Sabtu, 29 Agustus 2015

Ulasan Buku "The Swan" Karya Dewi Ria Utari





Secara jujur saya nyatakan bahwa saya membeli buku ini karena melihat nama penulisnya. Dewi Ria Utari adalah penulis yang cerpen-cerpennya beberapa kali masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas. Itu berarti saya mengenalnya sebagai seorang penulis karya sastra serius, sastra yang berat. Lalu, karena saya sedang ingin membaca sesuatu yang berat, dan di toko buku saya melihat nama Dewi Ria Utari, tanpa pikir panjang, saya ambil buku The Swan ini.

Dan ternyata ini adalah buku teenlit. Ada rasa kecewa (karena waktu itu saya benar-benar sedang ingin membaca yang agak berat, bukan cinta-cintaan anak sekolah), juga menyesal karena saya tidak lebih dulu melihat blurb yang ada di sampul bagian belakang buku ini. Tapi kemudian tetap saya baca buku ini sampai habis. Saya menganggap ini sebagai 'sisi lain' Dewi Ria Utari yang belum saya ketahui.

Saya tidak terlalu banyak membaca buku dengan tema romance anak sekolah, tapi sepertinya buku ini memberikan beberapa tawaran yang agak baru. Misalnya, tokoh cowok utama bukan anak basket, anak band, ataupun ketua osis. Tokoh utama di novel ini pun bukan cewek cantik dan pintar yang jadi rebutan seantero sekolah, justru seorang yang minder karena ia tak secantik mamanya.

Selain itu, novel ini tidak hanya menyajikan konflik cinta remaja saja. Ada juga side-story yang cukup menarik tentang keluarga , yaitu tentang konflik antara tokoh utama dengan ayahnya. Clarissa menuduh papanya telah berselingkuh sehingga ia pun melakukan 'detektif-detektifan' dan beraksi mencari bukti atas benar tidaknya tuduhannya itu.

Hanya saja, menurut saya, cuma itu yang menjadi kelebihan dari novel ini. Sebab sisanya sudah bisa ditebak, tipikal. Ending cerita sudah bisa ditebak sejak awal membaca halaman pertama. Tidak ada kejutan yang 'waw'. Juga tidak ada bagian yang mengaduk-aduk perasaan pembaca dan membuat pembaca benar-benar merasa terlibat dalam cerita yang disajikan penulisnya.

Jadi, saya tetap lebih menyukai tulisan Dewi Ria Utari yang berupa sastra serius. Saya yakin penilaian saya ini sangat subjektif. Sebab kemungkinan besar saya tidak bisa terlalu menikmati The Swan ini karena dunia para model (yang ada di novel ini) adalah dunia yang tidak terjangkau oleh saya, dunia yang jauh dan hanya di angan-angan saya belaka. Atau mungkin juga karena saya sudah terlalu tua untuk membaca cerita cinta remaja yang masih SMP dan SMA.

Ulasan "Animal Farm" Karya George Orwell


Buku ini tipis sebab ia memang tergolong novelet (sebagian orang menyebutnya novela), tapi kesan yang ditimbulkan setelah membacanya sangat dalam. Tentu ada beberapa, bahkan banyak sekali, interpretasi yang bisa muncul dari prosa George Orwell ini. Namun, yang saya tangkap terutama adalah mengenai kritiknya akan pemerintahan sebuah negara.

Mimpi babi putih, Major, yang menyuarakan kemerdekaan akhirnya tercapai tak lama setelah kematian sang babi tua. Tapi ternyata kemerdekaan itu patut dipertanyakan maknanya dan di sinilah kepandaian George Orwell menyampaikan kritik terlihat. Kemerdekaan yang diimpikan ternyata hanya sebuah euforia sementara. Setelah merdeka, ada perebutan kekuasaan, misalnya antara Snowball dan Napoleon. Rakyat (binatang-binatang lain di peternakan itu) tidak bisa ikut memberikan saran ataupun kritik pada keduanya karena tidak secerdas para babi. Mereka hanya mengangguk mengiyakan apa yang menurut mereka dapat mereka mengerti.

Di masa pemerintahan Snowball, sejak awal, terlihat korupsi dan kolusi yang terselubung. Atas nama bekerja keras dan mengelola pemerintahan (peternakan), para babi diberikan hak istimewa. Makanan yang lebih enak dan banyak, tempat yang lebih layak, dan beberapa hal lain. Kemudian Snowball dikudeta oleh Napoleon yang menggunakan anjing-anjing galak yang telah dilatihnya sedemikian rupa. Saya menangkap bahwa anjing-anjing ini adalah metafora yang digunakan Orwell untuk menyebut pihak militer. Dengan menggunakan anjing-anjing itu sebagai sebuah ancaman, tidak ada yang berani mengkritik ataupun menolak perintah Napoleon. Dengan serta merta, Napoleon menjadi seekor babi pemimpin yang harus ditaati semua kehendaknya. Siapa yang berani melawan, akan dibantai. Siapa yang berani bersuara, akan dianggap sebagai pemicu tindakan subversi.

Sementara itu, rakyat tetap sengsara. Baik sebelum ataupun sesudah kemerdekaan, mereka tetap harus mencari makan sendiri. Bedanya, setelah merdeka, terutama di bawah pemerintahan Napoleon, mereka juga harus bekerja untuk jalannya pemerintahan. Memberikan pajak untuk keistemewaan penyelenggara pemerintahan, sampai pada pembangunan proyek yang mereka sendiri tak mengerti apa manfaatnya untuk mereka.

Boxer, seekor kuda pekerja yang paling loyal, yang setia pada pemimpinnya karena percaya pemimpin hanya ingin memberikan yang terbaik pada rakyatnya, akhirnya justru ditumbalkan. Boxer, yang sudah memberikan seluruh yang ia punya untuk pemerintahan peternakan itu, dikirim ke rumah jagal tepat setelah tenaganya tidak bisa dipakai lagi. Nasib masyarakat hewan yang ada di peternakan itu pun tidak lebih baik. Mereka, di tengah kemerdekaannya, diperbudak oleh seekor babi pemimpin bernama Napoleon yang dijaga anjing-anjing galak. Di akhir, mereka menyaksikan sendiri bagaimana Napoleon duduk semeja dan makan bersama dengan manusia yang mereka anggap sebagai penjajah. Bahkan para hewan pun kemudian tidak bisa membedakan lagi, mana babi pemimpin mereka dan mana manusia yang menjajah mereka, karena mereka semua jadi serupa.

Mungkin, di antara semua binatang di peternakan tersebut, yang paling bahagia adalah Mollie. Sebab Mollie tidak pernah merasakan penderitaan sebagaimana binatang-binatang lain. Ia memilih pergi keluar dari peternakan itu dan dipelihara oleh manusia yang memperlakukannya dengan baik. Ia tidak ambil pusing dengan kemerdekaan peternakan, ataupun keterjajahannya. Yang ia pikirkan hanyalah kemauannya sendiri dan ia mendapatkannya. Karena itulah ia bahagia dengan caranya sendiri. Mungkin.

Ada banyak hal lain yang menjadi kelebihan George Orwell di buku ini. Tidak bisa saya jabarkan semua di blog ini karena keterbatasan saya. Yang jelas, saya mengungkapkan rasa salut terhadap penulis buku ini dan merasa bahwa wajar buku ini mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi. Juga, saya merasa perlu mengapresiasi Alm. Prof. Bakdi Soemanto sebagai penerjemah buku ini. Karena terjemahan beliau sangat nyaman untuk dibaca. Tidak ada satu bagian pun yang membuat saya tersendat karena alasan terjemahan selama saya membaca buku ini.