Kamis, 20 Juli 2017

Tragedi Kentut

Cerpen ini pernah dimuat di Pos Belitung edisi 16 Juli 2017




Sesuatu yang terjadi telah menghebohkan seisi kampung itu. seorang lelaki mendadak tak bisa mengendalikan perutnya untuk mengeluarkan kentut. Ia mencoba untuk menahannya, tapi selalu gagal.
            Brooottttt... Broooottttt... Brrroooottttt...
            Bunyinya yang panjang dan aromanya yang busuk segera menyebar dengan liar. Mata semua orang yang ada di sekitarnya membeliak. Lalu dengan cepat orang-orang menjauh dari lelaki itu.
            “Tunggu.. Jangan pergi! Aku tidak apa-apa. Aku hanya....”
            Brooottttt... Brrrooottt.. Brooootttt...
            Begitulah. Hanya dalam beberapa jam, tak ada lagi yang mau dan bisa mendekati lelaki itu. Kentut lelaki itu jauh di atas batas normal, baik intensitas, bunyi, maupun baunya. Tak ada yang bisa bertahan untuk berada di dekatnya lebih dari sepuluh detik.
            Pak RW yang mendengar berita itu langsung memanggil dokter dari puskesmas terdekat. Dokter datang dan bersiap-siap memeriksa lelaki itu. Namun apalah artinya sebuah masker tipis yang digunakan oleh dokter itu jika berhadapan dengan kualitas kentut yang dihadapinya. Baru saja dokter membuka mulut untuk menanyakan keluhannya, lelaki itu sudah menjawab dengan kentut. Meski sempat memaksakan diri dan beberapa kali mencoba, dokter itu pun menyerah dan tak bisa mendiagnosa apa sebab lelaki itu tak berhenti kentut. Tak hanya itu, dokter itu pun kemudian pingsan akibat terlalu banyak menghirup kentut.
            Tak berhenti di situ, seorang dukun pun didatangkan. Berdasarkan kesaksian, dukun itu adalah dukun yang paling sakti seantero jagad kampung itu. Teluhnya bisa menyeberangi lautan. Santetnya tak pernah gagal dalam membunuh orang. Dukun yang datang itu segera menyiapkan peralatan-peralatannya. Ia menaburkan bunga tujuh rupa dan warna kepada lelaki itu. Asap dupa mengepul-ngepul di sekitar. Di tangan kirinya sudah siap segelas air yang akan dijampi-jampi. Ketika mulut dukun itu membuka hendak membaca mantra...
            Broootttt... Brooootttt.... Brrroooottttt....
            Dukun itu tersedak oleh udara kentut yang menyebar. Membuat mantra yang dibacanya jadi salah. Jin-jin yang dipanggilnya pun marah dan menambahi ‘kesaktian’ yang ada dalam kentut yang dikeluarkan lelaki itu. Si dukun yang saat itu posisinya paling dekat dengan lelaki tukang kentut itu mendadak kejang-kejang akibat tak tahan menerima serangan kentut.
            Masyarakat histeris menyaksikan semua itu. Walaupun sebenarnya mereka hanya melihat dari jauh karena tak ada yang berani mendekat. Bisik-bisik terjadi. Bisikan itu berubah menjadi gosip yang beradar. Gosip-gosip pun menyebar dengan cepat. Semuanya menyalahkan lelaki itu. menuduh lelaki itu akan membawa bencana ke dalam kampung mereka. Pandangan benci pun tak bisa ditutupi dari mata mereka.
            Lelaki yang selalu kentut itu pun merasakan tatapan benci yang ditimpakan padanya. Ingin ia berteriak mengatakan bahwa ini bukanlah kehendaknya. Ia adalah korban dalam kondisi ini. Namun apa daya, masyarakat tak ada yang mau ataupun bisa mendengarkan omongan lelaki itu. Sebab yang terdengar hanyalah kentut lelaki itu saja.
            Si tukang kentut menatap ke segala arah. Mencari seseorang yang mau mengerti kondisinya. Tapi tak satu pun yang ia temukan. Semuanya telah menghakiminya sebagai si tukang pembuat rusuh. Maka lelaki itu pun bersedih. Ia menangis. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kepalanya mendongak ke langit. Sementara ia menangis, kentutnya tak kunjung reda dan bahkan semakin menjadi. Orang-orang merasa jijik padanya. Mulai melempari ia dengan segala apapun yang bisa diraih.
            Demi harga dirinya, berlarilah laki-laki itu ke ujung desa. Di sana ia masuk ke sebuah gudang tua yang tak terpakai lagi. Lalu ia mengurung diri di sebuah ruang penyimpanan yang tertutup rapat. Ia sudah memutuskan bahwa ia akan mati hari ini. Ya. Dia akan bunuh diri. Dengan cara menghisap sendiri kentutnya sampai habis.
            Hanya dalam hitungan menit ruangan itu sudah penuh sesak oleh angin yang ia keluarkan. Ia hisap dalam-dalam setiap kentut yang ia keluarkan. Perutnya pun seolah tahu keinginannya untuk mati, lalu mengeluarkan kentut yang panjang-panjang dan besar-besar bunyinya. Seolah-olah tiada hari esok untuk kentut.
Broooootttt.. brrroooottt.. .brrrooottt..
Lelaki itu pun tercekat tenggorokannya. Napasnya sesak. Pandangannya berkunang-kunang. Gelap.
***
            Matanya terbuka perlahan-lahan. Ia kerjap-kerjapkan. Sudah matikah ia? Ia bertanya-tanya dalam hati. Di surga atau di nerakah dia? Ah. Mana ada surga yang menampung orang yang mati bunuh diri. Apalagi dengan cara menghisap kentut sendiri sampai habis. Cara bunuh diri paling hina yang pernah terpikirkan umat manusia. Tapi juga ia tak merasakan panas yang menyiksa, dan itu berarti ia bukan di neraka. Laki-laki itu kembali mengerjapkan matanya. Pandangannya lebih jelas kali ini. Dia masih ada di ruangan tertutup yang ada di dalam gudang tak terpakai itu.
            Ia masih hidup. Sesuatu yang sangat berat tiba-tiba terasa memenuhi dan menyesakkan dadanya. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ia bendung. Bahkan untuk mati pun ia tak diperbolehkan oleh alam. Apakah ia harus menanggung derita kentut ini sepanjang sisa hidupnya? Kentut oh kentut.
            Lelaki itu merenung. Ia tahu ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sadarlah ia bahwa sekarang ia harus menerima takdirnya ini. Takdir sebagai lelaki yang selalu kentut. Saat ia berpikir seperti itu, barulah ia menyadari sesuatu. Sejak ia bangun tadi, ia tidak kentut-kentut lagi. Lelaki itu menunggu beberapa saat. Menunggu kentutnya. Benar saja, kentut-kentutnya sudah berhenti. Tidak ada lagi bunyi dan bau kentut itu keluar dari perutnya.
            Maka segeralah lelaki itu meloncat bangkit. Keluar dari ruangan sempit itu. Berlari meninggalkan gudang yang tak terpakai di belakangnya. Dengan wajah berseri-seri sedemikian rupa, ia melangkahkan kakinya ke pasar. Tempat yang paling ramai di tengah kampung tempatnya tinggal.
            Orang-orang di pasar terkejut melihat orang itu datang. Mereka bersiap-siap untuk menutup hidung. Para pedagang segera menutupi barang dagangannya karena takut terkontaminasi oleh kentutnya. Satpam pasar sudah siap menghalangi gerakan lelaki itu. Namun laju lelaki itu tak bisa dihentikan. Ia terus saja berlari hingga akhirnya sampai ke tengah-tengah pasar.
            Semua mata menuju padanya, meskipun tetap dengan menutupi hidung masing-masing. Mereka tahu sepertinya ada yang hendak disampaikan lelaki itu, maka mereka pun menunggu. Pasar jadi hening. Menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. Namun lelaki itu diam. Tersenyum. Begitu terus sampai berapa lama, barulah ada yang menyadari.
            “Hei. Dia tidak kentut-kentut lagi,” ujar seseorang. Setelah mendengarkan itu, orang-orang seperti terbangun dari tidurnya. Mereka sadar bahwa yang dikatakan itu benar. Lelaki itu tidak kentut-kentut secara liar lagi.
            Masyarakat pun bertepuk tangan. Menyambut kembalinya si tukang kentut yang tak lagi kentut. Mereka menyalaminya satu per satu. Bahkan ada yang memeluknya begitu erat seperti seorang sahabat lama yang terpisah berpuluh-puluh tahun. Setelah itu ia diarak-arak, dielu-elukan untuk kembali ke tempatnya tinggal.
            Berita itu dengan sangat cepat menyebar. Pak RW tempat ia tinggal pun langsung mengerahkan warga untuk menyambut kedatangannya. Saat ia tiba, sebuah panggung telah tersedia. Pak RW memberikan sedikit pidato penyambutan. Setelah itu tibalah gilirannya untuk berpidato.
            Ia sebenarnya tak siap untuk sebuah pidato, namun semua orang menatapnya penuh antusias. Di atas panggung itu, sebelum ia berpidato, matanya menitikkan air mata haru melihat sambutan yang begitu meriah seperti ini. Orang-orang pun banyak yang ikut menangis. Namun ia segera mengendalikan diri. Meraih microphone dan mendehem sedikit. Saat ia membuka mulutnya untuk bicara...
            Brooootttttttttttttt.....
            Mata lelaki itu membelalak. Yang keluar dari mulutnya adalah kentut yang bunyinya besar dan panjang sekali, baunya pun jauh lebih menyengat dari pada kentut-kentutnya yang dahulu. Ia hampir pingsan kalau tidak melihat reaksi para penonton. Masyarakat yang menyaksikan itu terkejut, tapi tidak dengan benci melainkan dengan takjub. Rasa takjub yang ternyata begitu besar hingga begitu ia selesai mengeluarkan kentut lewat mulut, mereka bertepuk tangan dengan dahsyat.
            Lelaki itu buka mulut lagi ingin bicara.
            Broooottttttt..... Broooottttt.... Brrrroooottttt....
            Yang keluar dari mulutnya hanyalah kentut. Udara di kampung itu segera mengental karena aroma kentut yang ia keluarkan dari mulut. Namun tepuk tangan dan suka cita dari masyarakat semakin membahana. Lelaki itu pun bingung.

Yogyakarta, 20 Maret 2014.