Selasa, 16 Januari 2018

Antara Mimpi, Ambisi, dan Mitologi




(Ulasan terhadap Buku Equilibrium Karya Bramantio)

Judul                  : Equilibrium
Penulis               : Bramantio
Cetakan             : 1, Februari 2016
Penerbit             : Arruz Media
Tebal                  : 162 halaman
ISBN                 : 978-602-313-059-7

Mimpi bisa jadi sesuatu yang berbahaya. Terlebih lagi jika mimpi itu terus menghantui bahkan ketika sang pemimpi telah terjaga. Membuat orang tersebut jadi penuh ambisi untuk mewujudkan mimpi yang tak berhenti datang membayangi.
Secara garis besar, mimpi yang berbahaya itulah yang menjadi dasar cerita-cerita dalam buku karya Bramantio ini. Sebagaimana mimpi, cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini tidak mudah untuk dipahami. Sejak dari judul, pembaca akan menemukan sesuatu yang asing sekaligus akrab. Sesuatu yang membuat berujar,  “Sepertinya pernah dengar, tapi entah di mana.” Begitu pula kalimat-kalimat yang ada dalam cerpen, panjang, njlimet. Kalimat-kalimat semacam itu, tersebar seolah tak beraturan, membuat pembaca sering kali harus kehabisan napas ketika membaca, apalagi untuk memahaminya. Namun, bukankah seperti itulah mimpi?
Mimpi-mimpi yang diangkat oleh Bramantio dikombinasikan dengan kehadiran ambisi-ambisi tokoh dan dicampur dengan kehadiran makhluk-makhluk mitologi. Jika digabungkan, mimpi, ambisi, dan makhluk mitologi akan menjadi setumpuk benda abstrak yang sulit dipahami. Bagian-bagian tersebut adalah ruang yang sengaja dikosongkan oleh penulis. Membebaskan para pembaca untuk menerjemahkan dan menafsirkannya. Ia bisa jadi simbol dari tindakan tertentu, sifat tertentu, atau orang tertentu. Inilah yang unik. Dengan kata lain, kita, sebagai pembaca, disuguhkan hal-hal abstrak dan ‘disuruh’ oleh penulisnya untuk mengkonkretkan hal abstrak tersebut.
Bagaimanapun, buku ini menyajikan sejumlah cerpen dan karena itu harus mempunyai alur logika yang jelas. Sebagaimana sering diucapkan oleh Putu Fajar Arcana, “Bacalah puisi untuk menjaga imajinasi dan bacalah prosa untuk menjaga logika.” Artinya, meskipun cerita itu menyampaikan tentang mimpi, ia tetap harus jadi sebuah mimpi yang meyakinkan para pembaca. Dan hal itu sudah diberikan oleh Bramantio dalam buku kumpulan ceritanya ini. Pembaca akan menerima cerita-ceritanya sebagai sebuah karya dan tidak menanyakan kenapa cerita itu tidak masuk akal. Itu tidak terlepas dari kemampuan Bramantio membangun cerita.
Lebih jauh lagi, Bramantio tidak menyalahkan siapapun dalam setiap kemalangan ataupun depresi yang dialami tokoh-tokoh dalam ceritanya. Ia tidak menghakimi. Tidak juga menggurui. Apabila tokohnya menjalani hidup yang berat dan penuh aral, itu memang karena begitulah hidupnya. Kalau pun terpaksa ada yang harus disalahkan, maka yang salah adalah tokoh itu sendiri. Bukan yang lain.
Selain itu, cerpen-cerpen dalam Equilibrium juga memberikan kesegeran. Ketika sebagian cerpen Indonesia sekarang berlomba-lomba dan mengikuti kriteria cerpen koran, cerpen-cerpen dalam buku ini menentang itu semua. Mulai dari panjang cerpen, gaya penceritaan, hingga konflik yang diangkat pun merupakan hal-hal yang tidak lumrah ditemukan dalam sebagian besar cerpen Indonesia saat ini. Dan jika memang buku ini dimaksudkan sebagai sebuah alternatif bacaan, maka ini menjadi alternatif yang menyenangkan.
Permasalahannya, sebagaimana hampir semua seni yang bersifat alternatif, maka peminatnya mungkin tidak terlalu banyak. Sebagian besar orang tentu lebih memilih untuk membaca bacaan yang sederhana, mudah dipahami, dan menyentuh hati ketimbang bacaan yang rumit, membingungkan, dan membuat dahi berkerut serta menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui di kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar