Selasa, 23 Januari 2018

Kenangan Pohon Rambutan



*Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos edisi 21 Januari 2018

Ia tak pernah mengerti kenapa orang-orang selalu menikmati siksaan kenangan. Dan ayahnya adalah salah satu dari golongan tersebut. Sebenarnya ia tak punya masalah dengan ayahnya, kecuali ketika lelaki paruh baya itu mulai mengagung-agungkan pohon rambutan di depan rumah. Lebih masalah lagi karena ayah tak pernah mau menceritakan ada kenangan apa dengan pohon rambutan itu. Ayahnya hanya akan menjawab, “Pohon di depan sana adalah simbol. Simbol kehidupan. Simbol manfaat. Juga simbol kenangan.”
Mungkin karena tak pernah bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, mungkin juga karena hampir setiap hari pohon rambutan itu menggugurkan daun-daun tuanya yang harus disapu, ia jadi membenci pohon rimbun itu. Baginya, pohon rambutan itu tidak membawa apa-apa selain masalah.
Masalah hariannya, terkait dengan daun gugur si rambutan, adalah ia yang harus menyapunya. Setiap hari. Setiap pagi. Menjadi rutinitas yang membosankan. Apalagi setiap kali ia baru selesai menyapu, sudah ada saja daun lain yang melayang mengotori halaman. Belum lagi masalah musiman. Setiap kali pohon itu berbunga, memunculkan putik, dan berbuah, masalah akan jadi berlipat. Bukan hanya soal daun yang harus disapu, tapi juga perihal para tetangga yang tak tahu diri akan mulai berdatangan.
Mereka, para tetangga itu, mulai dari yang umur enam tahun sampai yang enam puluh tahun, akan berubah menjadi begitu ramah pada ia dan ayahnya. Semua akan mencari-cari alasan untuk lewat di muka rumah. Mencari waktu untuk berbasa-basi dan bertanya kabar, gosip terhangat, atau berita politik terbaru. Lalu diakhiri dengan kalimat pamungkas, “Tampaknya rambutan kalian sudah mulai matang.”
Cih. Ia betul-betul muak dengan semua kepalsuan para tetangga. Herannya, sang ayah akan selalu meladeni dan menjawab kalimat pamungkas mereka dengan, “Oh. Iya. Iya. Tunggulah sebentar. Akan kuambilkan sedikit untukmu.”
Jika ayahnya sedang tidak terlalu kepayahan setelah bekerja seharian, lelaki itu sendiri yang akan mengambilkan rambutan untuk si tetangga. Tapi jika ayahnya sudah merasa tak sanggup lagi, maka ia yang akan dipanggil dan disuruh memanenkan rambutan untuk para penyerbu itu. Di saat seperti itulah ia akan semakin sebal. Ia akan teringat bahwa setiap hari sebelum pergi sekolah, dialah yang menyapui rontokan daun rambutan. Ia juga akan teringat bahwa setiap hari ayahnya yang menyirami dan merawat pohon itu dengan telaten. Tak ada satu pun tetangga yang membantu. Namun begitu pohon berbuah, mengapa semua seperti merasa berhak untuk menikmati hasilnya?
Tentu saja ia pernah menyampaikan protes tersebut pada sang ayah. Namun, seperti biasa, ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ayah hanya akan berkata, “Rambutan kita bukan satu-satunya rambutan di sekitar sini. Tapi para tetangga selalu lebih banyak meminta pada kita, bukan? Kau tahu kenapa?”
“Ya tentu karena rambutan kita jauh lebih manis.”
Ayahnya akan tersenyum dan menjawab, “Siapa tahu rambutan kita lebih manis disebabkan para tetangga yang selalu mendoakannya, bukan? Karena kita tak pernah menolak mereka yang meminta, maka mereka pun selalu mendoakan pohon kita.”
“Kalau begitu jual saja pada pengepul buah rambutan. Siapa tahu doa mereka lebih makbul. Rambutan jadi lebih manis, kita juga dapat uang,” jawabnya ketus.
“Tentu kau tahu ayah tak akan menjual kenangan. Menukarnya dengan uang. Lebih baik ayah menukarnya dengan doa,” ayahnya tetap tersenyum, “Ingatlah bahwa pohon itu simbol.”
Ia semakin benci dengan pohon rambutan.
***

Di sebuah petang yang gerimis, keduanya duduk di beranda. Menatap ke halaman rumah. Ke arah rambutan yang buahnya mulai memerah. Besok ia akan berangkat ke kota untuk kuliah. Mungkin tak akan pulang untuk waktu yang cukup lama.
“Boleh aku meminta?” ujarnya.
Ayah menoleh dan memberikan isyarat yang mungkin berarti, “Tanya saja. Selama ini ayah tak pernah menghalangimu untuk meminta, bukan?”
“Tebang saja pohon rambutan itu.”
Ayah tersenyum. Wajahnya berkata bahwa ia menganggap permintaan anaknya sebagai lelucon yang tak lucu, tapi sebagai ayah ia harus tetap menghargainya dan membalas dengan senyuman.
“Aku serius. Tebang saja pohon itu.”
Senyum ayah memudar. Lelaki itu baru akan mengeluarkan sebuah kalimat saat seorang tetangga tiba-tiba saja sudah muncul di depan pagar. Tetangga itu memanggil ayahnya dengan ramah, bertanya kabar, gosip terhangat, dan mengakhiri obrolan dengan kalimat pamungkas yang intinya adalah meminta rambutan.
Demi segala sopan santun dan adab bertetangga, ia mencoba untuk tidak cemberut saat ayah menyuruh dirinya untuk memanenkan sedikit rambutan untuk tetangga yang datang. Seperti biasa, ia memanjat pohon dengan cekatan. Berpindah dari dahan ke dahan. Namun ia lupa bahwa gerimis sudah dari tadi menghiasi petang. Membuat licin di beberapa bagian batang. Saat ia hendak memetik rambutan merah yang ada di penghujung dahan, tangannya terlepas dari tempat berpegang. Secara refleks, kakinya bergerak untuk menahan keseimbangan, namun justru kehilangan pijakan.
Dari ketinggian hampir tiga meter, ia meluncur. Kakinya yang mendarat lebih dulu tak kuasa menahan berat tubuh. Bunyi ‘krak’ terdengar dari kaki yang patah. Lolong sakit tak bisa ia tahan. Dan saat ayahnya menghampiri dengan wajah cemas, ia membalas dengan tatapan marah. Tatapan yang langsung ia hunjamkan ke mata ayahnya. Lekat. Pekat. Tanpa sekat.
Ia benci pohon rambutan.
***

Empat tahun rupanya menjadi waktu yang cukup untuk menyadarkan siapapun dari kesalahan. Setidaknya itulah yang ia rasakan. Mungkin karena sudah bertahun-tahun menjadi kebiasaan. Lama-lama, di tanah rantau, ia rindu juga menyapu daun-daun rambutan yang beterbangan. Saat musim datang dan banyak buah rambutan dijajakan di pinggir jalan, saat itulah hatinya menjadi rawan.
Tak ada satu pun dari buah itu yang mampu menyaingi manisnya buah rambutan di depan rumah. Mungkin karena para pengepul buah tak pernah mendoakan pohon yang dipanennya sebagaimana para tetangga. Ia menyesal.
Apalagi jika mengingat tatapan ayahnya ketika ia terjatuh dari pohon itu. Tatapan yang tak akan pernah ia lupakan. Tatapan menderita karena melihat orang yang dicinta sedang terluka. Dan tak ada yang lebih tulus ketimbang cinta orang tua pada anaknya. Ia baru mengerti ketika ia terjatuh dari ketinggian. Tapi ia telanjur menghunjamkan tatapan penuh benci pada sang ayah.
Ia merasa telah durhaka. Seperti Malin yang tak mengakui ibunya. Namun apa lacur, tatapan sudah keburu ia luncurkan. Dan sebagaimana kata-kata, tatapan tak bisa ditarik kembali. Sekali salah dilepaskan, ia hanya membawamu pada penyesalan. Empat tahun ia berpikir caranya memperbaiki kesalahan.
Saat pulang nanti, ia akan mencoba memperbaiki keadaan. Akan ia sapui daun rambutan dengan riang. Akan ia petikkan buah untuk tetangga dengan senang. Akan ia ambil alih tugas ayahnya menyirami pohon dengan hati lapang. Akan ia tunjukkan semua. Agar ia tak jadi anak durhaka. Agar ia bisa menatap ayahnya sebagai ayah telah menatapnya dengan cinta, meski mungkin tak bisa.
Namun semua rencana tinggal khayal di kepala. Sebab saat ia pulang, pohon rambutan telah tak ada di tempatnya. Ditebang, dan menyisakan tunggulnya.
***

Sore itu basah oleh gerimis. Keduanya duduk di teras rumah. Menatap pada halaman yang tampak terlalu lapang. Mereka telah sama-sama paham. Bahwa tatapan mereka dulu telah menyampaikan sebuah pesan. Dan ada kata yang masih tersekat di tenggorokan.
“Gerimis, Yah.”
“Mirip empat tahun lalu.”
Ia mengangguk. Tersenyum. “Aku minta maaf.”
Ayah menggeleng dan balik tersenyum. Seolah berkata, “Justru ayah yang minta maaf.”
Hening. Tak ada lagi tetangga yang memanggil ramah dan berbasa-basi. Hanya titik kecil gerimis yang meningkahi sunyi.
“Ayah terlalu naif. Tak pernah memberimu jawaban yang memuaskan tentang kenangan apa yang ada dalam pohon rambutan itu. Hingga rasa penasaranmu berbuah kesal.”
Ia menggeleng. Teringat ucapan tetangganya ketika ia dirawat di rumah sakit empat tahun lalu, saat kakinya yang patah mendapatkan perawatan. Bahwa pohon rambutan itu ditanam di hari kelahirannya. Yang bertepatan dengan hari kematian ibunya.
Ingatan itu semakin membuat teras rumah hening. Ia baru akan mengucapkan kata-kata saat gerimis berganti hujan. Dan rintiknya menelan segala suara.
***

ART.
Banyuasin, 1 Desember 2017

Selasa, 16 Januari 2018

Antara Mimpi, Ambisi, dan Mitologi




(Ulasan terhadap Buku Equilibrium Karya Bramantio)

Judul                  : Equilibrium
Penulis               : Bramantio
Cetakan             : 1, Februari 2016
Penerbit             : Arruz Media
Tebal                  : 162 halaman
ISBN                 : 978-602-313-059-7

Mimpi bisa jadi sesuatu yang berbahaya. Terlebih lagi jika mimpi itu terus menghantui bahkan ketika sang pemimpi telah terjaga. Membuat orang tersebut jadi penuh ambisi untuk mewujudkan mimpi yang tak berhenti datang membayangi.
Secara garis besar, mimpi yang berbahaya itulah yang menjadi dasar cerita-cerita dalam buku karya Bramantio ini. Sebagaimana mimpi, cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini tidak mudah untuk dipahami. Sejak dari judul, pembaca akan menemukan sesuatu yang asing sekaligus akrab. Sesuatu yang membuat berujar,  “Sepertinya pernah dengar, tapi entah di mana.” Begitu pula kalimat-kalimat yang ada dalam cerpen, panjang, njlimet. Kalimat-kalimat semacam itu, tersebar seolah tak beraturan, membuat pembaca sering kali harus kehabisan napas ketika membaca, apalagi untuk memahaminya. Namun, bukankah seperti itulah mimpi?
Mimpi-mimpi yang diangkat oleh Bramantio dikombinasikan dengan kehadiran ambisi-ambisi tokoh dan dicampur dengan kehadiran makhluk-makhluk mitologi. Jika digabungkan, mimpi, ambisi, dan makhluk mitologi akan menjadi setumpuk benda abstrak yang sulit dipahami. Bagian-bagian tersebut adalah ruang yang sengaja dikosongkan oleh penulis. Membebaskan para pembaca untuk menerjemahkan dan menafsirkannya. Ia bisa jadi simbol dari tindakan tertentu, sifat tertentu, atau orang tertentu. Inilah yang unik. Dengan kata lain, kita, sebagai pembaca, disuguhkan hal-hal abstrak dan ‘disuruh’ oleh penulisnya untuk mengkonkretkan hal abstrak tersebut.
Bagaimanapun, buku ini menyajikan sejumlah cerpen dan karena itu harus mempunyai alur logika yang jelas. Sebagaimana sering diucapkan oleh Putu Fajar Arcana, “Bacalah puisi untuk menjaga imajinasi dan bacalah prosa untuk menjaga logika.” Artinya, meskipun cerita itu menyampaikan tentang mimpi, ia tetap harus jadi sebuah mimpi yang meyakinkan para pembaca. Dan hal itu sudah diberikan oleh Bramantio dalam buku kumpulan ceritanya ini. Pembaca akan menerima cerita-ceritanya sebagai sebuah karya dan tidak menanyakan kenapa cerita itu tidak masuk akal. Itu tidak terlepas dari kemampuan Bramantio membangun cerita.
Lebih jauh lagi, Bramantio tidak menyalahkan siapapun dalam setiap kemalangan ataupun depresi yang dialami tokoh-tokoh dalam ceritanya. Ia tidak menghakimi. Tidak juga menggurui. Apabila tokohnya menjalani hidup yang berat dan penuh aral, itu memang karena begitulah hidupnya. Kalau pun terpaksa ada yang harus disalahkan, maka yang salah adalah tokoh itu sendiri. Bukan yang lain.
Selain itu, cerpen-cerpen dalam Equilibrium juga memberikan kesegeran. Ketika sebagian cerpen Indonesia sekarang berlomba-lomba dan mengikuti kriteria cerpen koran, cerpen-cerpen dalam buku ini menentang itu semua. Mulai dari panjang cerpen, gaya penceritaan, hingga konflik yang diangkat pun merupakan hal-hal yang tidak lumrah ditemukan dalam sebagian besar cerpen Indonesia saat ini. Dan jika memang buku ini dimaksudkan sebagai sebuah alternatif bacaan, maka ini menjadi alternatif yang menyenangkan.
Permasalahannya, sebagaimana hampir semua seni yang bersifat alternatif, maka peminatnya mungkin tidak terlalu banyak. Sebagian besar orang tentu lebih memilih untuk membaca bacaan yang sederhana, mudah dipahami, dan menyentuh hati ketimbang bacaan yang rumit, membingungkan, dan membuat dahi berkerut serta menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui di kepala.

Rabu, 03 Januari 2018

Kue yang Semenggoda Surga


Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspres pada tahun 2017

Sebagai office boy yang sering disuruh ini-itu, sebenarnya pekerjaannya cukup rapi dan cekatan. Namun, dia tidak pernah bisa dipercaya untuk membagikan kue di kantor kami. Sebab bisa dipastikan distribusinya akan bermasalah. Dia, sebagai orang yang mendistribusikan, akan mengutip bagian orang lain sehingga kue yang terdistribusi akan sedikit sekali. Semua orang juga tahu akan hal itu. Tapi untuk kali ini, justru dialah yang bertugas membagi-bagikan kue ke seisi kantor. Padahal kue yang dibagikan kali ini adalah kue yang konon paling enak ketimbang kue-kue sebelumnya.
Penyebabnya hanya ada satu, kue itu terbuat dari dan dihiasi dengan pisang. Dan dia alergi dengan pisang. Suatu hari ia pernah tak sengaja memakan sepotong pisang yang terselip di antara hiasan-hiasan kue. Hasilnya luar biasa. Hanya dalam waktu 30 menit badannya bentol-bentol, terutama di bagian wajah. Ia pun jadi tampak menyeramkan.
Aku yakin pemberian tugas padanya untuk membagikan kue pisang kali ini adalah  keisengan teman-teman kantorku. Bisa juga itu jadi hukuman untuknya yang sering mengutip kue. Bisa dibayangkan, seseorang yang selalu tak bisa menahan diri untuk mencuri dan makan kue yang bukan haknya diberi tugas untuk memberi kue yang terbuat dari bahan yang tidak bisa ia makan. Tentu dia akan sangat menderita.
Hanya saja, aku tergolong orang yang tidak setuju dengan perbuatan itu. Bukan karena aku bertoleransi padanya. Bukan juga karena aku tak tega dia ‘dipermainkan’ dengan cara itu. Bukan. Aku tak setuju justru karena aku sama sekali tidak percaya dia. Dia bisa saja melakukan hal-hal di luar dugaan karena ketamakannya pada kue. Dan aku tak akan pernah rela jika jatah kueku harus sampai berkurang hanya gara-gara dia.
***

Kehebohan terjadi di kantor. Separuh dari jumlah kue yang harusnya dibagi-bagikan telah menghilang. Semua itu terjadi hanya dalam waktu lima belas menit. Tepatnya ketika aku mengalami sakit perut yang tiba-tiba dan mau tak mau harus ke kamar kecil. Rupanya selama aku di kamar kecil itu kurir pengantar kue tiba, si OB yang tamak akan kue itu menerima paket.
Begitu aku keluar dari kamar kecil, kudapati si OB sendirian dengan kotak paket yang telah terbuka. Aku lihat isinya sudah hilang setengah. Wajahnya menjadi cemas. Segera saja kugeret ia keluar dari ruangan.
“Aku hanya mengecek. Tidak kumakan kue itu. Sungguh. Si kurir memang mengirimkan kotak yang setengahnya kosong,” ujarnya.
Kuhentikan langkah. Lalu kulayangkan sebuah pukulan tepat ke wajahnya. Aku paling benci dengan maling yang mencoba ngeles dengan alasan tak masuk akal seperti itu. Orang-orang yang melihat kejadian itu terdiam. Kucekal kerah baju si OB dan kuseret dia menuju ruang pimpinan.
Begitu sampai di depan ruang manajer, kubuka pintu dan kudorong OB itu hingga tersungkur.
“Setengah dari jumlah kue yang datang telah dia makan,” ujarku mencoba untuk menjawab pandangan manajer yang penuh dengan tanda tanya.
Manajer kami bangkit dari duduknya. Ia tahu aku memang tidak suka dengan OB yang satu ini.
“Benar itu?” ujar manajerku.
Tentu saja maling tak ada yang mengaku. Si OB mengulangi lagi kalimat yang tadi ia katakan padaku. Bedanya kali ini tidak ada kepalan tangan yang mendarat di wajahnya. Aku menahan diri.
Manajer tampak menarik napas. Kelihatan sekali ia mencoba untuk bersikap bijak dan netral dalam menghadapi masalah ini. Mungkin dalam pikirannya aku terlalu membesar-besarkan masalah. Toh ini semua hanya soal kue. Tetapi, di sisi lain, ada kemungkinan dia juga menyadari bahwa hal sepele yang dipendam dan ditumpuk tak ubahnya seperti berak yang ditahan-tahan, suatu saat akan meledak dan berceceran ke mana-mana: menjadi hal yang memalukan.
“Kenapa kau yakin OB kita ini telah mencuri dan memakan kue yang dipesan?”
Aku diam sejenak sebelum menganggukkan kepala. Si OB diam saja.
“Dia sendirian di ruang OB. Kotak-kota kue itu terbuka. Tanpa isi. Maka penjelasan macam apa lagi yang diperlukan? Kita tahu tak mungkin pihak pengirim kue memberikan kotak kosong. Apalagi kosongnya sampai setengah. Pihak pengirim kue tentu tahu risiko bermain-main dengan komoditas yang mereka perjualbelikan.”
Manajer mengangguk-anggukkan kepala, “Tapi apa buktinya kalau OB ini yang memakannya?”
“Sesaat sebelum masuk ke ruang OB, aku melihat dia membersihkan remah-remah kue yang tersisa di sekitar mulutnya,” jawabku mantap.
Si OB mengarahkan pandangannya kepadaku. Kutentang pandangan itu dengan tatapan marah.
“Apa ada orang lain yang melihatnya?” tanya manajerku.
Tentu tidak ada. Sekali lagi OB mengarahkan pandangannya padaku. Ia tahu bahwa aku tak pernah melihatnya membersihkan remah-remah kue sebagaimana tadi kukatakan. Aku hanya berusaha meyakinkan manajerku. Aku yakin OB inilah pelakunya.
***

Atas usulku, kami bertiga menunggu. Yang ditunggu adalah reaksi pisang terhadap tubuh si OB. Sebagaimana pernah terjadi, jika benar dia, OB sialan itu, telah memakan kue yang hilang maka tubuh dan wajahnya akan bentol-bentol dalam kurun setengah jam.
“Apa kau benar-benar yakin dia yang memakannya? Seperti katamu, lima belas menit. Hanya lima belas menit. Apa mungkin satu orang bisa menghabiskan begitu banyak kue hanya dalam lima belas menit?”
“Kalau Bapak tahu bagaimana sikap orang ini terhadap kue, Bapak tidak akan lagi bertanya seperti itu,” jawabku tegas.
“Tapi, lima belas menit. Bisa-bisa orang tersedak dan muntah jika makan kue dalam jumlah sebanyak itu dengan begitu cepat.”
Manajer diam. OB diam. Aku juga diam. Kami bertiga duduk di depan sebuah meja besar. Di atas meja itu terdapat sebuah kotak besar yang berisi kue yang tersisa. Seperti diberi komando, mata kami bertiga tertuju pada kotak kue tersebut. Lalu manajer kami pun dengan perlahan membuka kotak, memperlihatkan isinya yang tersisa.
Aku dan manajer serentak menahan napas melihat kue-kue itu. Bentuknya kecil-kecil berwarna cokelat dengan tekstur yang terlihat sangat empuk. Rongga-rongga kecil di bagian atasnya masih ada yang terlihat meskipun sudah ditutupi dengan cokelat putih. Tak hanya itu, potongan-potongan kecil buah, sepertinya cherry, strawberry, nanas, dan tentu pisang diletakkan sedemikian rupa di atas cokelat putih itu. Belum lagi aromanya, entah kue itu dicampur dengan apa sehingga aromanya begitu kuat, membuat aku harus berjuang menahan air liur agak tidak menetes.
Ada sebuah lirikan dari manajerku yang sulit diterjemahkan dengan kata. Namun, sedetik setelah lirikan itu, sebuah kue pisang kecil telah memenuhi mulut kami masing-masing. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami setelah satu kue itu habis. Hening kembali menguasai ruangan.
Si OB tampak meneguk ludah ketika kami makan kue.
“Kamu tidak boleh makan,” ujar manajer. Ucapan yang sebenarnya cukup mengejutkanku juga jika seandainya tidak segera dilanjutkan dengan, “Kamu kan sedang menunggu bakal ada reaksi alergi atau tidak. Kalau sekarang kamu ikut makan bersama kami, hampir pasti alergimu kumat.”
Aku tersenyum penuh kemenangan. Setelah kalimat yang diucapkan sang manajer itu, tak ada lagi kata-kata yang keluar di dalam ruangan itu untuk beberapa saat. Hanya bunyi dari kue-kue yang dimamah oleh aku dan manajer. Setiap kali mengunyah, aku sengaja menunjukkan ekspresi yang menyiratkan bahwa kue itu teramat lezat kepada si OB.
“Kue ini semenggoda surga,” kataku. Dia hanya bisa melihat. Dan aku yakin tak lama lagi bentol-betol akan bermunculan di wajahnya.
***

Setengah jam berlalu dan kue telah habis. Aku dan manajer terduduk kesulitan bergerak karena perut penuh. Anehnya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada si OB. Tidak ada bentol-bentol yang muncul dari tubuhnya. Aku mulai gelisah juga merasa bersalah. Jangan-jangan dia memang tidak memakan setengah dari jumlah seluruh kue yang ada.
Sambil memegang bekas luka di wajahnya akibat kena pukulanku, ia berkata, “Sudah setengah jam. Apa lagi yang harus aku buktikan?”
Aku sebal. Tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Manajer memandangku dengan sebuah tatapan yang menyuruhku untuk meminta maaf. Maka aku pun meminta maaf pada si OB. Ia menyambut uluran tanganku dan kami bersalaman. Wajahnya tampak benar-benar tulus dan memaafkanku. Aku jadi luluh.
Kupikir-pikir lagi, aku memang tidak pernah melihatnya memakan kue. Malah sekarang faktanya akulah yang telah memakan seperempat bagian kue yang seharusnya dibagi-bagikan ke kantor. Aku telah memukulnya tanpa bukti. Aku telah mencemarkan nama baiknya. Tindakanku hanya didasarkan atas kecurigaanku semata. Kini terbukti bahwa kecurigaanku sama sekali tidak berdasar.
Untuk menutupi rasa bersalah, kuantar dia ke dokter. Ia awalnya menolak, tapi aku memaksa. Dengan menggunakan mobilku yang AC-nya sudah rusak, kami melaju menuju praktik dokter terdekat. Tapi ternyata jalanan macet. Sialnya lagi, kami berada tepat di belakang truk sampah.
Aroma busuk dan memuakkan dari truk sampah itu menguar. Sebab AC mobilku rusak, tak ada yang bisa kami lakukan selain menikmati aroma tersebut. Aku menyumpah serapah dalam hati. Menahan mual yang muncul akibat bau yang berseliweran. Beruntung aku masih bisa menahan agar tidak muntah.
Sialnya, si OB ternyata tak bisa tahan. Tanpa ba-bi-bu, ia mengeluarkan suara “Hueeekkk” dan muntah di dalam mobilku. Saat itulah aku melihat gumpalan-gumpalan yang tertumpah di lantai mobil. Mungkin karena belum tercerna dengan begitu baik, aku masih bisa mengenali makanan apa yang dimuntahkannya.
Gumpalan itu berwarna cokelat, dihiasi dengan beberapa potong buah yang mungkin adalah cherry, strawberry, dan tentu saja pisang. Mataku membeliak demi melihat itu. Si OB, tersenyum penuh kemenangan. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah pil.
“Obat anti-alergi,” ujarnya tenang, tetap dengan senyum sombong sebelum melanjutkan, “Kue itu memang semenggoda surga.”
***

ART.
Palembang, 29 Desember 2016