Senin, 15 Juni 2015

Ulasan Buku "Ayah" Karya Andrea Hirata



Review Novel Ayah

Berikut ini ulasan saya mengenai buku Ayah karya Andrea Hirata. Ulasan ini saya mulai dengan poin-poin yang dianggap sebagai kekurangan, dan saya akhiri dengan poin-poin positif.
Pertama, tipikal. Orang-orang yang mengikuti karya-karya Andrea Hirata sejak awal, Laskar Pelangi, sampai Ayah pasti merasakan ada beberapa hal yang sama atau setidaknya mirip-mirip dari satu karya ke karya yang lain sehingga ceritanya relatif bisa ditebak. Sebagai contoh, hampir semua novel Andrea Hirata, termasuk Ayah, bercerita tentang orang udik yang melakukan perjalanan ke kota. Orang udik itu akan merasa gumun, kagum, terheran-heran dengan kondisi tempat yang ia datangi. Tidak jarang, orang-orang di tempat baru tersebut juga akhirnya tak kalah gumun, kagum, dan terheran-heran dengan orang udik itu. Dalam novel Ayah ini yang melakukan perjalanan adalah Tamat dan Ukun. Hal berikutnya yang tipikal adalah persoalan cinta gila. Cinta gila yang dialami Sabari pada Lena mengingatkan pada cerita sejenis, misalnya Arai pada Zakiah Nurmala, dan tentu saja Ikal pada A Ling. Semuanya adalah cinta yang ‘berdarah-darah’ untuk diperjuangkan, tapi berakhir manis. Ini juga berpengaruh pada karakter tokoh yang dibangun. Secara jujur, dalam percintaan, karakter Sabari dan Arai hampir sama. Sama-sama pantang menyerah dan tak tahu diri walaupun sudah ditolak berkali-kali.
Poin kedua yang saya soroti adalah persolan pembangunan logika cerita. Pertemuan Ukun dan Tamat dengan Jonpijarelli dan Manikam adalah kebetulan yang terlalu kebetulan. Cenderung sedikit sinetron. Membayangkan di sebuah kota yang begitu luas, bisa bertemu dengan mantan suami Lena. Lalu ketika ke kota lain yang tak kalah luas, bertemu dengan mantan suami Lena yang lain lagi, tepat ketika sedang ada festival tahunan pula. Jadi terkesan kebetulan yang dipaksakan. Poin ketiga berhubungan dengan logika cerita, yaitu adanya ‘bolong-bolong’ cerita. Setelah selesai membaca Ayah, akan ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya, “Jadi siapa itu Amirza?” atau “Bagaimana Ukun dan Amat akhirnya bisa bertemu dengan Zorro?” dan “Kenapa Lena akhirnya mengizinkan Zorro dibawa, padahal sebelumnya Lena membawa Zorro dengan paksa?”
Poin keempat yang saya anggap kelemahan dalam novel ini adalah alur yang mudah ditebak. Ini berkaitan dengan poin pertama, karena ceritanya tipikal dengan cerita-cerita sebelumnya. Persoalan surat cinta palsu dari Lena untuk Sabari di majalah dinding, kehamilan Lena, pengambilan paksa Zorro, dan kembalinya Zorro ke Sabari adalah contoh bagian-bagian yang mudah ditebak tersebut. Tidak ada kejutan.
Berikutnya, seperti yang sudah saya nyatakan, saya akan membahas kelebihan-kelebihan yang ada dalam novel Ayah ini.
Kelebihan pertama adalah tetap adanya humor-humor segar. Humor hiperbolik yang cerdas dari Andrea Hirata. Bahkan di novel ini ada jenis humor baru yang dilontarkan oleh Andrea Hirata, yaitu block, ctrl, copy, paste. Kelebihan kedua adalah tetap adanya mitos-mitos baru. Mitos-mitos yang entah benar beredar atau tidak. Pada buku-buku sebelumnya, ada mitos tentang awal musim hujan di tanggal tertentu di bulan tertentu akan membawa keberuntungan. Di buku Ayah, ada mitos tentang senja berwarna biru. Kelebihan ini di satu sisi mungkin terlihat seperti kelemahan karena bersifat tipikal, tapi berbeda. Sebab mitos-mitos yang dibawa selalu baru dan tidak jamak diketahui. Berikutnya adalah adanya eksplorasi-eksplorasi estetis yang dilakukan Andrea Hirata di dalam novel ini. Misalnya adalah tentang struktur alur waktu yang tidak linear seperti terdapat dalam karya-karya sebelumnya. Di novel ini alurnya waktunya fragmentaris, ada flashback, tidak melulu alur maju. Dalam karya teranyarnya ini juga terlihat bahwa ‘aku’ tidak lagi menjadi dominan. Yang dominan adalah sudut pandang ‘dia’. ‘Aku’ hanya sedikit sekali berperan, yaitu di bagian akhir novel. Terakhir, adalah tentang perkembangan kemampuan naratif Andrea Hirata. Sejak Laskar Pelangi sampai Ayah terasa kemampuan bercerita Andrea Hirata terasa semakin matang. Cerita disampaikan dengan semakin mengalir. Membuat orang semakin terlibat di dalam cerita-ceritanya. Bisa tertawa di satu bab, namun menangis di bab yang lain. Kemampuan naratifnya inilah yang menurut saya menjadi titik utama dan mampu mengatasi semua kelemahan yang telah saya paparkan di awal. Sebab dengan kemampuan bercerita yang baik, orang tidak lagi begitu mempedulikan adanya ketipikalan tokoh dan karakter, logika yang kurang pas, ataupun alur yang tertebak. Semua tidak menjadi masalah karena semua disampaikan dengan apik dan rapi. Andrea Hirata juga semakin menegaskan bahwa sebagai penulis, kita harus bisa menggali sebuah cerita sederhana menjadi luar biasa. Sebab mungkin fakta yang terjadi biasa saja, tapi lewat kata-katanya penulis mampu membuatnya menjadi keajaiban yang mempesona.


Salam.
Rizqi Turama.
Yogyakarta, 14 Juni 2015