Foto Putu Wijaya
Sumber Foto: http://lcdc.law.ugm.ac.id/detail_alumni-2-putu-wijaya-sh-penulis-sutradara.html
Kali ini izinkan saya berbagi soal penulis yang saya kagumi. Beliau adalah Putu Wijaya. Sekadar sebagai sebuah pengantar, saya merasa perlu untuk menceritakan awal mula saya membaca karya-karya Putu Wijaya. Waktu saya masih duduk di bangku SD, ayah saya masih bekerja sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah menengah pertama di Palembang. Karena posisi ayah saya yang kepala sekolah itu, maka beliau mempunyai keleluasaan untuk meminjam buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah tempat beliau bekerja. Ayah saya kadang-kadang membawa setumpuk buku dari perpustakaan. Salah satu dari buku yang ayah saya bawa itu berjudul Yel karya Putu Wijaya. Dari buku itulah pertama kali saya mengenal tulisan Putu Wijaya.
Waktu membaca buku Yel itu, saya benar-benar larut dalam cerita-cerita yang ditulis Putu Wijaya. Saya merasa ide-ide cerita itu luar biasa liar dan saya jatuh cinta pada cerpen-cerpen yang seperti itu. Maka saya pun meminta pada ayah saya untuk membawakan buku-buku Putu Wijaya yang lain yang ada di perpustakaan. Darah dan Perang adalah dua buku berikutnya yang dibawakan ayah saya. Saya pun makin jatuh cinta pada tulisan-tulisan Putu Wijaya.
Namun waktu itu saya masih SD. Setelah membaca beberapa buku itu, saya tidak pernah lagi membaca buku-buku Putu Wijaya. Saya juga tidak tahu-menahu soal sepak terjang Putu Wijaya di dunia sastra. Barulah ketika saya menempuh pendidikan S1, saya tahu bahwa penulis yang tulisan-tulisannya saya idolakan ketika kecil dulu adalah seorang yang begitu besar namanya di dunia sastra Indonesia.
Lalu sekarang, ketika saya sedang S2 dan mulai menulis fiksi, saya menyadari bahwa saya sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Putu Wijaya. Cerpen-cerpen saya (walaupun belum ada yang dimuat di koran), dinilai oleh beberapa teman sangat terasa terpengaruh oleh Putu Wijaya. Mungkin kesan-kesan semasa kecil sudah memasuki alam bawah sadar saya. :)
Untuk itulah, untuk menghormati penulis yang saya kagumi itu, saya akan memaparkan sedikit soal beliau.
Walaupun saya belum pernah bertemu langsung, dan saya berharap suatu hari bisa ada kesempatan untuk bertemu langsung dengan beliau, saya harap tulisan berikut ini bisa bermanfaat untuk siapapun yang membutuhkan.
Tulisan berikut ini saya kumpulkan dari berbagai sumber. Jika ada informasi yang salah atau kurang tepat, silakan komentar agar bisa saya perbaiki.
Informasi Umum Seputar Putu Wijaya
Putu
Wijaya memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Lahir di Puri Anom,
Tabanan, Bali, pada 11 April 1944 (sekarang umurnya hampir 70 tahun). Ayahnya
bernama I Gusti Ngurah Raka dan ibunya bernama Mekel Ermawati. Ia sudah mulai
menulis cerita pendek sejak duduk di bangku SMP. Cerpen pertamanya yang dimuat
berjudul Etsa di harian Suluh
Indonesia, Bali. Sejak duduk di SMA Singaraja, ia mulai terjun ke dalam
kegiatan sandiwara. Putu Wijaya kemudian melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selama di itu ia juga belajar melukis di
ASRI dan drama di ASDRAFI Yogyakarta. Di UGM ia berhasil menamatkan studinya
dan mendapatkan gelar sarjana hukum, namun di ASDRAFI ia gagal dalam penyusunan
skripsi. Selama di Yogya itu ia turut juga menyelenggarakan
pementasan-pementasan drama. Kemudian bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan
Rendra. Lalu pada tahun 1970 ia pindah ke Jakarta, jadi pemain drama Teater
Kecil yang dipimpin oleh Arifin C. Noer. Pernah juga ia bermain bersama Teater
Populer pimpinan Teguh Karya.
Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah
Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo
(1971--1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater
Mandiri (1974). Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa
belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan
dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali
aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing
Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur
majalah Zaman (1979-1985).
Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri,
antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam
Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater
Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel. Putu Wijaya dikenal
sebagai seorang sastrawan serba bisa dan juga produktif. Hal tersebut terbukti
dengan jumlah tulisannya yang telah terbit. Putu Wijaya sudah menulis kurang
lebih 30 novel, 40
naskah drama, sekitar
seribu cerpen,
ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario
film dan sinetron.
Berbagai macam penghargaan telah ia kantongi. Mulai dari yang
tingkat nasional hingga internasional. Berikut ini penghargaan-penghargaan dan
prestasi-prestasi yang pernah ia dapatkan.
- Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta)
- Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
- Pemenang penulisan novel IKAPI
- Pemenang penulisan drama BPTNI
- Pemenang penulisan drama Safari
- Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
- Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
- Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
- Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
- Pemenang penulisan esei DKJ
- Dua kali pemenang penulisan novel Femina
- Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
- Pemenang penulisan cerpen Kartini
- Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
- Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
- SEA Write Award 1980 di Bangkok
- Pemenang penulisan esei Kompas
- Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
- Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992)
- Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
- Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan Presiden RI (2004)
- Penghargaan Achmad Bakrie (2007)
- Penghargaan Akademi Jakarta(2009)
Berikut ini
beberapa judul novel Putu Wijaya yang pernah diterbitkan.
- Bila Malam Bertambah Malam (1971)
- Telegram (1972)
- Stasiun (1977)
- Pabrik (1976)
- Keok (1978)
- Aduh
- Bali
- Dag-dig-dug
- GURU
- Gres
- Lho (1982)
- Merdeka
- Nyali
- Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995)
- Kroco (Pustaka Firdaus, 1995)
- Dar Der Dor (Grasindo, 1996)
- Aus (Grasindo, 1996)
- Sobat (1981)
- Tiba-Tiba Malam (1977)
- Pol (1987)
- Putri
- Terror (1991)
- Merdeka (1994)
- Perang (1992)
- Lima (1992)
- Nol (1992)
- Dang Dut (1992)
- Cas-Cis-Cus (1995)
Beberapa skenario film yang pernah
dibuatnya antara lain: Perawan
apa Bujangan ayo?? (memperoleh Piala Citra FFI 1980),
Kembang
Kembangan (memperoleh Piala Citra FFI 1985),
Ramadhan dan
Ramadhan, Dr. Karmidoctorus,
Bayang-Bayang
Bayangan, dan Anak-Anak Kecil
Bopung. Adapun skenario sinetron yang pernah ia tuliskan
beberapa di antaranya: Keluarga Luargha, Pasti Pas!, Jari-jari Bengkak, Duku
dan Leci Palsu, Balada Dangdut, dan Nostalgia Berak Berserakan. Beberapa naskah
drama karya Putu Wijaya yang dikenal adalah Dalam Cahaya Bulan, Lautan
Bernyanyi, Bila Malam Bertambah Malam, Invalid, Tak Sampai Tiga Bulan, Anu,
Aduh, Dag Dig Dug, dan Gerr. Karya-karyanya yang berupa cerpen juga dibukukan
dan diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen. Beberapa di antaranya adalah Yel,
Darah, Protes, Gres, Blok, Zig Zag, Tidak, Bor, dan Klop. Selain itu, Putu
Wijaya juga menulis beberapa novelet, yaitu: MS, Tak Cukup Sedih, Ratu, dan
Sah.
Hingga sekarang,
berdasarkan kabar yang ada, Putu Wijaya masih hidup namun harus menjalani
perawatan kesehatan karena stroke yang dideritanya. Meskipun demikian,
semangatnya untuk mengarang tetap berkobar karena masih ada beberapa cerpen
yang dihasilkannya selama ia dirawat di rumah sakit. Mungkin hal tersebut
sekaligus juga menunjukkan pada kita semua betapa Putu Wijaya mendalami dan
menghayati dua slogan yang menjadi acuan Teater Mandiri yang pernah diasuhnya:
‘Bertolak dari yang ada’ dan ‘Teror Mental’.
Berkut ini beberapa
informasi umum lainnya mengenai Putu Wijaya:
Ayah : I Gusti Ngurah Raka
Ibu : Mekel Erwati
Istri : Renny Retno Yooscarini (renny jayusman) , Dewi Pramunawati
Anak : Yuka Mandiri (sudah menikah pada tahun 2006 dengan derry oktami), I Gusti Ngurah Taksu Wijaya(20 tahun, sekarang menulis),
Ibu : Mekel Erwati
Istri : Renny Retno Yooscarini (renny jayusman) , Dewi Pramunawati
Anak : Yuka Mandiri (sudah menikah pada tahun 2006 dengan derry oktami), I Gusti Ngurah Taksu Wijaya(20 tahun, sekarang menulis),
Alamat Rumah:
Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti,
Cerendeu, Jakarta Selatan
Telepon/Faksimile (021) 7444678
Email:
wijayaputu@hotmail.com
Beberapa
Kisah Seputar Putu Wijaya
Pada 1977, ia menikah
dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang
anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami
persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.''
Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi
Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya
hidup di Amerika Serikat selama setahun.
Penggemar musik
dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis,
menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Putu mengaku belajar banyak
dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana
menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh,
sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya
Tempo," ungkap Putu.
Ia bungsu dari lima
bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks
perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya
dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka,
seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan
Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah,
bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya
doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra
Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang
berahi. Putu wijaya bisa menulis sampai tiga puluh halaman dalam sehari. Empat
artikel dalam sehari.
Putu
Wijaya di Mata Rekan-rekannya
Putu Wijaya dikenal
sebagai sosok yang benar-benar suka menulis. Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya bahwa Putu Wijaya bisa menulis sampai tiga puluh halaman dalam
sehari. Ini terbukti dengan jumlah tulisannya yang begitu banyak. Dari sumber
yang terjangkau oleh penulis, pada tahun 1996 Putu Wijaya ‘baru’ menulis sekitar
lima ratus cerpen. Jumlah itu bertambah hingga dua kali lipat, yaitu menjadi
lebih dari 1.000 cerpen pada tahun 2014. Jika dikalkulasi, berarti Putu Wijaya
telah menulis lebih dari 500 cerpen dalam 8 tahun.
Taufiq Ismail pernah
menulis bahwa Putu Wijaya adalah orang yang luar biasa produktif menulis dan
tidak mengenal waktu mubazir. Dalam beberapa kesempatan ketika bepergian
bersama, Putu Wijaya sering tidak ada ketika sudah saatnya penumpang memasuki
pesawat. Setelah dicari-cari ternyata ia berada di sebuah pojok di dekat stop
kontak listrik, duduk di depan laptop menulis cerpen yang harus selesai. Hal
tersebut terjadi berulang kali sehingga Taufiq Ismail dan teman-teman
seperjalanan Putu Wijaya ketika itu tidak bingung lagi harus mencari Putu Wijaya
ketika ia tiba-tiba menghilang.
Begitu pentingnya atau
mungkin tergila-gilanya Putu Wijaya dengan menulis sehingga ketika ia harus
dirawat di rumah sakit dan terbaring, ia masih tetap memaksakan diri untuk
menulis. Beberapa waktu lalu saat ia harus diopname, ia mengetik beberapa
cerpen dengan menggunakan handphone
blackberry. Lalu ketika kondisinya semakin memburuk dan tidak dapat menulis
lagi pada waktu itu, ia mendiktekan pada anaknya apa yang harus ditulis. Sampai
akhirnya ia diperbolehkan pulang oleh dokter dan bisa menulis sendiri lagi.
Dalam sebuah tulisannya, Joni Ariadinata menyatakan bahwa Putu Wijaya memang
tak pernah selesai. Selalu tak sabar memburu kalimat akhir, atau adegan akhir,
untuk kembali berburu kalimat awal atau adegan awal. Kata-katanya,
kalimat-kalimatnya, telah membangun sebuah dunia baru yang khas, yang mutlak
milik Putu Wijaya.
Dengan gaya tulisan
yang ia miliki, Putu Wijaya pernah memberikan pengaruh yang begitu besar pada
dunia sastra Indonesia. Gaya yang disebutnya sebagai teror mental itu banyak
ditiru dan diadaptasi oleh penulis-penulis lain. Dalam sebuah kesempatan
setidaknya ada tiga orang penulis senior yang dengan terus terang mengatakan
bahwa mereka mengagumi dan terpengaruh oleh tulisan-tulisan Putu Wijaya. Ketiga
orang tersebut adalah Seno Gumira Ajidarma, Putu Fajar Arcana, dan Agus Noor.
Hal tersebut mereka ungkapkan dalam workshop cerpen Kompas tahun 2014 yang
lalu. Pada momen itu juga Putu Wijaya diberikan penghargaan lifetime achievement atas keuletannya
menulis.
Beberapa
Tuduhan atas Karya-karya Putu Wijaya
Meskipun telah
mendapatkan begitu banyak penghargaan, Putu Wijaya juga sempat mendapatkan
beberapa tuduhan atas karya-karyanya. Pada masa-masa awal, Putu Wijaya sempat
dituduh hanya memplagiat karya orang lain. Dua penulis yang dituduhkan
diplagiat oleh Putu Wijaya adalah Samuel Becket (penulis Waiting for Godot) dan
Eugene Ionesco (penulis Rhinoceros, dalam versi bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai ‘Badak-badak’). Namun tuduhan ini dengan segera ditepis karena tulisan
Putu Wijaya memiliki corak tersendiri yang membedakan ia dengan kedua penulis
tersebut. Secara ringkas dituliskan bahwa Putu Wijaya terpengaruh, tapi tidak
memplagiat tulisan-tulisan Samuel Becket dan Eugene Ionesco.
Selain tuduhan plagiasi
tersebut, ada juga tuduhan bahwa karya yang dihasilkan oleh Putu Wijaya
‘begitu-begitu saja’. Tuduhan ini muncul dan menimbulkan kesan bahwa Putu
Wijaya hanya bisa menulis karya-karya yang nonrealis. Agus R. Sarjono dalam
sebuah tulisannya membantah hal tersebut dan mengingatkan bahwa sebelum menulis
novel Telegram dan drama Aduh yang boleh disebut sebagai karya
puncak Putu Wijaya, ia telah menulis drama Bila
Malam Bertambah Malam. Dalam drama ini ia membuktikan kemampuannya untuk
menulis drama konvensional serta penguasaannya yang baik atas dasar-dasar menulis
drama. Ibarat pelukis, ia telah membuktikan kemampuannya melukis figur secara
realis. Maka karya-karyanya kemudian yang nonrealis merupakan sebuah pilihan
dan bukan kompensasi dari ketakmampuan untuk menulis secara konvensional dan
biasa.
Beberapa
Sinopsis Novel Putu Wijaya
Seperti yang telah
dinyatakan, bahwa salah satu karya puncak Putu Wijaya adalah novelnya yang
berjudul Telegram, namun karena
keterbatasa penulis saat membuat tulisan ini, novel tersebut tidak bisa penulis
jangkau. Adapun dua novel yang penulis cantumkan sinopsisnya di sini adalah Stasiun dan Keok. Dua novel ini meskipun menurut A. Teeuw tidaklah memberikan
kebaruan apa-apa dibandingkan dengan novel Telegram,
tapi keduanya memenangkan sayembara menulis roman Dewan Kesenian Jakarta.
Berikut ini sinopsis dari kedua novel tersebut.
Stasiun (1977)
Novel karya Putu Wijaya ini berkisah
tentang keterasingan manusia yang merasa disisihkan oleh masyrakat. Tokoh
utamanya adalah lelaki berumur, setelah menyaksikan pemandangan kota pagi hari
merasa harus berangkat. Ia naik bemo, ia berkhayal bahwa dirinya sedang antri
untuk membeli karcis, tangannya yang terkepal menyebabkan ini ia dituduh
mencopet, akhirnya ia ditembak hingga tembus oleh seorang tentara.
Kini lelaki tua itu sudah sampai di
stasiun yang sebenarnya. Kejadian antri karcis, dimana ia dituduh mencopet dan
ia ditembak polisi tadi hanyalah lamunan/khayalan saja. Di stasiun itu, ia
berjumpa dengan seorang wanita. Mereka berbncang-bincang dengan sangat akrab
seolah-olah orang sudah lama kenal.
Tengah malam, kereta memasuki sebuah
stasiun. Seorang perempuan gila masuk ke bawah kereta. Untuk mengeluarkannya,
seorang pegawai kereta menariknya keluar. Akhirnya si pegawai itu sendiri yang
harus dikeluarkan karena dianggap berubah ingatan.
Berbawai peristiwa unik dialami lelaki tua itu. Berbagai pikiran dan khayalan berkecamuk dalam dirinya. Orang tua itu pingsan akibat udara sesak di dalam kereta. Penumpang ribut, lalu mereka memecahkan kaca jendela. Tepat saat itulah lelaki tua yang pinsan itu siuman.
Berbawai peristiwa unik dialami lelaki tua itu. Berbagai pikiran dan khayalan berkecamuk dalam dirinya. Orang tua itu pingsan akibat udara sesak di dalam kereta. Penumpang ribut, lalu mereka memecahkan kaca jendela. Tepat saat itulah lelaki tua yang pinsan itu siuman.
Karena suasana kereta yang semrawut
dan gangguan pikiran, lelaki itu mual dan ingin muntah. Ia ingin buang hajat.
Maka ia berusaha menuju ke gerbong peterusan. Tetapi sebelum mencapai gerbong
itu, lelaki itu terberak di celana. Kemudian ia menyingkir ke gang pintu
kereta. Di gang itulah ia bertemu dengan lelaki muda bernama Joni. Dan di gang
itu pulalah Joni berhasil memperkosa lelaki tua itu.
Kereta api ahirnya sampai di
stasiun. Para penumpang turun. Pikiran lelaki tua itu mengembara ke mana-mana.
Akhirnya ia sering berada di warung kopi dekat kereta api. Kebiasaan ini
membuatnya lupa dengan anak dan istrinya. Orang tua itu asyik dengan pikirannya
sendiri, sementara keluarganya tidak pernah dihiraukan lagi. Suatu ketika ia
bertengkar hebat dengan istrinya, dan akhirnya ia nekad bunuh diri di kamarnya.
Dalam keadaan terluka, ia melihat
gelandangan mati di stasiun. Istri gelandangan tidak mau suaminya dibawa ke
fakultas kedokteran. Ia ingin menguburkan suaminya secara wajar. Ternyata ia
berubah pikiran. Mayat suaminya mau dijualnya. Namun akhirnya ia menyerahkan
mayat suaminya tanpa meminta imbalan.
Setelah menyaksikan peristiwa itu,
si orang tua pulang. Di rumah, ia justru menyaksikan mayatnya sendiri yang tak
mau diakuinya. Dia kembali ke stasiun. Di kantor stasiun, ia diinterogasi. Ia
dituduh mencori kopor, dan setelah bersumpah bahwa ia tidak mencuri, ia
dibebaskan. Ia kemudian membeli tiket dan siap menunggu kereta untuk melakukan
perjalanan.***
Keok (1978)
Diawali dengan sebuah kecelakaan
mobil sedan yang menyerempet seorang pemuda sampai terjerembab ke pinggir
jalan. Dengan keadaan cidera bagian lutut yang robek, meski tubuhnya tak
apa-apa pemuda berdiri dengan begitu marahnya. Kemudian menghampiri pintu mobil
dan membukanya dengan memaksa, seorang lelaki tua yang merasa dengan penuh
kesalahan itu dihajarnya. Ia menghajar mobil itu pula dan hampir saja mobil itu
terbakar kalau beberapa orang tidak memberangusnya. Polisi pun datang mengusutnya
menanyakan segala hal. Akhirnya tak ada yang salah dari kejadian itu.
Kemudian mobil sedan melanjutkan
perjalan bersama istri yang duduk di sampingnya sembari mencari bengkel dengan
kaca yang pecah dan mobil yang tak karuan. Di tengah perjalanan orang tua itu
menggerutu “mengapa pemuda itu memukul saya”. Selain itu berbagai soal lain
merubung kepala orang tua itu. Yang paling sedih adalah soal perkawinannya,
yang menuntut perceraian. Beberapa jam kemudian nafas oerang tua itu tak
terhembus lagi. Kematian menjumpai lelaki tua itu. Kesedihan melanda istrinya.
Janda, gelar wanita itu sekarang.
Janda yang hidup dengan banyak
rintangan dan halangan mengujinya. Banyak kisah yang dialami wanita tersebut.
Dengan penuh rasa sedih dan penyesalan. Janda beranak tujuh kelihatan sperti
orang yang tak waras lagi. Pada suatu malam di perempatan jalan yang sunyi, ia
menanggalkan pakaiannya. Telanjang bulat ia meneruskan langkahnya menuju daerah
kota. Menghadap walikota adalah tujuan wanita itu. Ingin protes hanya karena
kematian suaminya yang tak tertolong. Protes itu
tercapai.
Wanita itu menjadi bingung setelah
beberapa orang menasihatinya, menyindirnya, dan sebagainya. Kemudian wanita itu
ingin mencabut tuntutannya lagi. Pak Walikota pun bingung kenapa tuntutan itu
harus dicabut. Di akhir cerita wanita itu terserempet sebuah truk. Dan akhirnya
meninggal pula.
Rujukan
Ariadinata,
Joni. 2014. “Putu Wijaya yang Tak Pernah Mati”. Horison. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Ismail,
Taufiq. 2014. “Mana Putu? Mana Putu?”. Horison.
Jakarta: Yayasan Indonesia.
Rahman,
D. Jamal. 2014. “Putu Wijaya di Area SBSB” dalam Horison. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Sarjono,
Agus. R. “Tebasan Bunga Peony Sang Pecandu Tukang Obat” dalam Horison. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Teeuw,
A. 1989. Sastra Indonesia Modern II.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Wijaya,
Putu. 2005. Pabrik. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Wijaya,
Putu. 2003. Zigzag. Jakarta: Pustaka Firdaus.
(online)
https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-sastrwan-putu-wijaya. diakses pada
24 Maret 2014 pukul 21.30 WIB.
http://teatermandiri.wordpress.com/2009/12/08/biodata-putu-wijaya/
http://teatermandiri.wordpress.com/2009/12/08/tentang-putu-wijaya/
karya Sastra yang mana Putu Wijaya dituduh memplagiat Samuel beckett dan ionesco? mohon referensinya. terima kasih
BalasHapusNur Laila: Silakan baca Samuel Becket yang Menunggu Godot dan Eugene Ionesco yang Badak-badak. Kalau sudah, nanti pasti terasa ada 'feel' yang sama antara dua karya itu dengan tulisan-tulisan Putu Wijaya. Hanya saja, saya lebih setuju dengan pendapat bahwa itu hanya pengaruh, bukan plagiasi. ^_^
BalasHapuskak mau tanya dong, karakteristik penulisan putu wijaya itu seperti apa? tolong bantuannya ya kak.
BalasHapusDyan Islamiati: Putu Wijaya menulis dengan memberikan kejutan-kejutan yang tak terduga. Imajinasi yang disampaikan lewat tulisan-tulisannya mungkin sebelumnya tidak terpikir oleh kita. Ia juga dikenal sebagai pemberi 'teror mental'.
HapusSering kali, cerita-cerita yang ditulis Putu Wijaya juga memiliki alur melingkar. Artinya, konfliknya berulang-ulang, membentuk sebuah rantai atau lingkaran, tak habis-habis.
Mas boleh minta naskah los karya Putu Wijaya engga?
BalasHapusWaduh, maaf. Saya juga gak punya naskahnya yang itu.
Hapuskak klw bolh tau knpa putu wijaya menulis novel pabrik yang mengekspresi kan konflik antar kelas
BalasHapusPada dasarnya, menurut saya, tulisan-tulisan Putu Wijaya memang sering merupakan bentuk kritik terhadap situasi sosial di sekitarnya. Novel Pabrik hanyalah salah satunya. Kalau kita baca karya-karyanya yang lain, banyak kok yang mengangkat konflik antarkelas. :)
HapusKak mau nanya, apa yg bisa kita teladani dari putu wijaya?
BalasHapusSebenarnya ada banyak. Tapi menurut saya yang paling patut kita contoh adalah kegigihan dan kekonsistenan Beliau dalam berkarya. Berdasarkan beberapa tulisan yang pernah saya baca, Putu Wijaya itu orang yang selalu memburu kalimat terakhir sebuah karya, agar bisa kembali memulai kalimat pertama di karya baru.
HapusBeliau terus menulis. Seperti tak habis-habis energinya menulis, bahkan ketika sedang sakit sekalipun.
saran buku dari Putu Wijaya yg recommend untuk dibaca apa ya ? terimakasih
BalasHapusnara asnanda: buku kumpulan cerpen Putu Wijaya ada banyak. Misalnya "Darah", "Yel", "Zigzag", dan lain-lain. Atau bisa juga baca karya-karya Putu Wijaya di Kumpulan Cerpen Kompas. Hampir setiap tahun ada cerpen Putu Wijaya di sana. Dan semuanya reccomended. :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKa maaf mohon beri pencerahannya saya masih bingung denga naskah BOR putu wijaya itu maksudnya apa ya?
BalasHapusAda yg bisa jawab ga?
BalasHapusMohon maaf.. Seperti yang telah ditulis di posting-an ini, Putu Wijaya telah menulis lebih dari seribu cerpen, puluhan novel, dan puluhan naskah drama.. Saya sendiri tampaknya belum pernah baca karyanya dengan judul "Bor".. Seandainya pun sudah pernah, saya lupa.. Jadi belum bisa membantu Mas Ghiffari dalam hal ini.. Mohon maklum..
HapusBoleh minta naskah drama LOS putu Wijaya ada enggak?
BalasHapusMohon maaf ka mau tanya kalo salah satu cerpennya yang berjudul "Rendra" itu dibuatnya tahun berapa ya?
BalasHapus