Sabtu, 07 Maret 2015

Ulasan Buku "Lelaki Harimau" Karya Eka Kurniawan






Berikut ini ulasan subjektif saya tentang buku "Lelaki Harimau" Karya Eka Kurniawan:

Salah satu hal yang berhasil digambarkan dengan baik di dalam novel ini adalah tentang sifat manusia. Eka Kurniawan menurut saya mampu menggambarkan bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya hitam, pun tidak ada manusia yang sepenuhnya putih. Tidak ada yang benar-benar baik dan tidak ada yang benar-benar jahat. Tokoh-tokoh di dalam novel ini menyampaikannya dengan sangat baik.

Margio yang merupakan tokoh utama, di satu sisi ia sangat menyayangi ibunya, tapi di sisi lain ia membiarkan ibunya berselingkuh. Di satu sisi ia membenci ayahnya, tapi di sisi lain ia tidak ingin bertindak terlalu jauh apalagi sampai membunuh ayahnya itu. Di satu sisi ia disebut sebagai anak yang baik dan tidak banyak polah, tapi di sisi lain ia juga minum minuman keras. Ada dualitas di dalam dirinya.

Hal yang agak mengejutkan bagi saya adalah ketika tokoh ayah Margio pun bisa berbuat baik. Hampir di sepanjang cerita dijelaskan bahwa ia adalah sosok yang kejam dan sering menghajar istrinya. Namun menjelang akhir novel, Eka Kurniawan mampu menjelaskan bahwa ada motif tersendiri mengapa ia berlaku seperti itu. Dan penjelasan tersebut, sedikit banyak membuat saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan ayah Margio itu. Apalagi menjelang ajalnya, ayah Margio juga melakukan hal-hal yang positif. Seolah ingin menebus semua kesalahannya. Walaupun akhirnya saat ia mati, bumi seolah menolak mayatnya (Bagian ini terasa seperti cerita di dalam majalah Hidayah).

Selain kedua tokoh itu, tokoh-tokoh lain, seperti yang telah saya tuliskan juga memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.

Hanya saja untuk keseluruhan cerita, saya merasa agak kurang sreg dengan novel ini. Memang Eka Kurniawan masih tetap mampu bertutur dengan apik dan memberikan belokan-belokan mengejutkan di ceritanya, namun setidaknya ada dua hal yang mengganggu saya.

Pertama, judul buku ini adalah Lelaki Harimau dengan sampul yang menampilkan wajah harimau bermata ganas. Dengan judul dan sampul yang demikian, saya jadi memiliki ekspektasi yang tinggi tentang eksplorasi cerita soal harimaunya. Namun ternyata soal harimau ini hanya sedikit dibahas di dalam novel. Itu pun, dalam penilaian subjektif saya, tidak mencapai tataran filosofis tentang harimau itu sendiri. Saya tidak mendapatkan 'nilai-nilai' harimau yang menginternal ke dalam Margio. Yang tertangkap hanyalah harimau yang 'menempel' ke Margio saat ia tidak bisa mengendalikan amarah.

Kedua, di bagian awal ada cerita tentang Margio yang dipenjara dan dikunjungi oleh Mayor Sadrah. Munculnya adegan ini di bagian awal membuat saya berharap ada kelanjutan tentang bagaimana nasib Margio berikutnya. Namun ternyata sisa novel sama sekali tidak membahas kelanjutan nasib Margio itu dan justru berbalik menceritakan bagaimana sampai Margio bisa membunuh dan dipenjara. Saya merasa jadi bagian menjenguk di penjara ini agak sia-sia karena tidak dibahas lagi di bagian berikutnya.

Demikianlah ulasan subjektif saya tentang novel ini. Sangat mungkin salah walaupun mungkin ada bagian-bagian yang benar juga.

Ulasan Buku "Corat-coret di Toilet" Karya Eka Kurniawan






Berikut ini ulasan subjektif saya mengenai buku "Corat-coret di Toilet" Karya Eka Kurniawan:

Ketagihan. Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan reaksi saya setelah membaca cerpen-cerpen Eka Kurniawan di dalam buku ini. Dua belas cerita yang semuanya menurut saya keren. Beberapa mungkin masih terasa agak belum terlalu matang, 'Kandang Babi' misalnya, tapi tetap saja menjadi sebuah cerita yang asik dibaca.

Kelebihan Eka Kurniawan dalam cerpen-cerpennya yang ada di dalam buku ini mungkin terutama pada cara bertuturnya. Dia tidak memberikan kata-kata yang muluk namun berhasil membuat pembaca terus mengikuti cerita sampai akhir. Lalu ketika sudah sampai akhir cerita, Eka Kurniawan tidak memberikan sesuatu yang klise. Ia memberikan tikungan yang apik. Sering kali tikungan itu membuat saya sebagai pembaca tersenyum sendiri karena tidak menyangka cerita akan berakhir seperti itu.

Pun sepertinya Eka Kurniawan tidak melepaskan kritik-kritik sosial dalam cerpen-cerpennya ini. Contoh paling konkret tentu saja ada di cerpen 'Corat-coret di Toilet'. Kritik pedas dalam kemasan yang menurut saya sangat nyentrik. Siapa akan mengira bahwa hanya lewat vandalisme di dinding toilet kritik sepedas itu bisa muncul?

Dalam buku ini juga saya menemukan bahwa Eka Kurniawan adalah seseorang dengan imajinasi-imajinasi yang liar. Sesuatu yang sederhana dalam keseharian mampu ia angkat menjadi cerita yang luar biasa. Menjadi topik yang patut untuk diperhatikan.

Ulasan Buku "Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh" Karya Phutut EA





Berikut ini adalah penilaian subjektif saya terhadap buku "Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh" Karya Phutut EA:

Entah penting atau tidak untuk disampaikan, tapi saya pertama kali mendengar nama Phutut EA lewat seorang teman yang sangat mengidolakan cerpen-cerpen Phutut EA. Karena itulah saya mencoba-coba untuk mencari dan membaca cerpen-cerpen Phutut EA. Buku Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh sebenarnya bukan buku Phutut EA yang pertama kali saya baca. Sebelum membaca buku ini, saya pernah ke perpustakaan dan menemukan buku berjudul Kupu-kupu Bersayap Gelap yang diterbitkan Insist. Sayangnya saya gagal menyelesaikan buku itu. Hanya sekitar enam atau tujuh cerpen di dalam buku tersebut yang saya baca. Pada waktu itu saya belum bisa menikmati cerpen-cerpen Phutut EA sepenuhnya.

Beberapa waktu kemudian, saya membaca sejumlah buku Cerpen Pilihan Kompas. Dari beberapa buku itu, saya melihat cerpen-cerpen Phutut EA muncul beberapa kali. Karena itu keinginan untuk kembali membaca karya-karya Phutut EA muncul lagi, maka jadilah saya membeli buku Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh.

Buku ini memuat lima belas cerpen Phutut EA. Empat belas di antaranya sudah pernah dipublikasikan di berbagai media, sedangkan satu cerpen berjudul 'Mas Marga' belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Setelah selesai membaca kelima belas cerpen ini, saya mendapatkan pengukuhan atas setidaknya dua hal. Satu, saya diyakinkan bahwa yang membuat teman saya itu benar-benar mengidolakan Phutut EA adalah gaya bahasanya. Cara bertutur Phutut EA memiliki kekhasan sendiri dan cenderung agak puitis. Dengan cara bertuturnya yang demikian, Phutut EA mampu menyajikan cerita yang enak dibaca. Apalagi sebagian besar ceritanya mengandalkan penggambaran suasana, tentu penggambaran suasana itu jadi lebih bernyawa dengan kata-kata yang cenderung puitis.

Hanya saja, yang kedua adalah pengukuhan atas hal yang membuat saya tidak bisa terlalu menikmati cerpen-cerpen Phutut EA. Hampir semua cerpen Phutut EA, kalau tidak bisa dibilang semuanya, memberikan cerita yang sedih. Mungkin ini cuma soal selera, tapi saya pribadi tidak kuat mental kalau harus dicekoki lima belas cerita sedih tanpa ada satu pun selingan. Lalu kalau diperhatikan, hampir semua cerpen Phutut EA menggunakan sudut pandang orang pertama. Di dalam buku ini pun, kalau saya tidak salah hitung, empat belas cerpen menggunakan sudut pandang orang pertama dan hanya satu yang tidak memakai sudut pandang tersebut. Sekali lagi ini mungkin cuma soal selera, tapi saya merasa jenuh juga dengan penyajian yang seperti itu. Terasa monoton. Mungkin karena alasan yang telah saya sebutkan tadi, saya jadi lebih bisa menikmati cerpen-cerpen Phutut EA yang ada dalam sebuah antologi 'keroyokan', seperti dalam Cerpen Pilihan Kompas. Saya mungkin tipe pembaca yang tidak mau dibuat sedih terus-terusan. :)

Meskipun begitu, buku Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh tetap harus saya akui adalah sebuah buku yang memiliki nilai sastra yang relatif tinggi. Buku ini pun menunjukkan adanya usaha Phutut EA untuk kembali serius menulis cerpen setelah beberapa waktu rehat. Penggemar-penggemar Phutut EA, seperti teman saya, tentu akan sangat senang jika kembali menemukan tulisan-tulisan baru Phutut EA bersandar di rak toko buku.

Demikianlah ulasan saya mengenai buku ini. Sekali lagi saya tekankan bahwa ulasan ini hanya bersifat subjektif.