Selasa, 07 April 2015

Ulasan Buku "Student Hidjo" Karya Mas Marco Kartodikromo


Saya harus merasa beruntung sekarang bisa membaca buku ini secara bebas. Sebab di tahun 1920-an buku ini termasuk buku yang dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda untuk beredar. Berikut ini ulasan subjektif saya mengenai buku ini.

Butuh waktu beberapa hari bagi saya untuk menyelesaikan buku ini, padahal buku ini tergolong tipis. Hal itu tidak terlepas dari gaya bahasa yang digunakan. Jelas. Buku ini (kalau tidak salah) ditulis tahun sekitar tahun 1920-an dan otomatis ketika dibaca di masa ini, jadi agak tersendat-sendat untuk menikmatinya. Bahkan kalau yang membaca adalah anak muda yang tidak terlalu suka sastra, sangat mungkin akan menyerah dan berhenti membaca sejak halaman-halaman awal (kecuali kalau ada tugas merangkum atau meresensi buku ini dari guru di sekolah, itu pun kalau tidak sekadar co-pas dari sana-sini).

Sejak bab-bab awal, saya sudah bisa paham kenapa buku ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda di masanya. Buku ini keras sekali mengkritik bangsa Belanda. Lebih dari itu, bahkan ada bagian-bagian yang dengan gamblang memaparkan bahwa seharusnya Pribumi tidak perlu minder dari Belanda. Pribumi dan Belanda sama-sama manusia, lalu kenapa harus merasa rendah diri di depan mereka kaum kulit putih?

Bagi saya pribadi, ada tiga bagian yang paling berkesan dari buku ini terkait dengan kritiknya akan kepenjajahan Belanda dan gagasan akan persamaan hak.

Pertama, saat Hidjo (tokoh utama buku ini) sampai di negeri Belanda untuk belajar. Diceritakan bahwa langsung ada orang-orang Belanda yang dengan senang hati membawakan barang-barang Hidjo dan disuruh ini-itu. Ini adalah sebuah kritik yang pedas. Di tanah Hindia (waktu itu Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda) orang Belanda berlagak menjadi penguasa, menyuruh-nyuruh segala hal pada pribumi, tapi kenyataannya di tanahnya sendiri orang Belanda malah disuruh-suruh oleh Hidjo yang merupakan pribumi Hindia.

Kedua, tentang perubahan sikap dan sifat orang-orang Belanda setelah menetap di tanah Hindia. Diceritakan di buku ini bahwa banyak, walaupun tidak semua, orang Belanda yang tinggal di Hindia menjadi pongah, sombong, dan bertindak semaunya sendiri. Orang-orang tersebut merasa berhak bertindak sewenang-wenang dan sesuka hati sendiri seolah mereka derajatnya begitu tinggi, padahal mereka di tanah sendiri (Belanda) sebelum dikirim ke Hindia, hanyalah pegawai rendahan. Hanya karena mereka berkulit putih dan bangsa Hindia berkulit warna, mereka merasa lebih tinggi.

Ketiga, soal percintaan yang terjadi di buku ini. Jika diperhatikan, di dalam buku ini semua orang Belanda ditolak cintanya oleh Pribumi Hindia. Polanya pun sama. Orang Belanda (baik itu pria maupun wanita) bertemu dengan Pribumi, lalu mereka tergila-gila dengan Pribumi itu, tapi pada akhirnya mereka harus patah hati karena Pribumi tidak mau menikah dengan mereka. Sekali lagi ini adalah kritik bahwa sebenarnya Pribumi tidak perlu merasa rendah diri  pada Belanda.

Selain ketiga hal itu, masih ada banyak lagi kritik Mas Marco tentang penjajahan Belanda di Hindia namun tidak bisa saya ungkapkan semua di sini.

Namun, secara keseluruhan, saya merasa buku ini memang wajib dibaca, terutama bagi anak-anak sekolah. Kenapa? Agar mereka tahu bahwa ada juga buku yang seperti ini dan tidak hanya tahu buku-buku Angkatan Balai Pustaka yang sudah disaring sedemikian rupa. Kurikulum memang perlu dipertanyakan karena dari tahun ke tahun selalu saja yang menjadi buku wajib adalah Sitti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, dan sejenisnya.
Saya pikir, pelajar perlu tahu bahwa buku-buku yang selama ini mereka tahu adalah buku-buku yang meninabobokkan mereka terhadap kepekaan politik di zaman penjajahan Belanda. Saya yakin bahwa sedikit saja siswa yang tahu bahwa tokoh Corrie di dalam buku Salah Asuhan telah mengalami perubahan sedemikian rupa. Sangat mungkin para pelajar tidak tahu bahwa awalnya Corrie adalah tokoh yang tidak terlalu baik, tapi karena itu dianggap menjelek-jelekkan Belanda, maka hal itu pun diubah.

Buku Student Hidjo ini adalah salah satu pilihan untuk mengimbangi bahan bacaan siswa, juga pembaca umum agar tidak melulu menganggap bahwa di tahun 1920-an novel yang ada hanyalah Sitti Nurbaya dan kawan-kawannya.

Demikian ulasan saya tentang buku ini, ulasan yang mungkin saja salah, tapi mungkin juga ada benarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar