Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspres pada tahun 2017
Sebagai office boy yang sering disuruh ini-itu,
sebenarnya pekerjaannya cukup rapi dan cekatan. Namun, dia tidak pernah bisa
dipercaya untuk membagikan kue di kantor kami. Sebab bisa dipastikan distribusinya
akan bermasalah. Dia, sebagai orang yang mendistribusikan, akan mengutip bagian
orang lain sehingga kue yang terdistribusi akan sedikit sekali. Semua orang
juga tahu akan hal itu. Tapi untuk kali ini, justru dialah yang bertugas
membagi-bagikan kue ke seisi kantor. Padahal kue yang dibagikan kali ini adalah
kue yang konon paling enak ketimbang kue-kue sebelumnya.
Penyebabnya hanya ada
satu, kue itu terbuat dari dan dihiasi dengan pisang. Dan dia alergi dengan
pisang. Suatu hari ia pernah tak sengaja memakan sepotong pisang yang terselip
di antara hiasan-hiasan kue. Hasilnya luar biasa. Hanya dalam waktu 30 menit badannya
bentol-bentol, terutama di bagian wajah. Ia pun jadi tampak menyeramkan.
Aku yakin pemberian
tugas padanya untuk membagikan kue pisang kali ini adalah keisengan teman-teman kantorku. Bisa juga itu
jadi hukuman untuknya yang sering mengutip kue. Bisa dibayangkan, seseorang
yang selalu tak bisa menahan diri untuk mencuri dan makan kue yang bukan haknya
diberi tugas untuk memberi kue yang terbuat dari bahan yang tidak bisa ia
makan. Tentu dia akan sangat menderita.
Hanya saja, aku tergolong
orang yang tidak setuju dengan perbuatan itu. Bukan karena aku bertoleransi
padanya. Bukan juga karena aku tak tega dia ‘dipermainkan’ dengan cara itu.
Bukan. Aku tak setuju justru karena aku sama sekali tidak percaya dia. Dia bisa
saja melakukan hal-hal di luar dugaan karena ketamakannya pada kue. Dan aku tak
akan pernah rela jika jatah kueku harus sampai berkurang hanya gara-gara dia.
***
Kehebohan terjadi di
kantor. Separuh dari jumlah kue yang harusnya dibagi-bagikan telah menghilang. Semua
itu terjadi hanya dalam waktu lima belas menit. Tepatnya ketika aku mengalami
sakit perut yang tiba-tiba dan mau tak mau harus ke kamar kecil. Rupanya selama
aku di kamar kecil itu kurir pengantar kue tiba, si OB yang tamak akan kue itu
menerima paket.
Begitu aku keluar dari
kamar kecil, kudapati si OB sendirian dengan kotak paket yang telah terbuka.
Aku lihat isinya sudah hilang setengah. Wajahnya menjadi cemas. Segera saja
kugeret ia keluar dari ruangan.
“Aku hanya mengecek. Tidak
kumakan kue itu. Sungguh. Si kurir memang mengirimkan kotak yang setengahnya
kosong,” ujarnya.
Kuhentikan langkah.
Lalu kulayangkan sebuah pukulan tepat ke wajahnya. Aku paling benci dengan
maling yang mencoba ngeles dengan
alasan tak masuk akal seperti itu. Orang-orang yang melihat kejadian itu
terdiam. Kucekal kerah baju si OB dan kuseret dia menuju ruang pimpinan.
Begitu sampai di depan
ruang manajer, kubuka pintu dan kudorong OB itu hingga tersungkur.
“Setengah dari jumlah
kue yang datang telah dia makan,” ujarku mencoba untuk menjawab pandangan
manajer yang penuh dengan tanda tanya.
Manajer kami bangkit
dari duduknya. Ia tahu aku memang tidak suka dengan OB yang satu ini.
“Benar itu?” ujar
manajerku.
Tentu saja maling tak
ada yang mengaku. Si OB mengulangi lagi kalimat yang tadi ia katakan padaku.
Bedanya kali ini tidak ada kepalan tangan yang mendarat di wajahnya. Aku
menahan diri.
Manajer tampak menarik
napas. Kelihatan sekali ia mencoba untuk bersikap bijak dan netral dalam
menghadapi masalah ini. Mungkin dalam pikirannya aku terlalu membesar-besarkan
masalah. Toh ini semua hanya soal kue. Tetapi, di sisi lain, ada kemungkinan
dia juga menyadari bahwa hal sepele yang dipendam dan ditumpuk tak ubahnya
seperti berak yang ditahan-tahan, suatu saat akan meledak dan berceceran ke
mana-mana: menjadi hal yang memalukan.
“Kenapa kau yakin OB
kita ini telah mencuri dan memakan kue yang dipesan?”
Aku diam sejenak
sebelum menganggukkan kepala. Si OB diam saja.
“Dia sendirian di ruang
OB. Kotak-kota kue itu terbuka. Tanpa isi. Maka penjelasan macam apa lagi yang
diperlukan? Kita tahu tak mungkin pihak pengirim kue memberikan kotak kosong.
Apalagi kosongnya sampai setengah. Pihak pengirim kue tentu tahu risiko
bermain-main dengan komoditas yang mereka perjualbelikan.”
Manajer
mengangguk-anggukkan kepala, “Tapi apa buktinya kalau OB ini yang memakannya?”
“Sesaat sebelum masuk
ke ruang OB, aku melihat dia membersihkan remah-remah kue yang tersisa di
sekitar mulutnya,” jawabku mantap.
Si OB mengarahkan
pandangannya kepadaku. Kutentang pandangan itu dengan tatapan marah.
“Apa ada orang lain
yang melihatnya?” tanya manajerku.
Tentu tidak ada. Sekali
lagi OB mengarahkan pandangannya padaku. Ia tahu bahwa aku tak pernah
melihatnya membersihkan remah-remah kue sebagaimana tadi kukatakan. Aku hanya
berusaha meyakinkan manajerku. Aku yakin OB inilah pelakunya.
***
Atas usulku, kami
bertiga menunggu. Yang ditunggu adalah reaksi pisang terhadap tubuh si OB.
Sebagaimana pernah terjadi, jika benar dia, OB sialan itu, telah memakan kue
yang hilang maka tubuh dan wajahnya akan bentol-bentol dalam kurun setengah
jam.
“Apa kau benar-benar
yakin dia yang memakannya? Seperti katamu, lima belas menit. Hanya lima belas
menit. Apa mungkin satu orang bisa menghabiskan begitu banyak kue hanya dalam
lima belas menit?”
“Kalau Bapak tahu
bagaimana sikap orang ini terhadap kue, Bapak tidak akan lagi bertanya seperti
itu,” jawabku tegas.
“Tapi, lima belas
menit. Bisa-bisa orang tersedak dan muntah jika makan kue dalam jumlah sebanyak
itu dengan begitu cepat.”
Manajer diam. OB diam.
Aku juga diam. Kami bertiga duduk di depan sebuah meja besar. Di atas meja itu
terdapat sebuah kotak besar yang berisi kue yang tersisa. Seperti diberi
komando, mata kami bertiga tertuju pada kotak kue tersebut. Lalu manajer kami
pun dengan perlahan membuka kotak, memperlihatkan isinya yang tersisa.
Aku dan manajer
serentak menahan napas melihat kue-kue itu. Bentuknya kecil-kecil berwarna
cokelat dengan tekstur yang terlihat sangat empuk. Rongga-rongga kecil di
bagian atasnya masih ada yang terlihat meskipun sudah ditutupi dengan cokelat
putih. Tak hanya itu, potongan-potongan kecil buah, sepertinya cherry, strawberry,
nanas, dan tentu pisang diletakkan sedemikian rupa di atas cokelat putih itu. Belum
lagi aromanya, entah kue itu dicampur dengan apa sehingga aromanya begitu kuat,
membuat aku harus berjuang menahan air liur agak tidak menetes.
Ada sebuah lirikan dari
manajerku yang sulit diterjemahkan dengan kata. Namun, sedetik setelah lirikan
itu, sebuah kue pisang kecil telah memenuhi mulut kami masing-masing. Tak ada
kata-kata yang keluar dari mulut kami setelah satu kue itu habis. Hening
kembali menguasai ruangan.
Si OB tampak meneguk
ludah ketika kami makan kue.
“Kamu tidak boleh
makan,” ujar manajer. Ucapan yang sebenarnya cukup mengejutkanku juga jika
seandainya tidak segera dilanjutkan dengan, “Kamu kan sedang menunggu bakal ada
reaksi alergi atau tidak. Kalau sekarang kamu ikut makan bersama kami, hampir
pasti alergimu kumat.”
Aku tersenyum penuh
kemenangan. Setelah kalimat yang diucapkan sang manajer itu, tak ada lagi
kata-kata yang keluar di dalam ruangan itu untuk beberapa saat. Hanya bunyi
dari kue-kue yang dimamah oleh aku dan manajer. Setiap kali mengunyah, aku
sengaja menunjukkan ekspresi yang menyiratkan bahwa kue itu teramat lezat
kepada si OB.
“Kue ini semenggoda
surga,” kataku. Dia hanya bisa melihat. Dan aku yakin tak lama lagi
bentol-betol akan bermunculan di wajahnya.
***
Setengah jam berlalu
dan kue telah habis. Aku dan manajer terduduk kesulitan bergerak karena perut
penuh. Anehnya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada si OB. Tidak ada bentol-bentol
yang muncul dari tubuhnya. Aku mulai gelisah juga merasa bersalah.
Jangan-jangan dia memang tidak memakan setengah dari jumlah seluruh kue yang
ada.
Sambil memegang bekas
luka di wajahnya akibat kena pukulanku, ia berkata, “Sudah setengah jam. Apa
lagi yang harus aku buktikan?”
Aku sebal. Tapi juga
tak bisa berbuat apa-apa. Manajer memandangku dengan sebuah tatapan yang
menyuruhku untuk meminta maaf. Maka aku pun meminta maaf pada si OB. Ia
menyambut uluran tanganku dan kami bersalaman. Wajahnya tampak benar-benar
tulus dan memaafkanku. Aku jadi luluh.
Kupikir-pikir lagi, aku
memang tidak pernah melihatnya memakan kue. Malah sekarang faktanya akulah yang
telah memakan seperempat bagian kue yang seharusnya dibagi-bagikan ke kantor. Aku
telah memukulnya tanpa bukti. Aku telah mencemarkan nama baiknya. Tindakanku
hanya didasarkan atas kecurigaanku semata. Kini terbukti bahwa kecurigaanku
sama sekali tidak berdasar.
Untuk menutupi rasa
bersalah, kuantar dia ke dokter. Ia awalnya menolak, tapi aku memaksa. Dengan
menggunakan mobilku yang AC-nya sudah rusak, kami melaju menuju praktik dokter
terdekat. Tapi ternyata jalanan macet. Sialnya lagi, kami berada tepat di
belakang truk sampah.
Aroma busuk dan
memuakkan dari truk sampah itu menguar. Sebab AC mobilku rusak, tak ada yang
bisa kami lakukan selain menikmati aroma tersebut. Aku menyumpah serapah dalam
hati. Menahan mual yang muncul akibat bau yang berseliweran. Beruntung aku
masih bisa menahan agar tidak muntah.
Sialnya, si OB ternyata
tak bisa tahan. Tanpa ba-bi-bu, ia mengeluarkan suara “Hueeekkk” dan muntah di
dalam mobilku. Saat itulah aku melihat gumpalan-gumpalan yang tertumpah di
lantai mobil. Mungkin karena belum tercerna dengan begitu baik, aku masih bisa
mengenali makanan apa yang dimuntahkannya.
Gumpalan itu berwarna
cokelat, dihiasi dengan beberapa potong buah yang mungkin adalah cherry,
strawberry, dan tentu saja pisang. Mataku membeliak demi melihat itu. Si OB,
tersenyum penuh kemenangan. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan
sebuah pil.
“Obat anti-alergi,”
ujarnya tenang, tetap dengan senyum sombong sebelum melanjutkan, “Kue itu
memang semenggoda surga.”
***
ART.
Palembang, 29 Desember
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar