Kini dia bisa melihat anaknya yang tengah bermain di halaman depan rumah. Matanya sayu melihat anak kecil itu. Tiga tahun lalu adalah saat terakhir kalinya ia melihat anaknya itu. Saat itu anaknya masih dalam gendongan si ibu. Sudah lama sekali. Begitu lama hingga rindu itu sudah tak tertahankan dan dia akan melakukan apapun untuk bertemu lagi dengan putrinya tercinta, seperti sekarang. Orang tua mana yang sanggup berpisah sekian lama dari anaknya. Begitupun lelaki itu. Ia sudah mencapai batas kesanggupannya menahan rindu akan putri kecilnya. Perlahan matanya basah.
Sementara ibu anak itu, hanya berdiri mematung tanpa suara menyaksikan kedatangan suaminya. Tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Para tetangga yang tadinya sibuk sendiri-sendiri di teras rumah masing-masing pun seperti tersihir dan diam, takjub melihat pemandangan itu.
Pria itu kemudian mendekati anaknya yang masih sibuk bermain. Diangkat, lalu digendongnya. Si anak hanya diam tak mengerti. Ditatapnya dalam-dalam wajah anaknya itu. “Wajah inilah yang selalu ingin kulihat. Wajah inilah yang membuat aku memendam rindu tak terkira. Anakku, ayah pulang.” Itulah kata-kata yang diucapkan lelaki itu. Diciuminya kening anaknya yang kemudian tersenyum. Lelaki itu mencium anaknya sekali lagi, penuh dengan cinta seorang ayah yang tulus. Ia tak peduli tangan anaknya telah mengotori seragamnya. Yang ia tahu, tak sia-sia ia pulang lebih cepat. Senyuman itu.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. “Dor. Dor. Dor.”
Anak kecil itu menangis ketakutan. Merah hangat merembes dari seragam narapidana sang lelaki. Beberapa peluru telah mengenai punggungnya. Lelaki itu roboh, namun tetap memeluk erat anaknya. Kemudian dengan linangan air mata, ia berkata, “Jangan menangis, anakku. Tetaplah tersenyum.” Sesaat setelah itu pelukannya mengendur dan akhirnya tak bertenaga sama sekali. Lelaki itu meregang nyawa.
Beberapa meter dari situ terlihat beberapa polisi yang mengacungkan pistolnya. Salah seorang di antaranya kemudian berteriak, “Rasakan itu. Berani-beraninya perampok seperti kau melarikan diri.”
Anak tadi hanya menangis tersedu. Ketakutan dan tidak mengerti apa yang terjadi. Tangis yang mengalun dengan sendu.
***
Banyuasin, 16 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar