Cerpen ini pernah dimuat di Harian Kabar Sumatra, 21 November 2020
Tiga hari yang lalu, aku dipaksa bangun dari tidur yang sedang nyenyak-nyenyaknya. Melihat wajah yang linglung karena belum seutuhnya terjaga, istriku justru menyambut keterjagaanku dengan tangis. Tangis yang begitu jujur. Bahunya sampai terguncang-guncang. Ia memelukku erat sekali. Perasaan ingin marah karena dibangunkan paksa menghilang begitu saja melihatnya menangis begitu rupa.
Tak urung, akhirnya kutanyakan juga, “Ada apa?”
Kulihat jam, malam baru saja melewati puncaknya. Istriku hanya terus menangis sampai sepuluh menit kemudian. Saat tangisnya reda, di antara air mata yang terkadang masih terus menitik, ia menceritakan penyebab ia menangis.
“Kamu mengingatkanku pada ayah di akhir hidupnya.”
Kedua alisku terangkat. Ia lalu menjelaskan: barusan – saat aku sedang nyenyak-nyenyaknya tidur – tidak seperti biasa, mulutku sedikit menganga dan mengeluarkan bunyi mendengkur. Tidak hanya itu, mataku setengah terbuka.
Pembaca yang budiman, tanpa perlu Anda komentari, aku tahu bahwa itu adalah sebuah pemandangan yang sama sekali tidak menyenangkan untuk dilihat. Aku pun tak sudi membayangkan diriku ada dalam posisi seperti itu. Tapi memang itulah yang terjadi. Dan itulah yang membuat istriku menangis tersedu: sebab, katanya, tampilan itu mengingatkannya pada saat ayahnya sedang sakaratul maut, dua bulan lalu.
Mungkin karena ia tak siap kehilangan dua orang sekaligus dalam waktu berdekatan, jadilah ia membangunkanku sambil menangis malam itu.
Seharusnya, menurutku, kejadian itu akan menjadi sebuah kisah angin lalu. Tidak lagi memberikan dampak apa-apa terhadap kehidupan kami berdua. Tapi kenyataan berkata lain. Istriku sepertinya sungguh terbebani dengan bayangan yang menghampirinya. Wajahnya tertetuk sedih. Kubiarkan sehari berlalu dan tak ada perubahan. Juga keesokan harinya.
Aku bukan orang yang romantis, tapi melihat istri sendiri bersedih selama tiga hari berturut-turut membuatku gusar juga. Dalam hal seperti ini, kegelisahanku jadi lebih besar. Penyebabnya jelas. Aku tak tahu salahku – dan aku memang tidak salah, bukan? Padahal, di kejadian yang aku tahu di mana kesalahanku saja, belum tentu bisa tahu cara meminta maaf. Apalagi di kejadian yang seperti ini.
Senyum istriku menghilang dan aku harus mencari cara untuk mengembalikan senyumnya tersebut. Hilangnya senyum istri, rupanya memengaruhi mood-ku sendiri. Di kantor, aku jadi tak terlalu fokus. Memikirkan entah apa. Mataku menatap layar laptop, tetapi pandanganku menerawang entah ke mana. Di saat-saat menjengkelkan seperti itu, seperti biasa, aku menghubungi teman ngopi. Kuhubungi mereka dan mengajak untuk berkumpul di warung kopi langganan kami seusai jam kerja.
Tiga orang teman langsung menyahut di grup chat dan mengiyakan ajakanku. Mereka memang bisa diandalkan. Setidaknya, ketika berkumpul dengan mereka aku bisa sedikit melepas penat. Siapa tahu di antara obrolan kami nanti, ada salah satu dari mereka yang bisa memberi saran untukku. Kalau tidak pun, tak masalah. Setidaknya aku punya teman bercerita.
***
Seusai jam makan siang, tanpa disengaja aku melihat seorang teman – seorang wanita yang sudah punya dua orang anak – bersemu merah mukanya. Seperti malu-malu. Tatapannya lurus ke arah layar laptop di dalam kubikel. Tak hirau pada hal-hal lain, termasuk padaku yang sudah berada di dekatnya.
Pada hari-hari biasa, aku tak akan terlalu hirau pada kejadian seperti ini. Tapi, hari itu, mungkin didorong oleh mood yang sedang tak menentu, aku jadi penasaran. Mengintip dan mencari tahu apa yang sedang ditonton oleh teman kantorku tersebut. Rupanya ia sedang menonton sebuah drama dari negara Asia Timur. Adegan seorang lelaki membawa setangkai mawar merah untuk wanita yang merupakan pujaan hatinya.
Demi apapun, aku tak mampu menahan rasa muak. Ia pasti membayangkan dirinya sedang menjadi pemeran wanita dalam drama yang ada di layar. Temanku itu – sekali lagi kutegaskan, wanita dengan dua anak – bersemu merah karena adegan picisan seperti ini? Tanpa bisa kutahan, aku mengeluarkan umpatan, “Bah!”
Wanita itu menoleh. Baru sadar bahwa aku ada di dekatnya. Ia menangkap wajahku yang masih tak bisa menyembunyikan rasa muak. Awalnya kupikir ia akan meledak dalam marah, namun reaksinya justru tenang sekali. Ia tersenyum, nyaris merendahkan, “Lelaki sepertimu pasti menganggap drama ini murahan. Tapi aku berani bertaruh kau tak pernah membelikan istrimu bunga apapun. Yang palsu sekali pun.”
Aku tak siap dengan ucapannya sehingga tak sanggup menjawab apa-apa.
“Aku bahkan tak yakin kau tahu bunga apa yang disukai oleh istrimu.”
Mulutku masih menganga tak mampu bersuara saat ia kembali melanjutkan, “Jangan heran. Aku bahkan bisa tahu teman-teman akrabmu yang lain juga tak akan jauh beda denganmu. Berpikir bahwa uang yang kalian beri setiap bulan adalah segalanya. Tak perlu lagi memberi keromantisan apapun sebab kalian pikir hal itu norak.”
Wanita itu tersenyum pelan lalu memalingkan wajah sembari memberi pamungkas, “Kau bahkan mungkin tak tahu bahwa diam-diam di rumah istrimu sedang menonton film yang sama dengan yang sedang kutonton saat ini.” Wanita itu kembali menatap laptop dan tak menunjukkan tanda-tanda ingin melanjutkan perbincangan. Tidak ada pilihan lain, aku pun kembali ke balik kubikelku. Menanti jam menunjukkan pukul empat sore, saat jam kerja usai.
***
Tidak bisa kumungkiri bahwa ucapan temanku di kantor cukup mengganggu. Di dalam kepala ini berganti-ganti antara wajah istriku yang sedang bersedih dan ucapan temanku itu seperti diputar dalam film dengan tempo yang sangat cepat. Membuatku pusing. Aku butuh kopi dan teman bercerita, namun jam empat terasa lama sekali datang.
Saat akhirnya jarum jam menunjuk angka empat, aku tak bisa memacu kendaraan dengan cepat seperti yang kubayangkan. Kepalaku masih agak pusing. Agak sulit fokus. Untuk mengalihkan pusing yang datang, aku mencoba melihat-lihat ke kanan-kiri jalanan. Saat itulah tanpa sengaja terlihat sebuah toko bunga.
Kuhentikan kendaraan dan parkir tepat di depan toko bunga itu. Di papan namanya terlihat jelas tulisan, “Menyediakan Bunga Segar”. Aku ragu sejenak. Warung kopi tempat teman-teman menunggu tak jauh lagi. Setiap kali akan ngopi, aku selalu lewat jalan ini, tapi tak pernah memerhatikan bahwa ada toko bunga di sekitar sini.
Kupaksakan – meskipun tak tahu dipaksa oleh apa dan untuk apa – diri untuk turun, membuka pintu toko kecil tersebut.
“Mau cari bunga apa?” sambut pegawai yang ada di sana.
Karena sebenarnya aku memang tak punya rencana membeli bunga, juga karena aku tak tahu apa-apa soal bunga, akhirnya yang keluar dari mulutku hanya, “Mawar. Merah. Setangkai.”
Pegawai itu dengan cekatan menyiapkan pesananku. Menambahkan sebuah bunga lain yang berukuran kecil sebagai pemanis. “Bonus,” ujarnya. Tak hanya itu, ia juga memberikan sebuah kertas kosong dan menempelkannya di dekat tangkai mawar. “Mau membuat ucapan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ia tersenyum. Lalu menyerahkan bunga. Aku menerimanya dengan canggung. Menyerahkan uang dan pergi, juga dengan canggung.
Sesampai di tempat ngopi, bunga itu langsung menarik perhatian kawan-kawanku. Mereka bertanya untuk siapa? Kujawab, untuk istriku. Mereka tertawa.
“Kalian tidak pernah memberikan istri kalian bunga?”
Sekali lagi mereka tertawa. Untuk apa, kata salah satu dari mereka.
“Kalian tahu bunga apa yang disukai oleh istri kalian?”
Tentu, bunga bank. Dan mereka tertawa lagi.
Aku mengangkat kedua bahuku sembari sekali lagi teringat pada ucapan teman di kantor. Melihat masih ada kertas ucapan yang belum terisi. Kuambil kertas itu dan kutuliskan:
Bunga ini akan layu, Sayang.
Tidak cintaku.
Sebab ia asli.
Juga cintaku.
Tawa teman-teman semakin kencang. Norak, kata mereka. Tapi entah kenapa aku tak terganggu. Justru tiba-tiba muncul keinginan untuk segera memberikan bunga itu pada istriku di rumah. Maka kutinggalkan mereka.
Sepanjang jalan pulang, ada sedikit rasa berdebar dalam dadaku. Aneh. Mungkin karena sebelumnya aku tak pernah membelikan bunga untuk wanita yang selama ini menemani hidupku. Mungkin juga karena aku takut istriku malah akan ikut menertawakan, sebagaimana teman-teman di warung kopi.
Debar itu masih ada saat aku akhirnya tiba di rumah. Mengetuk pintu.
Istriku menyambut, seperti biasa. Kusodorkan bunga mawar merah dengan kertas ucapan yang telah kusiapkan.
Ia terdiam. Perlahan kulihat wajahnya bersemu. Merah. Seperti malu. Sambil tetap memegang bunga itu, ia lalu memelukku. Erat sekali.
Adegan itu, aku tahu, sama persis dengan adegan di drama negara Asia Timur. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak merasa muak.
Senyum istriku telah kembali. Pusingku telah menghilang.
***
PS: Untuk Septia Utari
Bunga itu telah layu, tidak senyummu.
ART
Palembang, 10 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar