Rabu, 03 Januari 2018

Kue yang Semenggoda Surga


Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspres pada tahun 2017

Sebagai office boy yang sering disuruh ini-itu, sebenarnya pekerjaannya cukup rapi dan cekatan. Namun, dia tidak pernah bisa dipercaya untuk membagikan kue di kantor kami. Sebab bisa dipastikan distribusinya akan bermasalah. Dia, sebagai orang yang mendistribusikan, akan mengutip bagian orang lain sehingga kue yang terdistribusi akan sedikit sekali. Semua orang juga tahu akan hal itu. Tapi untuk kali ini, justru dialah yang bertugas membagi-bagikan kue ke seisi kantor. Padahal kue yang dibagikan kali ini adalah kue yang konon paling enak ketimbang kue-kue sebelumnya.
Penyebabnya hanya ada satu, kue itu terbuat dari dan dihiasi dengan pisang. Dan dia alergi dengan pisang. Suatu hari ia pernah tak sengaja memakan sepotong pisang yang terselip di antara hiasan-hiasan kue. Hasilnya luar biasa. Hanya dalam waktu 30 menit badannya bentol-bentol, terutama di bagian wajah. Ia pun jadi tampak menyeramkan.
Aku yakin pemberian tugas padanya untuk membagikan kue pisang kali ini adalah  keisengan teman-teman kantorku. Bisa juga itu jadi hukuman untuknya yang sering mengutip kue. Bisa dibayangkan, seseorang yang selalu tak bisa menahan diri untuk mencuri dan makan kue yang bukan haknya diberi tugas untuk memberi kue yang terbuat dari bahan yang tidak bisa ia makan. Tentu dia akan sangat menderita.
Hanya saja, aku tergolong orang yang tidak setuju dengan perbuatan itu. Bukan karena aku bertoleransi padanya. Bukan juga karena aku tak tega dia ‘dipermainkan’ dengan cara itu. Bukan. Aku tak setuju justru karena aku sama sekali tidak percaya dia. Dia bisa saja melakukan hal-hal di luar dugaan karena ketamakannya pada kue. Dan aku tak akan pernah rela jika jatah kueku harus sampai berkurang hanya gara-gara dia.
***

Kehebohan terjadi di kantor. Separuh dari jumlah kue yang harusnya dibagi-bagikan telah menghilang. Semua itu terjadi hanya dalam waktu lima belas menit. Tepatnya ketika aku mengalami sakit perut yang tiba-tiba dan mau tak mau harus ke kamar kecil. Rupanya selama aku di kamar kecil itu kurir pengantar kue tiba, si OB yang tamak akan kue itu menerima paket.
Begitu aku keluar dari kamar kecil, kudapati si OB sendirian dengan kotak paket yang telah terbuka. Aku lihat isinya sudah hilang setengah. Wajahnya menjadi cemas. Segera saja kugeret ia keluar dari ruangan.
“Aku hanya mengecek. Tidak kumakan kue itu. Sungguh. Si kurir memang mengirimkan kotak yang setengahnya kosong,” ujarnya.
Kuhentikan langkah. Lalu kulayangkan sebuah pukulan tepat ke wajahnya. Aku paling benci dengan maling yang mencoba ngeles dengan alasan tak masuk akal seperti itu. Orang-orang yang melihat kejadian itu terdiam. Kucekal kerah baju si OB dan kuseret dia menuju ruang pimpinan.
Begitu sampai di depan ruang manajer, kubuka pintu dan kudorong OB itu hingga tersungkur.
“Setengah dari jumlah kue yang datang telah dia makan,” ujarku mencoba untuk menjawab pandangan manajer yang penuh dengan tanda tanya.
Manajer kami bangkit dari duduknya. Ia tahu aku memang tidak suka dengan OB yang satu ini.
“Benar itu?” ujar manajerku.
Tentu saja maling tak ada yang mengaku. Si OB mengulangi lagi kalimat yang tadi ia katakan padaku. Bedanya kali ini tidak ada kepalan tangan yang mendarat di wajahnya. Aku menahan diri.
Manajer tampak menarik napas. Kelihatan sekali ia mencoba untuk bersikap bijak dan netral dalam menghadapi masalah ini. Mungkin dalam pikirannya aku terlalu membesar-besarkan masalah. Toh ini semua hanya soal kue. Tetapi, di sisi lain, ada kemungkinan dia juga menyadari bahwa hal sepele yang dipendam dan ditumpuk tak ubahnya seperti berak yang ditahan-tahan, suatu saat akan meledak dan berceceran ke mana-mana: menjadi hal yang memalukan.
“Kenapa kau yakin OB kita ini telah mencuri dan memakan kue yang dipesan?”
Aku diam sejenak sebelum menganggukkan kepala. Si OB diam saja.
“Dia sendirian di ruang OB. Kotak-kota kue itu terbuka. Tanpa isi. Maka penjelasan macam apa lagi yang diperlukan? Kita tahu tak mungkin pihak pengirim kue memberikan kotak kosong. Apalagi kosongnya sampai setengah. Pihak pengirim kue tentu tahu risiko bermain-main dengan komoditas yang mereka perjualbelikan.”
Manajer mengangguk-anggukkan kepala, “Tapi apa buktinya kalau OB ini yang memakannya?”
“Sesaat sebelum masuk ke ruang OB, aku melihat dia membersihkan remah-remah kue yang tersisa di sekitar mulutnya,” jawabku mantap.
Si OB mengarahkan pandangannya kepadaku. Kutentang pandangan itu dengan tatapan marah.
“Apa ada orang lain yang melihatnya?” tanya manajerku.
Tentu tidak ada. Sekali lagi OB mengarahkan pandangannya padaku. Ia tahu bahwa aku tak pernah melihatnya membersihkan remah-remah kue sebagaimana tadi kukatakan. Aku hanya berusaha meyakinkan manajerku. Aku yakin OB inilah pelakunya.
***

Atas usulku, kami bertiga menunggu. Yang ditunggu adalah reaksi pisang terhadap tubuh si OB. Sebagaimana pernah terjadi, jika benar dia, OB sialan itu, telah memakan kue yang hilang maka tubuh dan wajahnya akan bentol-bentol dalam kurun setengah jam.
“Apa kau benar-benar yakin dia yang memakannya? Seperti katamu, lima belas menit. Hanya lima belas menit. Apa mungkin satu orang bisa menghabiskan begitu banyak kue hanya dalam lima belas menit?”
“Kalau Bapak tahu bagaimana sikap orang ini terhadap kue, Bapak tidak akan lagi bertanya seperti itu,” jawabku tegas.
“Tapi, lima belas menit. Bisa-bisa orang tersedak dan muntah jika makan kue dalam jumlah sebanyak itu dengan begitu cepat.”
Manajer diam. OB diam. Aku juga diam. Kami bertiga duduk di depan sebuah meja besar. Di atas meja itu terdapat sebuah kotak besar yang berisi kue yang tersisa. Seperti diberi komando, mata kami bertiga tertuju pada kotak kue tersebut. Lalu manajer kami pun dengan perlahan membuka kotak, memperlihatkan isinya yang tersisa.
Aku dan manajer serentak menahan napas melihat kue-kue itu. Bentuknya kecil-kecil berwarna cokelat dengan tekstur yang terlihat sangat empuk. Rongga-rongga kecil di bagian atasnya masih ada yang terlihat meskipun sudah ditutupi dengan cokelat putih. Tak hanya itu, potongan-potongan kecil buah, sepertinya cherry, strawberry, nanas, dan tentu pisang diletakkan sedemikian rupa di atas cokelat putih itu. Belum lagi aromanya, entah kue itu dicampur dengan apa sehingga aromanya begitu kuat, membuat aku harus berjuang menahan air liur agak tidak menetes.
Ada sebuah lirikan dari manajerku yang sulit diterjemahkan dengan kata. Namun, sedetik setelah lirikan itu, sebuah kue pisang kecil telah memenuhi mulut kami masing-masing. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami setelah satu kue itu habis. Hening kembali menguasai ruangan.
Si OB tampak meneguk ludah ketika kami makan kue.
“Kamu tidak boleh makan,” ujar manajer. Ucapan yang sebenarnya cukup mengejutkanku juga jika seandainya tidak segera dilanjutkan dengan, “Kamu kan sedang menunggu bakal ada reaksi alergi atau tidak. Kalau sekarang kamu ikut makan bersama kami, hampir pasti alergimu kumat.”
Aku tersenyum penuh kemenangan. Setelah kalimat yang diucapkan sang manajer itu, tak ada lagi kata-kata yang keluar di dalam ruangan itu untuk beberapa saat. Hanya bunyi dari kue-kue yang dimamah oleh aku dan manajer. Setiap kali mengunyah, aku sengaja menunjukkan ekspresi yang menyiratkan bahwa kue itu teramat lezat kepada si OB.
“Kue ini semenggoda surga,” kataku. Dia hanya bisa melihat. Dan aku yakin tak lama lagi bentol-betol akan bermunculan di wajahnya.
***

Setengah jam berlalu dan kue telah habis. Aku dan manajer terduduk kesulitan bergerak karena perut penuh. Anehnya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada si OB. Tidak ada bentol-bentol yang muncul dari tubuhnya. Aku mulai gelisah juga merasa bersalah. Jangan-jangan dia memang tidak memakan setengah dari jumlah seluruh kue yang ada.
Sambil memegang bekas luka di wajahnya akibat kena pukulanku, ia berkata, “Sudah setengah jam. Apa lagi yang harus aku buktikan?”
Aku sebal. Tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Manajer memandangku dengan sebuah tatapan yang menyuruhku untuk meminta maaf. Maka aku pun meminta maaf pada si OB. Ia menyambut uluran tanganku dan kami bersalaman. Wajahnya tampak benar-benar tulus dan memaafkanku. Aku jadi luluh.
Kupikir-pikir lagi, aku memang tidak pernah melihatnya memakan kue. Malah sekarang faktanya akulah yang telah memakan seperempat bagian kue yang seharusnya dibagi-bagikan ke kantor. Aku telah memukulnya tanpa bukti. Aku telah mencemarkan nama baiknya. Tindakanku hanya didasarkan atas kecurigaanku semata. Kini terbukti bahwa kecurigaanku sama sekali tidak berdasar.
Untuk menutupi rasa bersalah, kuantar dia ke dokter. Ia awalnya menolak, tapi aku memaksa. Dengan menggunakan mobilku yang AC-nya sudah rusak, kami melaju menuju praktik dokter terdekat. Tapi ternyata jalanan macet. Sialnya lagi, kami berada tepat di belakang truk sampah.
Aroma busuk dan memuakkan dari truk sampah itu menguar. Sebab AC mobilku rusak, tak ada yang bisa kami lakukan selain menikmati aroma tersebut. Aku menyumpah serapah dalam hati. Menahan mual yang muncul akibat bau yang berseliweran. Beruntung aku masih bisa menahan agar tidak muntah.
Sialnya, si OB ternyata tak bisa tahan. Tanpa ba-bi-bu, ia mengeluarkan suara “Hueeekkk” dan muntah di dalam mobilku. Saat itulah aku melihat gumpalan-gumpalan yang tertumpah di lantai mobil. Mungkin karena belum tercerna dengan begitu baik, aku masih bisa mengenali makanan apa yang dimuntahkannya.
Gumpalan itu berwarna cokelat, dihiasi dengan beberapa potong buah yang mungkin adalah cherry, strawberry, dan tentu saja pisang. Mataku membeliak demi melihat itu. Si OB, tersenyum penuh kemenangan. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah pil.
“Obat anti-alergi,” ujarnya tenang, tetap dengan senyum sombong sebelum melanjutkan, “Kue itu memang semenggoda surga.”
***

ART.
Palembang, 29 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar