*Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos edisi 21 Januari 2018
Ia tak pernah mengerti
kenapa orang-orang selalu menikmati siksaan kenangan. Dan ayahnya adalah salah
satu dari golongan tersebut. Sebenarnya ia tak punya masalah dengan ayahnya,
kecuali ketika lelaki paruh baya itu mulai mengagung-agungkan pohon rambutan di
depan rumah. Lebih masalah lagi karena ayah tak pernah mau menceritakan ada
kenangan apa dengan pohon rambutan itu. Ayahnya hanya akan menjawab, “Pohon di
depan sana adalah simbol. Simbol kehidupan. Simbol manfaat. Juga simbol
kenangan.”
Mungkin karena tak
pernah bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, mungkin juga karena hampir
setiap hari pohon rambutan itu menggugurkan daun-daun tuanya yang harus disapu,
ia jadi membenci pohon rimbun itu. Baginya, pohon rambutan itu tidak membawa
apa-apa selain masalah.
Masalah hariannya,
terkait dengan daun gugur si rambutan, adalah ia yang harus menyapunya. Setiap
hari. Setiap pagi. Menjadi rutinitas yang membosankan. Apalagi setiap kali ia
baru selesai menyapu, sudah ada saja daun lain yang melayang mengotori halaman.
Belum lagi masalah musiman. Setiap kali pohon itu berbunga, memunculkan putik,
dan berbuah, masalah akan jadi berlipat. Bukan hanya soal daun yang harus
disapu, tapi juga perihal para tetangga yang tak tahu diri akan mulai
berdatangan.
Mereka, para tetangga
itu, mulai dari yang umur enam tahun sampai yang enam puluh tahun, akan berubah
menjadi begitu ramah pada ia dan ayahnya. Semua akan mencari-cari alasan untuk
lewat di muka rumah. Mencari waktu untuk berbasa-basi dan bertanya kabar, gosip
terhangat, atau berita politik terbaru. Lalu diakhiri dengan kalimat pamungkas,
“Tampaknya rambutan kalian sudah mulai matang.”
Cih. Ia betul-betul
muak dengan semua kepalsuan para tetangga. Herannya, sang ayah akan selalu
meladeni dan menjawab kalimat pamungkas mereka dengan, “Oh. Iya. Iya. Tunggulah
sebentar. Akan kuambilkan sedikit untukmu.”
Jika ayahnya sedang
tidak terlalu kepayahan setelah bekerja seharian, lelaki itu sendiri yang akan
mengambilkan rambutan untuk si tetangga. Tapi jika ayahnya sudah merasa tak
sanggup lagi, maka ia yang akan dipanggil dan disuruh memanenkan rambutan untuk
para penyerbu itu. Di saat seperti itulah ia akan semakin sebal. Ia akan
teringat bahwa setiap hari sebelum pergi sekolah, dialah yang menyapui rontokan
daun rambutan. Ia juga akan teringat bahwa setiap hari ayahnya yang menyirami
dan merawat pohon itu dengan telaten. Tak ada satu pun tetangga yang membantu.
Namun begitu pohon berbuah, mengapa semua seperti merasa berhak untuk menikmati
hasilnya?
Tentu saja ia pernah
menyampaikan protes tersebut pada sang ayah. Namun, seperti biasa, ia tidak
pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ayah hanya akan berkata, “Rambutan
kita bukan satu-satunya rambutan di sekitar sini. Tapi para tetangga selalu
lebih banyak meminta pada kita, bukan? Kau tahu kenapa?”
“Ya tentu karena
rambutan kita jauh lebih manis.”
Ayahnya akan tersenyum
dan menjawab, “Siapa tahu rambutan kita lebih manis disebabkan para tetangga
yang selalu mendoakannya, bukan? Karena kita tak pernah menolak mereka yang
meminta, maka mereka pun selalu mendoakan pohon kita.”
“Kalau begitu jual saja
pada pengepul buah rambutan. Siapa tahu doa mereka lebih makbul. Rambutan jadi
lebih manis, kita juga dapat uang,” jawabnya ketus.
“Tentu kau tahu ayah
tak akan menjual kenangan. Menukarnya dengan uang. Lebih baik ayah menukarnya
dengan doa,” ayahnya tetap tersenyum, “Ingatlah bahwa pohon itu simbol.”
Ia semakin benci dengan
pohon rambutan.
***
Di sebuah petang yang
gerimis, keduanya duduk di beranda. Menatap ke halaman rumah. Ke arah rambutan
yang buahnya mulai memerah. Besok ia akan berangkat ke kota untuk kuliah.
Mungkin tak akan pulang untuk waktu yang cukup lama.
“Boleh aku meminta?”
ujarnya.
Ayah menoleh dan
memberikan isyarat yang mungkin berarti, “Tanya saja. Selama ini ayah tak pernah
menghalangimu untuk meminta, bukan?”
“Tebang saja pohon
rambutan itu.”
Ayah tersenyum.
Wajahnya berkata bahwa ia menganggap permintaan anaknya sebagai lelucon yang
tak lucu, tapi sebagai ayah ia harus tetap menghargainya dan membalas dengan
senyuman.
“Aku serius. Tebang
saja pohon itu.”
Senyum ayah memudar.
Lelaki itu baru akan mengeluarkan sebuah kalimat saat seorang tetangga
tiba-tiba saja sudah muncul di depan pagar. Tetangga itu memanggil ayahnya
dengan ramah, bertanya kabar, gosip terhangat, dan mengakhiri obrolan dengan
kalimat pamungkas yang intinya adalah meminta rambutan.
Demi segala sopan
santun dan adab bertetangga, ia mencoba untuk tidak cemberut saat ayah menyuruh
dirinya untuk memanenkan sedikit rambutan untuk tetangga yang datang. Seperti
biasa, ia memanjat pohon dengan cekatan. Berpindah dari dahan ke dahan. Namun
ia lupa bahwa gerimis sudah dari tadi menghiasi petang. Membuat licin di
beberapa bagian batang. Saat ia hendak memetik rambutan merah yang ada di
penghujung dahan, tangannya terlepas dari tempat berpegang. Secara refleks,
kakinya bergerak untuk menahan keseimbangan, namun justru kehilangan pijakan.
Dari ketinggian hampir
tiga meter, ia meluncur. Kakinya yang mendarat lebih dulu tak kuasa menahan
berat tubuh. Bunyi ‘krak’ terdengar dari kaki yang patah. Lolong sakit tak bisa
ia tahan. Dan saat ayahnya menghampiri dengan wajah cemas, ia membalas dengan
tatapan marah. Tatapan yang langsung ia hunjamkan ke mata ayahnya. Lekat.
Pekat. Tanpa sekat.
Ia benci pohon
rambutan.
***
Empat tahun rupanya
menjadi waktu yang cukup untuk menyadarkan siapapun dari kesalahan. Setidaknya
itulah yang ia rasakan. Mungkin karena sudah bertahun-tahun menjadi kebiasaan.
Lama-lama, di tanah rantau, ia rindu juga menyapu daun-daun rambutan yang
beterbangan. Saat musim datang dan banyak buah rambutan dijajakan di pinggir
jalan, saat itulah hatinya menjadi rawan.
Tak ada satu pun dari
buah itu yang mampu menyaingi manisnya buah rambutan di depan rumah. Mungkin
karena para pengepul buah tak pernah mendoakan pohon yang dipanennya
sebagaimana para tetangga. Ia menyesal.
Apalagi jika mengingat
tatapan ayahnya ketika ia terjatuh dari pohon itu. Tatapan yang tak akan pernah
ia lupakan. Tatapan menderita karena melihat orang yang dicinta sedang terluka.
Dan tak ada yang lebih tulus ketimbang cinta orang tua pada anaknya. Ia baru
mengerti ketika ia terjatuh dari ketinggian. Tapi ia telanjur menghunjamkan
tatapan penuh benci pada sang ayah.
Ia merasa telah
durhaka. Seperti Malin yang tak mengakui ibunya. Namun apa lacur, tatapan sudah
keburu ia luncurkan. Dan sebagaimana kata-kata, tatapan tak bisa ditarik
kembali. Sekali salah dilepaskan, ia hanya membawamu pada penyesalan. Empat
tahun ia berpikir caranya memperbaiki kesalahan.
Saat pulang nanti, ia
akan mencoba memperbaiki keadaan. Akan ia sapui daun rambutan dengan riang.
Akan ia petikkan buah untuk tetangga dengan senang. Akan ia ambil alih tugas
ayahnya menyirami pohon dengan hati lapang. Akan ia tunjukkan semua. Agar ia
tak jadi anak durhaka. Agar ia bisa menatap ayahnya sebagai ayah telah
menatapnya dengan cinta, meski mungkin tak bisa.
Namun semua rencana
tinggal khayal di kepala. Sebab saat ia pulang, pohon rambutan telah tak ada di
tempatnya. Ditebang, dan menyisakan tunggulnya.
***
Sore itu basah oleh
gerimis. Keduanya duduk di teras rumah. Menatap pada halaman yang tampak
terlalu lapang. Mereka telah sama-sama paham. Bahwa tatapan mereka dulu telah
menyampaikan sebuah pesan. Dan ada kata yang masih tersekat di tenggorokan.
“Gerimis, Yah.”
“Mirip empat tahun
lalu.”
Ia mengangguk.
Tersenyum. “Aku minta maaf.”
Ayah menggeleng dan
balik tersenyum. Seolah berkata, “Justru ayah yang minta maaf.”
Hening. Tak ada lagi
tetangga yang memanggil ramah dan berbasa-basi. Hanya titik kecil gerimis yang
meningkahi sunyi.
“Ayah terlalu naif. Tak
pernah memberimu jawaban yang memuaskan tentang kenangan apa yang ada dalam
pohon rambutan itu. Hingga rasa penasaranmu berbuah kesal.”
Ia menggeleng. Teringat
ucapan tetangganya ketika ia dirawat di rumah sakit empat tahun lalu, saat
kakinya yang patah mendapatkan perawatan. Bahwa pohon rambutan itu ditanam di
hari kelahirannya. Yang bertepatan dengan hari kematian ibunya.
Ingatan itu semakin
membuat teras rumah hening. Ia baru akan mengucapkan kata-kata saat gerimis
berganti hujan. Dan rintiknya menelan segala suara.
***
ART.
Banyuasin, 1 Desember
2017