Jumat, 16 Juni 2017

Hari Saat Ia Memutuskan untuk Bolos


Cerpen ini pernah dimuat di Pos Belitung pada 11 Juni 2017

Kuliah pertama itu sangat membosankan. Terutama karena pak dosen berkepala botak yang umurnya sudah lebih dari setengah abad itu menyampaikan materi dengan nada yang datar. Monoton sepanjang perkuliahan. Sama sekali tak ada naik turun intonasi. Hal itu diperparah dengan wajahnya yang sudah menampilkan keriput sama sekali tak menyunggingkan senyum. Malah sepertinya ia menggerutu, bukan menjelaskan materi. Mulutnya terbuka sedikit sekali, antara terbuka dan tidak, tapi kata-katanya keluar terus tak putus-putus.
Ketika memasuki menit ketiga puluh, beberapa orang mahasiswa sudah beranjak ke alam mimpi. Dengan dibuai oleh semilir angin dari pendingin ruangan, mimpi mereka semakin indah. Meninggalkan kenyataan soal kuliah yang sedang mereka jalani. Bahkan sampai ada yang meneteskan air liur ke meja. Beberapa yang lain sibuk main candy crush atau fruit ninja di tablet. Sisanya merenung dan menatap kosong pada layar yang menampilkan poin-poin materi yang digumamkan secara agak tak jelas oleh sang dosen.
Dua SKS itu terasa begitu lama bagi semua mahasiswa di ruangan. Bahkan ada yang sudah menjalani lima mimpi dalam tidurnya dan ketika terbangun ternyata kenyataan masih membawanya ke ruang kuliah itu juga. Hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk merajut mimpi yang keenam. Saat kuliah berakhir semua pun bernapas lega. Termasuk orang yang tadi bermimpi pun tidak protes saat dibangunkan karena ternyata mimpinya yang keenam adalah mimpi sedang kuliah di ruang kuliah tempat ia sedang bermimpi.
Orang-orang bubar dari ruangan kuliah itu. Menghirup udara kebebasan dari tekanan batin. Namun mereka lupa bahwa kuliah bukan hanya berlangsung selama satu pertemuan, tapi satu semester. Alias setengah tahun. Maka para mahasiswa pun harus menghadapi kenyataan tersebut.
***
Hari-hari terlewati begitu cepat saat mata kuliah lain, namun begitu lambat ketika mata kuliah yang diasuh pak dosen setengah baya berkepala botak itu. Tiap pertemuan jumlah mahasiswa yang hadir semakin berkurang. Semakin banyak yang sekadar titip absen dengan teman yang lain. Beberapa minggu berlalu, yang dititipi absen akhirnya juga ikut nitip dengan yang lainnya. Lalu yang dititipi itu juga ikut nitip, dan begitu seterusnya.
Peserta mata kuliah itu semakin sedikit saja, tapi sang dosen seakan tak peduli. Ia tetap berceramah dengan mulut yang antara terbuka dan tidak namun terus saja menggumamkan ide-ide Karl Marx, Gramsci, Derrida, Stuart Hall, dan lain-lain. Suaranya tetap datar tanpa fluktuasi intonasi. Sementara yang hadir dan jumlahnya sedikit itu tetap terbuai embusan pendingin ruangan dan bermimpi, atau bermain candy crush dan fruit ninja. Begitu terus sampai dua SKS itu terlewati.
Sang dosen terus saja memberikan kuliahnya. Sampai akhirnya pada suatu pertemuan, yang hadir di ruangan itu hanya satu mahasiswa saja. Melihat itu sang dosen diam, menatap sang mahasiswa yang tertegun tegang dan tidak jadi mengeluarkan tabletnya untuk bermain candy crush yang sudah sampai level 2.514.
“Mana yang lain,” tanya sang dosen.
Sang mahasiswa kebingungan. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ini di daftar hadir ada tiga puluh tanda tangan. Kok cuma kamu yang ada?”
Sang mahasiswa meneguk ludah.
“Bolos?”
Mahasiswa itu mengangguk.
Sang dosen mengangguk-angguk. Tanpa ekspresi. Sama sekali tak ada tanda-tanda ia marah atau sejenisnya. Hanya mengangguk-angguk saja. Lalu kembali dengan mulut yang antara terbuka dan tidak, ia berkata, “Minggu depan kita ujian tengah semester.”
Yang terjadi seminggu kemudian adalah ruang kelas itu penuh lagi. Tanpa ada muka kantuk. Tanpa ada yang bermain game. Semuanya fokus mengerjakan soal yang diberikan oleh sang dosen. Entah mereka mendapatkan hidayah dari mana. Padahal selama ini mereka tidak pernah mendengarkan satu pun kata dari sang dosen, tapi mereka sepertinya lancar-lancar saja mengutip-ngutip Marx, Gramsci, Stuart Hall, Derrida, dan lain-lainnya.
Pak dosen takjub dengan yang terjadi. Sampai ke rumah, dia memeriksa jawaban mahasiswa-mahasiswanya. Semuanya rata-rata layak mendapatkan nilai A+. Sang dosen tercenung. Ia lebih tercenung lagi ketika di pertemuan berikutnya kelas kembali kosong. Tak ada yang masuk sama sekali. Kelas kosong. Semua mahasiswa bolos, tapi anehnya daftar hadir selalu penuh oleh tanda tangan. Bahkan para mahasiswa sudah membubuhkan tanda tangan untuk lima pertemuan ke depan. Luar biasa.
Pertemuan-pertemuan berikutnya hanya ada satu mahasiswa yang hadir. Sang dosen tidak lagi menjelaskan materi perkuliahan. Ia hanya menatap mahasiswanya itu lamat-lamat. Dalam. Penuh tanda tanya.
“Kenapa kau datang ke sini? Tidak seperti teman-temanmu yang lain.”
“Saya bosan di kamar kosan, Pak.”
“Kau tidak bosan di sini?”
“Ya bosan juga, sih. Tapi paling nggak kan kalo ke sini jadi seolah-olah ada kegiatan.”
Sang dosen mengangguk-angguk. Kepala botaknya semakin mengilap. Ia elus-elus kepalanya itu. Tapi sekali lagi tak ada ekspresi sama sekali dari wajah dosen itu. Tak ada gurat marah ataupun kecewa ataupun sedih. Datar saja.
“Ya sudah. Kalau begitu, minggu depan kita ujian akhir semester.”
Maka seminggu kemudian para mahasiswa kembali memenuhi ruangan itu. Mereka bahkan datang setengah jam sebelum ujian dimulai. Alat-alat tulis sudah sedia di meja masing-masing. Tampang mereka penuh percaya diri. Namun hingga setengah jam kemudian sang dosen yang biasanya tepat waktu tak kunjung tiba. Mereka menunggu sampai lima belas menit, masih belum datang juga. Lalu setengah jam lagi. Lalu setengah jam lagi. Lalu setengah jam lagi.
Para mahasiswa pun gusar. Awalnya mereka bertanya-tanya. Lama kelamaan tanya itu berubah menjadi protes. Protes kemudian berubah menjadi umpatan. Kemudian mereka beramai-ramai melakukan aksi unjuk rasa ke gedung dekanat. Mereka hendak menemui pihak-piahk berwenang di dekanat.
“Dosen tidak profesional,” seru salah satu mahasiswa.
“Ya. Tidak bertanggung jawab,” seru yang lain.
 “Ya. Makan gaji buta.”
“Mengingkari sumpah jabatan.”
“Tidak sesuai dengan norma pendidikan.”
Suara mereka riuh rendah meneriakkan protes. Pak dekan yang tadinya sedang duduk tenang di kantor terpaksa turun dan menemui para mahasiswa yang protes itu. Melihat Pak dekan yang sudi menemui mereka, suara pun perlahan mengecil. Lalu hening sama sekali.
“Apa yang kalian inginkan?” tanya Pak dekan.
“Kami butuh kejelasan.”
“Tentang apa?”
“Dosen kami. Di mana dia? Kami dijanjikan akan menjalani ujian akhir hari ini, tapi dia tidak datang.”
Pak Dekan berusaha tenang menghadapi massa. Ia mengusap-usap janggutnya yang putih dan panjang. Beberapa detik kemudian ia menghela napas panjang lalu berkata, “Ya. Berarti dosen kalian bolos.”
“Bolos?”
“Ya. Bolos. B.O.L.O.S.”
“Wah. Tidak bisa begitu dong, Pak. Dosen kok bolos di saat ujian akhir.”
“Lho? Ada apa? Apa yang salah dengan bolos? Toh kalian juga sering bolos, kan?”
“Iya, Pak. Tapi kami tidak bolos di saat-saat genting seperti ini. Lagi pula ini kan menentukan hajat hidup orang banyak. Jangan semena-mena begini dong.”
Pak dekan mengangguk-angguk. “Ya sudah. Nanti akan saya sampaikan protes kalian ke dosen itu.”
“Jangan nanti. Sekarang dong, Pak.”
“Lah. Bagaimana caranya? Wong dosen kalian sekarang saja saya tidak tahu di mana.”
“Bapak harus tahu.”
“Lho. Kok harus?”
“Kan Bapak atasannya. Bapak harusnya punya fungsi kontrol. Bapak harusnya bisa mengendalikan bawahan Bapak. Kalau tidak, berarti Bapak telah gagal melakukan manajemen terhadap fakultas ini.”
“Lho. Kok begitu? Apa salah saya?”
“Ya Bapak pasti salah. Bapak pasti telah berkomplot dengan dosen kami itu dan membiarkan pembolosannya. Ini tidak bisa dibiarkan, Kawan-kawan,” suara mahasiswa itu menggelegar. Suara teman-temannya pun ikut bergelora. Meneriakkan kata-kata kasar dan cacian pada sang dekan.
Mahasiswa-mahasiswa lain yang lewat bertanya-tanya tentang kejadian apa yang sebenarnya sedang terjadi. Melalui bisik-bisik tetangga mereka mendapatkan kabar bahwa mereka berdemo karena sang dekan melindungi dosen yang bolos. Maka mahasiswa yang cuma lewat pun akhirnya mendukung gerakan demo itu. Semakin lama, semakin banyak mahasiswa lewat yang juga ikut bergabung berdemo. Gerakan demo itu dengan segera menjadi semakin besar. Sang dekan terdesak. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Omongannya semuanya jadi salah di depan mata para mahasiswa yang semakin lama semakin sangar.
***

Seorang lelaki paruh baya berkepala botak sedang menghirup teh hangat yang disajikan istrinya. Aroma teh itu mampu menenangkan pikirannya sejenak. Apalagi kemudian istrinya muncul dari dapur dengan pisang goreng kesukaannya. Ah. Sekali-kali bolos ternyata enak juga.
“Apa benar nggak masalah kalau Bapak bolos hari ini?” tanya istrinya. Seolah tahu saja apa yang melintas di pikiran suaminya itu.
“Ya nggak apa-apa toh, Bu. Toh baru sekali ini.”
Istri lelaki itu hanya mengangkat kedua bahunya lalu mengambil remote tivi. Layar itu menampilkan berita tentang terbunuhnya seorang dekan akibat diamuk mahasiswa yang sedang berdemo tadi siang.
“Ganti channel toh, Bu. Aku nggak tega lihat yang anarkis begini.”
Sang istri hanya mengangguk lalu memindah saluran ke sinetron kesukaannya. Sang suami tersenyum lalu mengambil pisang goreng berikutnya untuk dimasukkan ke mulut. Ia sempat berhenti mengunyah karena merasa mengenal salah satu mahasiswa yang tadi sempat tersorot, tapi cuma sebentar. Ah. Sudahlah. Mungkin hanya salah ingat.
***

ART.
Yogyakarta, 9 Juli 2014.
Jam 1.48 dini hari.