Jumat, 06 Februari 2015

Ulasan Buku "Murjangkung" dan "Bidadari yang Mengembara" Karya A.S. Laksana



Dua buku ini merupakan kumpulan cerpen yang ditulis A.S. Laksana dan keduanya membuat A.S. Laksana menjadi penulis sastra terbaik versi Majalah Tempo masing-masing tahun 2004 dan 2013.
Berikut ini tanggapan saya, yang sangat subjektif, terhadap kedua buku ini.

Jelas sekali, setelah membaca kedua buku ini, bahwa A.S. Laksana telah memiliki gaya kepenulisannya sendiri. Matang, dengan kata lain. Ia pandai mendongeng dan membuat pembaca melanglang buana ke sebuah dunia di satu cerita, lalu mengantarkan ke dunia yang jauh berbeda pada cerita lain. Imajinasinya liar. Meskipun begitu, dalam tiap ceritanya selalu ada -baik cuma selipan maupun yang menjadi sorotan utama- kritik terhadap kondisi sosial. Ini adalah sebuah kelebihan tersendiri.

Hanya saja setidaknya ada dua hal yang mengganggu saya, sekali lagi ini adalah pendapat pribadi, jadi belum tentu yang menurut saya mengganggu juga adalah gangguan bagi orang lain.
Pertama adalah penggunaan nama Alit dan Seto. Sebenarnya sah-sah saja jika setiap penulis memiliki nama favorit masing-masing. Seperti Seno yang sering menggunakan nama "Sukab", Djenar dengan "Nayla", atau yang lain-lain. Namun menurut saya, nama yang dipilih oleh A.S. Laksana ini, Alit dan Seto, tidak cukup berkarakter. Entah. Nama itu terlalu umum. Saya tidak mendapatkan kesan apa-apa dari kedua nama itu.

Kedua, entah disadari atau tidak oleh A.S. Laksana sebagai penulis, ia sangat sering menggunakan frasa "kau tahu" di dalam cerita-ceritanya.  Di dalam buku "Bidadari yang Mengembara" sepertinya jumlah 'kau tahu' itu tidak terlalu banyak. Tapi di buku "Murjangkung" akan sangat sering ditemui 'kau tahu'. Dan seperti yang saya nyatakan, hal tersebut cukup mengganggu. Lalu, entah kenapa saya merasa bahwa saya tidak terlalu suka dengan cara AS Laksana menuturkan cerita. Entah apa sebabnya, tapi ada sesuatu yang membuat saya kurang 'sreg' dengan cara bertuturnya. Sangat mungkin ini hanya karena faktor selera. Sebab saya yakin di luar sana ada banyak orang yang sangat suka dengan cara bertutur AS Laksana dalam cerpen-cerpennya.

Terlepas dari dua hal yang mengganggu saya itu, buku ini enak untuk dinikmati. 

Ulasan Buku "Kukila" Karya Aan Mansyur


Seperti biasa ketika membuat ulasan tentang buku, saya harus menekankan bahwa ini hanyalah pendapat subjektif saya yang sangat mungkin salah, meskipun mungkin ada benarnya juga.

Buku Berjudul Kukila ini merupakan sebuah kumpulan cerpen. Total ada enam belas cerpen. Cerita yang paling menonjol tentu saja berjudul "Kukila". Cerita ini panjangnya hampir setengah buku. Lima belas cerita yang lain jauh lebih pendek ketimbang cerpen pertama.

Setelah selesai membaca buku ini, kesan pertama yang melekat di otak saya adalah perselingkuhan. :) Entah kenapa. Sadar atau tidak sadar, Aan Mansyur menggarap begitu banyak tema perselingkuhan di dalam ceritanya. Meskipun ada juga cerita-cerita yang lain seperti cinta kepada Ibu atau yang lain, namun cerita perselingkuhan menjadi warna utama, menurut saya.

Hal yang menarik adalah cerita-cerita tersebut mampu dibawakan oleh Aan Mansyur dengan lihai. Ia benar-benar adalah seorang pengolah kata yang matang. Saya pribadi sepakat dengan pendapat Joko Pinurbo yang menjadi endorsement di bagian belakang buku ini yang menyatakan bahwa kalimat-kalimat di cerita-cerita ini jadi lebih berbunyi karena kepandaian Aan Mansyur merangkai kata.

Berikutnya yang menarik adalah penggunaan nama Kukila dan Pilang. Setelah selsesai membaca buku ini, kita akan jadi akrab dengan dua nama itu. Menurut saya Kukila dan Pilang bisa menjadi nama yang memberi identitas tersendiri bagi cerpen-cerpen Aan Mansyur. Kedua nama itu kuat dan berkarakter. 

Aan Mansyur juga pandai memberikan kelokalan - tentang daerah asalnya - dalam cerita. Membuat cerita yang ia tuliskan lebih berwarna. Meskipun lebih dikenal sebagai penyair, saya berharap akan ada buku-buku serupa ini dari Aan Mansyur.

Senin, 02 Februari 2015

Ulasan Buku "86" Karya Okky Madasari






Berikut ini ulasan subjektif saya terhadap buku ini.

Saya suka dengan buku ini. Okky Madasari, menurut saya berhasil memberikan gambaran, potret, cerita, serta kritik pedas mengenai kondisi Indonesia. Semua itu dituturkan dengan cara yang asik, tidak membosankan. Pesan moral dari novel ini juga banyak yang bisa diambil, walaupun kerangka besarnya tentu tetap dalam kritik soal "86".
Di banyak bagian, akan sangat terasa gaya penulisan Okky Madasari yang 'mewartakan'. Mungkin itu juga tidak terlepas dari pengalaman dan jam terbangnya yang memang berprofesi sebagai wartawan. Selama membaca novel ini, saya kadang merasa ini adalah berita yang dinovelkan, atau sebaliknya, novel yang diberitakan.
 Hal yang mungkin perlu disoroti dari novel ini adalah sampulnya. Menurut saya pribadi, sampul novel ini tidak menarik. Bahkan secara jujur saya katakan, kalau tidak melihat penulisnya adalah Okky Madasari, maka saya tidak akan membelinya. Mungkin perihal sampul ini pulalah yang membuat buku ini akhirnya berada di tumpukan bazaar akhir tahun dengan harga yang murah. Mungkin.

Demikian ulasan sederhana saya. 

Ulasan Buku "Sarelgaz" Karya Sungging Raga






Seperti pada posting-posting sebelumnya, apa yang saya tuliskan di sini hanyalah pendapat pribadi dan sangat subjektif.

Buku ini berisi tujuh belas cerpen Sungging Raga. Sebagian besar sudah pernah dipublikasikan di berbagai media. Saya secara pribadi sangat suka dengan isi buku ini. Tidak ada cerita yang mengecewakan. Semua cerpen di dalam buku ini mengesankan saya. Namun kalau ditanya cerpen terfavorit, saya akan menjawab "Alesia" sebagai cerpen favorit saya di dalam buku Sarelgaz.

Terlepas dari isinya, saya menyayangkan kondisi fisik buku ini. Sebenarnya saya menghargai keputusan Sungging Raga untuk menerbitkan buku secara indie agar bisa lebih bebas berekspresi lewat tulisan. Hanya saja, sepertinya pencetakan buku tidak dilakukan secara maksimal oleh penerbit. Ada beberapa gores di sampul, serta penjilidannya tidak begitu bagus, bukunya jadi menganga. Saya juga sedikit menyayangkan karena dengan menggunakan penerbit indie, distribusi buku secara otomatis tidak akan terlalu luas. Padahal buku ini sangat mungkin akan disukai oleh banyak orang.

Demikian ulasan saya mengenai buku ini.