Sabtu, 14 Januari 2017

Satu Tahun Komunitas Kota Kata



Sebuah Restrospeksi Satu Tahun Komunitas Kota
Oleh Rizqi Turama

“Ada rencana busuk apa ini?”
Itulah pertanyaan yang terlontar dari mulut saya pada kisaran Desember 2015. Pasalnya sepulang saya dari merantau, ada dua orang junior saya yang menghubungi minta bertemu. Dua-duanya saya tahu sebagai orang yang gila, gila sastra. Sebenarnya tanpa ditanyakan pun, saya tahu maksud mereka mengajak bertemu itu.
Ada kegelisahan tentang iklim sastra di sini. Mungkin karena mereka pikir saya punya sedikit hal yang bisa dibagikan setelah merantau ke kota yang kehidupan sastranya begitu semarak, mereka pun menanyakan pendapat saya. Di pertemuan itu, saya tangkap bahwa sebenarnya mereka (juga saya) butuh wadah untuk berbagi, bercerita, bertukar pikiran, dan sebagainya di bidang sastra. Maka saya pun menceritakan salah satu bentuk kegiatan yang rutin dilaksanakan di PKKH UGM. Dan kami bersepakat untuk meniru dan mengadaptasi bentuk diskusi itu.
Tanggal 9 Januari 2016, yang kemudian disepakati sebagai hari ulang tahun Kota Kata, diskusi pertama komunitas ini terselenggara. Diskusi pertama yang cukup meriah untuk kategori diskusi sastra di kota ini. Bahkan diskusi tersebut diliput oleh Kompas TV Palembang, juga didatangi oleh wartawan Sriwijaya Pos. Keberadaan Kota Kata pun tersiar di kedua media itu. Setelah itu, saya dan teman-teman beberapa kali diundang wawancara ke sejumlah media seperti Kompas TV Palembang pada bulan April, ke Sriwijaya TV pada bulan Oktober, dan ke radio Trijaya FM pada bulan Desember. Sebagai sebuah komunitas yang masih mencari bentuk, publikasi dari berbagai media seperti itu memberikan semangat tersendiri. Semangat untuk, dalam bahasa kekinian, eksis.
Namun, kami juga sadar bahwa sekadar eksis tidaklah cukup. Eksis juga harus diimbangi dengan isi yang berbobot. Maka di awal-awal terbentuknya, para pendiri Kota Kata bersepakat untuk membuat sebuah diskusi yang terstruktur, membedah cerpen berdasarkan unsur-unsurnya: tokoh, karakter, plot, setting, kalimat pertama, dan seterusnya. Di masa-masa itu, hanya ada satu cerpen karya penulis terkenal yang dibahas dalam pertemuan Kota Kata yang diadakan per dua pekan. Jika tema pertemuan adalah plot, maka cerpen itu kami kulik habis plotnya. Jika tema pertemuan adalah setting, jadilah setting yang kami kulik-kulik. Begitu seterusnya.
Sampai semua unsur pembentuk cerpen selesai, langkah berikutnya adalah membuat cerpen. Kami pun mulai membahas cerpen buatan anak Kota Kata sendiri. Berarti, sejak itu ada dua cerpen yang dibahas di diskusi Kota Kata: satu karya penulis terkenal, dan satu karya anak Kota Kata. Beberapa kali diskusi diselingi dengan menulis bersama-sama. Intinya, Kota Kata mengajak semua anggotanya untuk berkarya dan tak takut karyanya ‘dikuliti’ agar tulisan tersebut jadi lebih baik.
Hingga kini di usianya yang mencapai satu tahun, Kota Kata masihlah sebuah komunitas yang mencari bentuk. Sebagaimana semua selebrasi dan peringatan penambahan usia, ada banyak kata ‘semoga’ yang berhamburan. Di antaranya adalah semoga Kota Kata semakin solid, semakin menunjukkan wujud dan bentuknya. Semoga dalam bentuknya di masa-masa yang akan datang, akan ada semakin banyak orang yang merasa memiliki Kota Kata. Sehingga jika dipanggil lagi untuk eksis di berbagai media, sudah bukan lima pendirinya lagi yang terus-terusan tampil, tapi juga para suksesor. Semoga dari Kota Kata lahir penulis-penulis dan tulisan-tulisan berkualitas.
Semoga apa lagi? Mari kita lanjutkan, tidak dalam tulisan ini, tapi lewat tindakan. Tindakan-tindakan yang membuat ‘virus’ sastra semakin tersebar di kota kita. Tindakan yang mungkin akan memunculkan pertanyaan, “Ada rencana busuk apa lagi ini?”


ART.
Banyuasin, 9 Januari 2017.