Cerpen ini pernah dimuat di Pos Belitung pada 11 Juni 2017
Kuliah pertama itu
sangat membosankan. Terutama karena pak dosen berkepala botak yang umurnya
sudah lebih dari setengah abad itu menyampaikan materi dengan nada yang datar.
Monoton sepanjang perkuliahan. Sama sekali tak ada naik turun intonasi. Hal itu
diperparah dengan wajahnya yang sudah menampilkan keriput sama sekali tak
menyunggingkan senyum. Malah sepertinya ia menggerutu, bukan menjelaskan materi.
Mulutnya terbuka sedikit sekali, antara terbuka dan tidak, tapi kata-katanya
keluar terus tak putus-putus.
Ketika memasuki menit
ketiga puluh, beberapa orang mahasiswa sudah beranjak ke alam mimpi. Dengan
dibuai oleh semilir angin dari pendingin ruangan, mimpi mereka semakin indah.
Meninggalkan kenyataan soal kuliah yang sedang mereka jalani. Bahkan sampai ada
yang meneteskan air liur ke meja. Beberapa yang lain sibuk main candy crush atau fruit ninja di tablet. Sisanya merenung dan menatap kosong pada
layar yang menampilkan poin-poin materi yang digumamkan secara agak tak jelas
oleh sang dosen.
Dua SKS itu terasa
begitu lama bagi semua mahasiswa di ruangan. Bahkan ada yang sudah menjalani
lima mimpi dalam tidurnya dan ketika terbangun ternyata kenyataan masih
membawanya ke ruang kuliah itu juga. Hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk
merajut mimpi yang keenam. Saat kuliah berakhir semua pun bernapas lega.
Termasuk orang yang tadi bermimpi pun tidak protes saat dibangunkan karena
ternyata mimpinya yang keenam adalah mimpi sedang kuliah di ruang kuliah tempat
ia sedang bermimpi.
Orang-orang bubar dari
ruangan kuliah itu. Menghirup udara kebebasan dari tekanan batin. Namun mereka
lupa bahwa kuliah bukan hanya berlangsung selama satu pertemuan, tapi satu
semester. Alias setengah tahun. Maka para mahasiswa pun harus menghadapi
kenyataan tersebut.
***
Hari-hari terlewati
begitu cepat saat mata kuliah lain, namun begitu lambat ketika mata kuliah yang
diasuh pak dosen setengah baya berkepala botak itu. Tiap pertemuan jumlah
mahasiswa yang hadir semakin berkurang. Semakin banyak yang sekadar titip absen
dengan teman yang lain. Beberapa minggu berlalu, yang dititipi absen akhirnya
juga ikut nitip dengan yang lainnya. Lalu yang dititipi itu juga ikut nitip,
dan begitu seterusnya.
Peserta mata kuliah itu
semakin sedikit saja, tapi sang dosen seakan tak peduli. Ia tetap berceramah
dengan mulut yang antara terbuka dan tidak namun terus saja menggumamkan
ide-ide Karl Marx, Gramsci, Derrida, Stuart Hall, dan lain-lain. Suaranya tetap
datar tanpa fluktuasi intonasi. Sementara yang hadir dan jumlahnya sedikit itu
tetap terbuai embusan pendingin ruangan dan bermimpi, atau bermain candy crush dan fruit ninja. Begitu terus sampai dua SKS itu terlewati.
Sang dosen terus saja
memberikan kuliahnya. Sampai akhirnya pada suatu pertemuan, yang hadir di
ruangan itu hanya satu mahasiswa saja. Melihat itu sang dosen diam, menatap
sang mahasiswa yang tertegun tegang dan tidak jadi mengeluarkan tabletnya untuk
bermain candy crush yang sudah sampai
level 2.514.
“Mana yang lain,” tanya
sang dosen.
Sang mahasiswa
kebingungan. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ini di daftar hadir
ada tiga puluh tanda tangan. Kok cuma kamu yang ada?”
Sang mahasiswa meneguk
ludah.
“Bolos?”
Mahasiswa itu
mengangguk.
Sang dosen
mengangguk-angguk. Tanpa ekspresi. Sama sekali tak ada tanda-tanda ia marah
atau sejenisnya. Hanya mengangguk-angguk saja. Lalu kembali dengan mulut yang
antara terbuka dan tidak, ia berkata, “Minggu depan kita ujian tengah
semester.”
Yang terjadi seminggu
kemudian adalah ruang kelas itu penuh lagi. Tanpa ada muka kantuk. Tanpa ada
yang bermain game. Semuanya fokus
mengerjakan soal yang diberikan oleh sang dosen. Entah mereka mendapatkan
hidayah dari mana. Padahal selama ini mereka tidak pernah mendengarkan satu pun
kata dari sang dosen, tapi mereka sepertinya lancar-lancar saja mengutip-ngutip
Marx, Gramsci, Stuart Hall, Derrida, dan lain-lainnya.
Pak dosen takjub dengan
yang terjadi. Sampai ke rumah, dia memeriksa jawaban mahasiswa-mahasiswanya.
Semuanya rata-rata layak mendapatkan nilai A+. Sang dosen tercenung. Ia lebih
tercenung lagi ketika di pertemuan berikutnya kelas kembali kosong. Tak ada
yang masuk sama sekali. Kelas kosong. Semua mahasiswa bolos, tapi anehnya
daftar hadir selalu penuh oleh tanda tangan. Bahkan para mahasiswa sudah
membubuhkan tanda tangan untuk lima pertemuan ke depan. Luar biasa.
Pertemuan-pertemuan
berikutnya hanya ada satu mahasiswa yang hadir. Sang dosen tidak lagi
menjelaskan materi perkuliahan. Ia hanya menatap mahasiswanya itu lamat-lamat.
Dalam. Penuh tanda tanya.
“Kenapa kau datang ke
sini? Tidak seperti teman-temanmu yang lain.”
“Saya bosan di kamar
kosan, Pak.”
“Kau tidak bosan di
sini?”
“Ya bosan juga, sih.
Tapi paling nggak kan kalo ke sini
jadi seolah-olah ada kegiatan.”
Sang dosen
mengangguk-angguk. Kepala botaknya semakin mengilap. Ia elus-elus kepalanya
itu. Tapi sekali lagi tak ada ekspresi sama sekali dari wajah dosen itu. Tak
ada gurat marah ataupun kecewa ataupun sedih. Datar saja.
“Ya sudah. Kalau
begitu, minggu depan kita ujian akhir semester.”
Maka seminggu kemudian
para mahasiswa kembali memenuhi ruangan itu. Mereka bahkan datang setengah jam
sebelum ujian dimulai. Alat-alat tulis sudah sedia di meja masing-masing.
Tampang mereka penuh percaya diri. Namun hingga setengah jam kemudian sang
dosen yang biasanya tepat waktu tak kunjung tiba. Mereka menunggu sampai lima
belas menit, masih belum datang juga. Lalu setengah jam lagi. Lalu setengah jam
lagi. Lalu setengah jam lagi.
Para mahasiswa pun
gusar. Awalnya mereka bertanya-tanya. Lama kelamaan tanya itu berubah menjadi
protes. Protes kemudian berubah menjadi umpatan. Kemudian mereka beramai-ramai
melakukan aksi unjuk rasa ke gedung dekanat. Mereka hendak menemui pihak-piahk
berwenang di dekanat.
“Dosen tidak
profesional,” seru salah satu mahasiswa.
“Ya. Tidak bertanggung
jawab,” seru yang lain.
“Ya. Makan gaji buta.”
“Mengingkari sumpah
jabatan.”
“Tidak sesuai dengan norma
pendidikan.”
Suara mereka riuh
rendah meneriakkan protes. Pak dekan yang tadinya sedang duduk tenang di kantor
terpaksa turun dan menemui para mahasiswa yang protes itu. Melihat Pak dekan
yang sudi menemui mereka, suara pun perlahan mengecil. Lalu hening sama sekali.
“Apa yang kalian
inginkan?” tanya Pak dekan.
“Kami butuh kejelasan.”
“Tentang apa?”
“Dosen kami. Di mana
dia? Kami dijanjikan akan menjalani ujian akhir hari ini, tapi dia tidak
datang.”
Pak Dekan berusaha
tenang menghadapi massa. Ia mengusap-usap janggutnya yang putih dan panjang. Beberapa
detik kemudian ia menghela napas panjang lalu berkata, “Ya. Berarti dosen
kalian bolos.”
“Bolos?”
“Ya. Bolos. B.O.L.O.S.”
“Wah. Tidak bisa begitu
dong, Pak. Dosen kok bolos di saat ujian akhir.”
“Lho? Ada apa? Apa yang
salah dengan bolos? Toh kalian juga sering bolos, kan?”
“Iya, Pak. Tapi kami
tidak bolos di saat-saat genting seperti ini. Lagi pula ini kan menentukan
hajat hidup orang banyak. Jangan semena-mena begini dong.”
Pak dekan
mengangguk-angguk. “Ya sudah. Nanti akan saya sampaikan protes kalian ke dosen
itu.”
“Jangan nanti. Sekarang
dong, Pak.”
“Lah. Bagaimana
caranya? Wong dosen kalian sekarang saja saya tidak tahu di mana.”
“Bapak harus tahu.”
“Lho. Kok harus?”
“Kan Bapak atasannya.
Bapak harusnya punya fungsi kontrol. Bapak harusnya bisa mengendalikan bawahan
Bapak. Kalau tidak, berarti Bapak telah gagal melakukan manajemen terhadap
fakultas ini.”
“Lho. Kok begitu? Apa
salah saya?”
“Ya Bapak pasti salah.
Bapak pasti telah berkomplot dengan dosen kami itu dan membiarkan pembolosannya.
Ini tidak bisa dibiarkan, Kawan-kawan,” suara mahasiswa itu menggelegar. Suara
teman-temannya pun ikut bergelora. Meneriakkan kata-kata kasar dan cacian pada
sang dekan.
Mahasiswa-mahasiswa
lain yang lewat bertanya-tanya tentang kejadian apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Melalui bisik-bisik tetangga mereka mendapatkan kabar bahwa mereka
berdemo karena sang dekan melindungi dosen yang bolos. Maka mahasiswa yang cuma
lewat pun akhirnya mendukung gerakan demo itu. Semakin lama, semakin banyak
mahasiswa lewat yang juga ikut bergabung berdemo. Gerakan demo itu dengan
segera menjadi semakin besar. Sang dekan terdesak. Ia tak bisa berbuat apa-apa.
Omongannya semuanya jadi salah di depan mata para mahasiswa yang semakin lama
semakin sangar.
***
Seorang lelaki paruh
baya berkepala botak sedang menghirup teh hangat yang disajikan istrinya. Aroma
teh itu mampu menenangkan pikirannya sejenak. Apalagi kemudian istrinya muncul
dari dapur dengan pisang goreng kesukaannya. Ah. Sekali-kali bolos ternyata
enak juga.
“Apa benar nggak masalah kalau Bapak bolos hari
ini?” tanya istrinya. Seolah tahu saja apa yang melintas di pikiran suaminya
itu.
“Ya nggak apa-apa toh, Bu. Toh baru sekali
ini.”
Istri lelaki itu hanya
mengangkat kedua bahunya lalu mengambil remote tivi. Layar itu menampilkan
berita tentang terbunuhnya seorang dekan akibat diamuk mahasiswa yang sedang
berdemo tadi siang.
“Ganti channel toh, Bu. Aku nggak tega lihat yang anarkis begini.”
Sang istri hanya
mengangguk lalu memindah saluran ke sinetron kesukaannya. Sang suami tersenyum
lalu mengambil pisang goreng berikutnya untuk dimasukkan ke mulut. Ia sempat
berhenti mengunyah karena merasa mengenal salah satu mahasiswa yang tadi sempat
tersorot, tapi cuma sebentar. Ah. Sudahlah. Mungkin hanya salah ingat.
***
ART.
Yogyakarta, 9 Juli
2014.
Jam 1.48 dini hari.
Cerpen yang bernas. Ironis sekali ceritanya tapi asyik.
BalasHapus@learner: Terima kasih. :)
Hapus