Selasa, 23 Januari 2018

Kenangan Pohon Rambutan



*Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos edisi 21 Januari 2018

Ia tak pernah mengerti kenapa orang-orang selalu menikmati siksaan kenangan. Dan ayahnya adalah salah satu dari golongan tersebut. Sebenarnya ia tak punya masalah dengan ayahnya, kecuali ketika lelaki paruh baya itu mulai mengagung-agungkan pohon rambutan di depan rumah. Lebih masalah lagi karena ayah tak pernah mau menceritakan ada kenangan apa dengan pohon rambutan itu. Ayahnya hanya akan menjawab, “Pohon di depan sana adalah simbol. Simbol kehidupan. Simbol manfaat. Juga simbol kenangan.”
Mungkin karena tak pernah bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, mungkin juga karena hampir setiap hari pohon rambutan itu menggugurkan daun-daun tuanya yang harus disapu, ia jadi membenci pohon rimbun itu. Baginya, pohon rambutan itu tidak membawa apa-apa selain masalah.
Masalah hariannya, terkait dengan daun gugur si rambutan, adalah ia yang harus menyapunya. Setiap hari. Setiap pagi. Menjadi rutinitas yang membosankan. Apalagi setiap kali ia baru selesai menyapu, sudah ada saja daun lain yang melayang mengotori halaman. Belum lagi masalah musiman. Setiap kali pohon itu berbunga, memunculkan putik, dan berbuah, masalah akan jadi berlipat. Bukan hanya soal daun yang harus disapu, tapi juga perihal para tetangga yang tak tahu diri akan mulai berdatangan.
Mereka, para tetangga itu, mulai dari yang umur enam tahun sampai yang enam puluh tahun, akan berubah menjadi begitu ramah pada ia dan ayahnya. Semua akan mencari-cari alasan untuk lewat di muka rumah. Mencari waktu untuk berbasa-basi dan bertanya kabar, gosip terhangat, atau berita politik terbaru. Lalu diakhiri dengan kalimat pamungkas, “Tampaknya rambutan kalian sudah mulai matang.”
Cih. Ia betul-betul muak dengan semua kepalsuan para tetangga. Herannya, sang ayah akan selalu meladeni dan menjawab kalimat pamungkas mereka dengan, “Oh. Iya. Iya. Tunggulah sebentar. Akan kuambilkan sedikit untukmu.”
Jika ayahnya sedang tidak terlalu kepayahan setelah bekerja seharian, lelaki itu sendiri yang akan mengambilkan rambutan untuk si tetangga. Tapi jika ayahnya sudah merasa tak sanggup lagi, maka ia yang akan dipanggil dan disuruh memanenkan rambutan untuk para penyerbu itu. Di saat seperti itulah ia akan semakin sebal. Ia akan teringat bahwa setiap hari sebelum pergi sekolah, dialah yang menyapui rontokan daun rambutan. Ia juga akan teringat bahwa setiap hari ayahnya yang menyirami dan merawat pohon itu dengan telaten. Tak ada satu pun tetangga yang membantu. Namun begitu pohon berbuah, mengapa semua seperti merasa berhak untuk menikmati hasilnya?
Tentu saja ia pernah menyampaikan protes tersebut pada sang ayah. Namun, seperti biasa, ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ayah hanya akan berkata, “Rambutan kita bukan satu-satunya rambutan di sekitar sini. Tapi para tetangga selalu lebih banyak meminta pada kita, bukan? Kau tahu kenapa?”
“Ya tentu karena rambutan kita jauh lebih manis.”
Ayahnya akan tersenyum dan menjawab, “Siapa tahu rambutan kita lebih manis disebabkan para tetangga yang selalu mendoakannya, bukan? Karena kita tak pernah menolak mereka yang meminta, maka mereka pun selalu mendoakan pohon kita.”
“Kalau begitu jual saja pada pengepul buah rambutan. Siapa tahu doa mereka lebih makbul. Rambutan jadi lebih manis, kita juga dapat uang,” jawabnya ketus.
“Tentu kau tahu ayah tak akan menjual kenangan. Menukarnya dengan uang. Lebih baik ayah menukarnya dengan doa,” ayahnya tetap tersenyum, “Ingatlah bahwa pohon itu simbol.”
Ia semakin benci dengan pohon rambutan.
***

Di sebuah petang yang gerimis, keduanya duduk di beranda. Menatap ke halaman rumah. Ke arah rambutan yang buahnya mulai memerah. Besok ia akan berangkat ke kota untuk kuliah. Mungkin tak akan pulang untuk waktu yang cukup lama.
“Boleh aku meminta?” ujarnya.
Ayah menoleh dan memberikan isyarat yang mungkin berarti, “Tanya saja. Selama ini ayah tak pernah menghalangimu untuk meminta, bukan?”
“Tebang saja pohon rambutan itu.”
Ayah tersenyum. Wajahnya berkata bahwa ia menganggap permintaan anaknya sebagai lelucon yang tak lucu, tapi sebagai ayah ia harus tetap menghargainya dan membalas dengan senyuman.
“Aku serius. Tebang saja pohon itu.”
Senyum ayah memudar. Lelaki itu baru akan mengeluarkan sebuah kalimat saat seorang tetangga tiba-tiba saja sudah muncul di depan pagar. Tetangga itu memanggil ayahnya dengan ramah, bertanya kabar, gosip terhangat, dan mengakhiri obrolan dengan kalimat pamungkas yang intinya adalah meminta rambutan.
Demi segala sopan santun dan adab bertetangga, ia mencoba untuk tidak cemberut saat ayah menyuruh dirinya untuk memanenkan sedikit rambutan untuk tetangga yang datang. Seperti biasa, ia memanjat pohon dengan cekatan. Berpindah dari dahan ke dahan. Namun ia lupa bahwa gerimis sudah dari tadi menghiasi petang. Membuat licin di beberapa bagian batang. Saat ia hendak memetik rambutan merah yang ada di penghujung dahan, tangannya terlepas dari tempat berpegang. Secara refleks, kakinya bergerak untuk menahan keseimbangan, namun justru kehilangan pijakan.
Dari ketinggian hampir tiga meter, ia meluncur. Kakinya yang mendarat lebih dulu tak kuasa menahan berat tubuh. Bunyi ‘krak’ terdengar dari kaki yang patah. Lolong sakit tak bisa ia tahan. Dan saat ayahnya menghampiri dengan wajah cemas, ia membalas dengan tatapan marah. Tatapan yang langsung ia hunjamkan ke mata ayahnya. Lekat. Pekat. Tanpa sekat.
Ia benci pohon rambutan.
***

Empat tahun rupanya menjadi waktu yang cukup untuk menyadarkan siapapun dari kesalahan. Setidaknya itulah yang ia rasakan. Mungkin karena sudah bertahun-tahun menjadi kebiasaan. Lama-lama, di tanah rantau, ia rindu juga menyapu daun-daun rambutan yang beterbangan. Saat musim datang dan banyak buah rambutan dijajakan di pinggir jalan, saat itulah hatinya menjadi rawan.
Tak ada satu pun dari buah itu yang mampu menyaingi manisnya buah rambutan di depan rumah. Mungkin karena para pengepul buah tak pernah mendoakan pohon yang dipanennya sebagaimana para tetangga. Ia menyesal.
Apalagi jika mengingat tatapan ayahnya ketika ia terjatuh dari pohon itu. Tatapan yang tak akan pernah ia lupakan. Tatapan menderita karena melihat orang yang dicinta sedang terluka. Dan tak ada yang lebih tulus ketimbang cinta orang tua pada anaknya. Ia baru mengerti ketika ia terjatuh dari ketinggian. Tapi ia telanjur menghunjamkan tatapan penuh benci pada sang ayah.
Ia merasa telah durhaka. Seperti Malin yang tak mengakui ibunya. Namun apa lacur, tatapan sudah keburu ia luncurkan. Dan sebagaimana kata-kata, tatapan tak bisa ditarik kembali. Sekali salah dilepaskan, ia hanya membawamu pada penyesalan. Empat tahun ia berpikir caranya memperbaiki kesalahan.
Saat pulang nanti, ia akan mencoba memperbaiki keadaan. Akan ia sapui daun rambutan dengan riang. Akan ia petikkan buah untuk tetangga dengan senang. Akan ia ambil alih tugas ayahnya menyirami pohon dengan hati lapang. Akan ia tunjukkan semua. Agar ia tak jadi anak durhaka. Agar ia bisa menatap ayahnya sebagai ayah telah menatapnya dengan cinta, meski mungkin tak bisa.
Namun semua rencana tinggal khayal di kepala. Sebab saat ia pulang, pohon rambutan telah tak ada di tempatnya. Ditebang, dan menyisakan tunggulnya.
***

Sore itu basah oleh gerimis. Keduanya duduk di teras rumah. Menatap pada halaman yang tampak terlalu lapang. Mereka telah sama-sama paham. Bahwa tatapan mereka dulu telah menyampaikan sebuah pesan. Dan ada kata yang masih tersekat di tenggorokan.
“Gerimis, Yah.”
“Mirip empat tahun lalu.”
Ia mengangguk. Tersenyum. “Aku minta maaf.”
Ayah menggeleng dan balik tersenyum. Seolah berkata, “Justru ayah yang minta maaf.”
Hening. Tak ada lagi tetangga yang memanggil ramah dan berbasa-basi. Hanya titik kecil gerimis yang meningkahi sunyi.
“Ayah terlalu naif. Tak pernah memberimu jawaban yang memuaskan tentang kenangan apa yang ada dalam pohon rambutan itu. Hingga rasa penasaranmu berbuah kesal.”
Ia menggeleng. Teringat ucapan tetangganya ketika ia dirawat di rumah sakit empat tahun lalu, saat kakinya yang patah mendapatkan perawatan. Bahwa pohon rambutan itu ditanam di hari kelahirannya. Yang bertepatan dengan hari kematian ibunya.
Ingatan itu semakin membuat teras rumah hening. Ia baru akan mengucapkan kata-kata saat gerimis berganti hujan. Dan rintiknya menelan segala suara.
***

ART.
Banyuasin, 1 Desember 2017

2 komentar:

  1. Untung aku la nyicip buah rambutan ny...
    Penuh perjuangan emng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. sambil maen gitar e dulu nyicipnyo, ton..

      Hapus