.”
Ada lagi seorang mahasiswi pascasarjana yang kulihat sedang memakan keju dan roti yang juga sudah dimuntahkannya.. Sebenarnya aku tak yakin itu keju dan roti karena bentuknya sudah tak karuan akibat dimuntahkan dan dimakan lagi berulang-ulang.. Aku teriak padanya, “kau itu orang pandai, kau tahu makan muntah itu tidak sehat. Kenapa kau makan lagi muntahanmu?”.. Di sela-sela suapannya ia menjawab, “Kau lihat di sana itu! Dosenku yang sudah profesor saja makan muntahnya, lalu kenapa aku yang masih kuliah ini tidak mengikutinya?” Aku ternganga..
Kudekati si profesor dan aku bilang, “kenapa kau mengikuti aku memakan muntahan?”.. Tajam matanya memandangku dan berkata, “kau jangan sembarang bicara. Akulah yang lebih dulu menemukan teori bahwa memakan muntah itu rasanya nikmat sekali. Jadi sebenarnya kaulah yang mengikuti aku. Teori ini sudah kupatenkan dan kau jangan sekali-sekali mengaku sebagai pelopor!”
Semakin lama semakin banyak yang ikut muntah dan memakan lagi muntahannya.. Sampai Pak Alim pun ikut andil.. Kutanya padanya di sela-sela makan muntahnya itu, “kenapa kau makan muntah? Muntah itu menjijikkan. Yang menjijikkan itu haram dimakan.” Dia menjawab, “Kau tahu apa tentang agama? Kau tahu apa tentang jijik? Muntah ini tidak menjijikkan. Muntah ini nikmat. Maka makanlah sampai kau muntah lagi dan makanlah lagi.”
Lalu aku muntah penuh rasa jijik melihat gerombolan orang pemakan muntah yang semakin banyak itu.. Ada rasa tak rela, tapi aku tak mau memakan muntahan itu lagi..
Kutinggalkan gerombolan pemakan muntah itu.. Aku teriakkan pada mereka, “Kalian Menjijikkan!” tapi jumlah mereka semakin besar saja..
MENJIJIKKAN..

Banyuasin, 19 Maret 2012
Diedit 22 Maret 2012