Selasa, 07 April 2015

Ulasan Buku "Sepertin Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" Karya Eka Kurniawan





Berikut ini penilaian subjektif saya terhadap buku ini:

Hal pertama yang akan saya komentari adalah tentang logo 21+ di bagian belakang buku. Logo itu berarti pembaca yang boleh membaca buku ini hanyalah orang-orang berusia 21 tahun atau lebih, dengan kata lain orang dewasa. Dan saya yakinkan, jangan abaikan peringatan tersebut karena memang buku ini sangat mungkin akan ditafsirkan secara salah oleh remaja tanggung, apalagi oleh anak-anak. Kalimat pembuka novel ini saja sudah ada kata 'ngaceng' yang berarti ereksi, dan memang itulah yang dibahas sejak awal sampai akhir. Remaja, apalagi anak-anak, tidak akan menangkap metafora dan alegori 'burung' yang disampaikan penulis. Remaja, dalam prediksi saya, jika membaca buku ini hanya akan menikmati gambaran-gambaran erotis yang dituliskan Eka Kurniawan karena memang umur-umur mereka sedang menggebu-gebunya untuk tahu hal-hal yang demikian. Padahal buku ini melampaui itu. Jauh dari itu. Buku ini adalah penggambaran tentang nilai-nilai lewat cara yang lain.

Berikutnya yang ingin saya sampaikan tentang buku ini adalah luar biasa. Saya memang belum membaca semua buku Eka Kurniawan, bahkan Cantik Itu Luka yang merupakan karya paling fenomenalnya pun belum saya baca. Tapi saya bisa yakinkan bahwa buku ini adalah karya yang sangat bagus.

Dari segi cara berceritanya, dengan menggunakan fragmen-fragmen pendek, alur yang melompat-lompat, dan tempo cepat, membuat saya sebagai pembaca ketagihan dan ingin segera menyelesaikan buku ini. Nama-nama yang diambil oleh Eka Kurniawan juga memberikan kesan tersendiri. Seolah diambil seenaknya saja, Rona Merah, Si Tokek, Si Macan, dan sebagainya. Namun jelas sekali bahwa nama itu tidak sembarangan. Ada makna-makna tersendiri yang diwakilkan nama-nama itu. Karakter-karakter terbangun semakin kuat dengan penggunaan nama yang demikian.

Pembangunan cerita pun tersusun dengan apik. Tidak ada detail yang sia-sia di dalam buku ini. Alasan Ajo Kawir kehilangan kemampuan ereksi, kehadiran Rona Merah, munculnya tokoh Jelita, semua terjalin rapi. Secara psikologis pun saya lebih terpikat dengan novel ini dibandingkan dengan Lelaki Harimau. Chemistry antartokoh jauh lebih terasa. Saya bisa ikut larut dalam pergolakan batin Ajo Kawir saat tahu bahwa istrinya hamil. Emosinya berhasil tersampaikan dengan baik. Sangat baik malah.

Di dalam novel yang bernuansa relatif suram seperti ini, Eka Kurniawan menurut saya juga berhasil menyelipkan guyonan-guyonan berkelas yang mampu membuat tersenyum. Saat memunculkan sudut pandang seekor cicak di penjara misalnya. Selain itu, ketegangan yang muncul mampu terjaga dengan baik. Dari awal sampai akhir. Meskipun suspense yang paling berkesan bagi saya adalah ketika Mono Ompong balapan dengan Si Kumbang. Juga ketika Mono Ompong beradu otot dengan Si Kumbang. Dua bagian tersebut paling terasa suspense nya bagi saya.

Ending cerita mungkin akan membuat sebagian orang kecewa karena memang bikin nyesek, tapi menurut saya justru dengan ending yang demikian penulis novel ini memberikan kesan akhir yang mendalam. Ending yang tidak mudah.
Hal terakhir yang ingin saya komentari adalah soal sampul dan judul buku. Keduanya, judul dan sampul, mewakili benar isi buku. Maaf jika saya lagi-lagi harus membandingkan dengan Lelaki Harimau (mungkin karena buku Eka Kurniawan yang terakhir saya baca adalah Lelaki Harimau) karena menurut saya secara sampul maupun judul buku ini jauh lebih sukses. Tidak seperti Lelaki Harimau yang, sekali lagi menurut saya, hampir tidak ada relevansi antara cerita dengan judul dan sampulnya. Saya terpuaskan dengan sampul dan judul buku ini.

Demikian ulasan subjektif saya tentang buku ini. Mungkin salah, tapi mungkin juga ada benarnya. Dan semoga ada manfaatnya untuk para pembaca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar