Kamis, 13 Desember 2018

Muazin Waya-Waya


Cerpen ini pernah tersiar di Koran Pantura edisi 23 Februari 2018
 
Suaranya sumbang. Tidak enak didengar. Melengking. Fals. Tidak hanya itu, makhrojul huruf pun sepertinya tak selesai ia pelajari. Ketika digabungkan dengan sound system di masjid kampung yang sudah ada sejak zaman kakekku masih bujangan, maka sempurnalah paduan ketidaksempurnaan tersebut. Celakanya lagi, Pak Ridwan (sepertinya) tidak sadar bahwa suaranya begitu menyiksa orang-orang yang mendengarnya dan ia malah terlihat sangat suka mengumandangkan azan. Setiap hari, hampir genap lima waktu sholat, selalu ia yang jadi muazin.
Karena paduan antara suara fals, makhrojul huruf yang kacau, serta sound system yang centang perenang, azan yang dilantangkan Pak Ridwan jadinya tak hanya buruk, tapi juga aneh. Di bagian yang harokat-nya ia panjang-panjangkan akan terdengar suara ‘waya-waya’. Misalnya di bagian, “Hayya ‘alashsholah” akan menjadi “Hayya ‘alahsholaaaawaya-waya”. Begitu juga di bagian, “Hayya ‘alalfalah” akan jadi “Hayya ‘alalfalaaaawaya-waya” dan seterusnya untuk bagian-bagian lain. Karena itulah, ia kami panggil sebagai muazin waya-waya.
Tentu saja tidak ada yang memanggilnya ‘muazin waya-waya’ tepat di hadapan yang bersangkutan. Panggilan itu jadi semacam kode. Dan tentu saja, sebenarnya sudah ada upaya dari berbagai pihak untuk memperbaiki keadaan di masjid kampung kami itu.
Demi menjaga perasaan Pak Ridwan, sang muazin waya-waya, pengurus masjid pernah mengadakan pengajian rutin seminggu sekali. Materi yang diberikan penceramah utamanya tentang makhrojul huruf, cara-cara pengucapan huruf hijaiyah yang baik. Namun, seperti mengukir di atas air, semua yang diajarkan itu lewat-lewat saja bagi Pak Ridwan yang berumur sudah lebih dari lima puluh. Tak ada sedikit pun perubahan. Ia tetap mengucapkan huruf sebagaimana ia mau. Memanjang-manjangkan harokat yang harusnya pendek. Memendekkan harokat yang seharusnya panjang. Setelah lebih empat bulan, penceramah yang memang sudah dibebankan ‘misi rahasia’ itu pun akhirnya angkat tangan. Tak bisa lagi berbuat apa-apa. Pengajian itu pun bubar jalan.
Pernah juga tercetus rencana untuk memanggil guru ngaji privat bagi Pak Ridwan, tapi rencana itu dibatalkan karena timbul kekhawatiran Pak Ridwan akan tersinggung. Merasa dirinya dipojokkan atau sejenis itu. Pengurus masjid khawatir semangat Pak Ridwan yang tinggi itu justru akan melempem dan layu sebab merasa diremehkan. Bagaimanapun, seseorang yang selalu semangat menyemarakkan masjid haruslah dianggap sebagai sebuah aset, bukan? Karena itu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh para pengurus masjid selain pasrah dan berdoa.
Hingga akhirnya datanglah Muammar ke kampung kami. Pemuda dua puluh tahunan itu baru selesai merantau. Menuntut ilmu di pondok pesantren terkemuka di Jawa Timur. Orang tuanya menyambut dengan perasaan rindu setelah lama tak bertemu keturunannya. Pengurus masjid menyambut dengan perasaan seolah ia adalah jawaban dari semua pasrah dan doa.
Rapat kecil pengurus masjid telah bersepakat untuk meminta Muammar supaya aktif di masjid kampung. Permintaan yang mendapatkan anggukan pasti dari yang diminta. “Memang itu yang ditugaskan guru saya di pondok. Pulang, harus menyebarkan yang saya dapat di perantauan.” Begitu ujar anak muda itu. Dan dari ucapan itulah permasalahan di masjid kampung kami dimulai.
Keesokan harinya, saat Pak Ridwan datang ke masjid seperti biasa untuk mengumandangkan azan subuh, ia terkejut melihat Muammar sudah ada di posisi, memegang pelantang suara. Ketika Muammar mengeluarkan suaranya, rupa-rupanya suara itu begitu merdu. Ditambah dengan makhrojul huruf yang tidak usah lagi dipertanyakan. Untuk pertama kalinya sound system yang telah butut sedemikian rupa, bisa tidak mengganggu kualitas azan yang dikumandangkan.
Untuk pertama kali pula, seusai azan subuh itu, puluhan warga kampung datang ke masjid. Ikut salat berjamaah. Pengurus masjid pun terkejut melihat hal itu. Jamaah subuh, di luar bulan puasa, maksimal tujuh –selain Pak Ridwan-  orang yang semuanya sudah sepuh dan semuanya merupakan pengurus masjid itu sendiri. Seusai salat, jamaah bubar. Para pengurus masjid saling berpandangan. Seperti ada yang ingin disampaikan, tapi tak tahu apa.
Hingga akhirnya hal yang mereka khawatirkan terjadi. Salah seorang jamaah subuh dadakan itu, ketika mengambil sandal dan hendak pulang, berujar dengan santai tapi cukup nyaring untuk terdengar oleh semua yang masih ada di masjid, “Azannya tadi bagus. Bikin semangat ke masjid. Nggak kayak biasa.”
Muammar tampak bingung. Pak Ridwan tampak tersinggung. Pengurus masjid meneguk ludah.
***

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pengurus masjid memanggil Pak Ridwan. Dan seperti yang sudah diduga walaupun tidak diinginkan, Pak Ridwan benar-benar tersinggung dan tak suka dengan keberadaan Muammar.
“Jadi saya sudah tidak dibutuhkan lagi sebagai muazin di sini, kan?” ujarnya.
“Tentu saja bukan begitu. Bapak tetap akan jadi muazin sebagaimana biasa. Emmmm.. Hanya saja... Emmm.. Muammar akan bergantian azannya dengan Bapak.”
“Itu namanya tidak ‘sebagaimana biasa’.”
Pengurus masjid terdiam sesaat. Untungnya salah satu dari tujuh lelaki renta itu ada yang masih cukup lincah otaknya. “Tiga bulan lagi masuk bulan puasa, Pak Ridwan.”
“Terus kenapa?”
“Bapak suka nonton sepak bola, kan? Apa yang akan dilakukan para pelatih kalau jadwal tim mereka lagi padat-padatnya? Rotasi pemain. Apa karena pemain bintangnya tidak bermain bagus? Bukan. Tapi untuk jaga stamina dan menghindari cedera akibat bintang itu kelelahan bermain.”
Kali ini Pak Ridwan yang terdiam. Ia teringat peristiwa tahun lalu di bulan Ramadhan. Karena jadwal ibadah bertambah, dan hampir semua (mulai dari muazin, qori’, bilal, sampai ceramah dan imam) ia ambil bagian, suaranya jadi serak dan tak mau keluar. Akhirnya, pengurus masjid yang tujuh orang itu ambil alih sejak pertengah Ramadhan. Napas tua mereka yang sudah satu-satu membuat mereka juga tersiksa.
“Dan,” lanjut pengurus masjid, “Si anak baru itu, ia hanyalah pemain pelapis. Tak akan bisa menggantikan posisi pemain utama. Sekarang kami ingin tahu dulu pantas tidaknya dia jadi pemain pengganti.”
Pak Ridwan setuju. Ia akan bergantian jadi muazin di masjid kampung. Sore itu ia pulang ke rumah. Dengan senyuman yang aneh. Seperti senyum seorang anak kecil yang tahu bahwa rasa obat tidak enak, tapi tetap juga menelan obat itu karena terus-terusan dibujuk dan dibilang, “Obat ini tidak pahit kok.”
***

Sebagaimana aroma parfum, kebenaran tetap akan menyeruak dengan sendirinya. Pengurus masjid bisa saja bermanis mulut di depan Pak Ridwan, tapi kenyataan di lapangan tidak bisa membohongi mata. Terjadi ketimpangan yang sangat jelas, terkait jumlah jamaah salat, setiap kali keduanya jadi muazin.
“Aku merasa terpanggil ke masjid kalau Muammar yang azan.”
“Sama. Tidak seperti yang satu itu ya.”
“Yang mana maksudmu?”
“Kau tahulah. Muazin waya-waya. Dari semangat, jadi malas ke masjid kalau mendengarnya.” Lalu kedua orang itu tertawa.
Obrolan seperti itu tersebar dan merebak. Tanpa bisa dikendalikan. Meskipun diucapkan secara hati-hati mungkin agar yang bersangkutan tidak mendengar, namun di kampung kecil seperti kampung kami, obrolan itu tetap saja jadi topik populer.
Efeknya tidak pernah diharapkan oleh siapapun, termasuk mereka yang menyebarkan obrolan itu sendiri. Pak Ridwan jadi pemurung. Muammar jadi sungkan serta tak enak hati. Masa-masa ini menjadi masa yang paling berat bagi semua pihak. Baik Pak Ridwan maupun Muammar sering menelat-nelatkan diri datang ke masjid, sama-sama takut menjadi penghalang bagi yang lain untuk mengumandangkan azan. Pengurus yang semuanya tua itu keteteran sebab azan jadi sering terlambat.
“Ini harus dihentikan. Kita harus mengambil tindakan,” ujar salah seorang pengurus masjid.
Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hingga tiga minggu lebih lima hari suasana masih seperti itu. Sampai akhirnya Tuhanlah yang bertindak. Di suatu dzuhur yang mendung, ketika Pak Ridwan mengumandangkan azan, tiba-tiba ia seperti tersedak dan terdengar suara seperti orang mendengkur tepat di bagian ‘waya-waya’. Dua detik kemudian lelaki paruh baya itu ambruk. Tak sadarkan diri. Bunyi microphone berdenging.
Semua yang ada di dalam masjid segera mendekat. Dengan wajah panik mereka mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seorang mengambil air putih untuk dipercikkan ke wajah Pak Ridwan. Seorang lagi mengambil air untuk diminum jika Pak Ridwan nanti terbangung. Seorang lagi berlari ke rumah Pak Ridwan untuk memanggil keluarganya. Sisanya, mengerumuni lelaki itu. Menepuk-nepuk pipinya sembari memanggil-manggil. Namun tak ada respons. Tak ada jawaban. Butuh waktu sampai lima belas menit untuk meyakinkan mereka semua bahwa Pak Ridwan telah diajak pulang oleh-Nya.
Di antara isak tangis keluarga, akhirnya disepakati bahwa jenazah akan segera dimandikan seusai salat dzuhur. Sebab memang tidak ada keluarga yang harus ditunggu dan memandikan jenazah serta menguburkannya harus disegerakan. Saat mengucapkan ‘seusai salat dzuhur’, barulah orang-orang tersadar bahwa mereka belum ada yang melaksanakan kewajiban itu karena Pak Ridwan sendiri meninggal di saat mengumandangkan azan.
Maka dipanggillah Muammar untuk segera melantangkan panggilan salat. Wajah dan ekspresi Muammar memang tampak lebih suram dari biasanya. Ia seperti diselimuti awan kelabu. Tertunduk murung. Suara yang ia lantangkan juga terdengar sedikit lebih serak dari biasa, walau tetap saja terdengar merdu. Karena suaranya dan kefasihannya, seperti ada hening yang tercipta saat ia azan. Rasa-rasanya kepanikan yang tadi melanda menguap begitu saja. Sampai, entah kenapa, untuk pertama dan terakhir kalinya, aku mendengar Muammar mengeluarkan suara, “Hayya ‘alahsholaaaawaya-waya.”
Semua yang ada di masjid, termasuk aku, hampir tersedak kala itu.


ART.
Palembang, 19 Januari 2018.
Selamat Ulang Tahun, Sanggar EKS.