Lebih dari dua puluh tahun lalu, di tengah sesak napas
karena gas air mata, Basau jeri melihat kepala temannya bocor dihantam
pentungan oleh petugas. Sang teman sempat bingung karena ada sesuatu yang
menetes. Lalu mengerang dalam takut sekaligus sakit setelah sadar bahwa yang
menetes berwarna merah dan berasal dari kepalanya sendiri. Wajah kesakitan
serta teriak meminta ampun itu masih terekam dengan jelas di kepala Basau.
Tersemai dengan sendirinya bersama setiap tetesan darah yang jatuh.
Saat itu semua keberanian yang dipupuk sejak
berminggu-minggu sebelumnya perlahan melemah. Lalu runtuh seutuhnya saat sang
teman terus digebuk dan ditendang meskipun ia tak melawan sama sekali. Atau
justru karena ia tak melawan?
Massa mulai berpencar. Tercerai berai tak karuan arah.
Sebagian merangksek maju. Melemparkan segala batu dan benda-benda lain ke arah
petugas. Sebagian sisanya berlari mencari tempat sembunyi. Sempat ada rasa
bingung di hati Basau: menolong teman yang digebuki atau ikut yang lain untuk
berlari. Basau tak tahu. Satu hal yang ia tahu ketika itu: bahaya mengancam. Petugas-petugas
yang lain menunjuk-nunjuk ke arahnya.
Sebisa mungkin Basau berlari. Sekencang-kencangnya.
Beberapa kali ia terpeleset dan terjerembab. Beruntung para aparat tertahan
oleh banyaknya orang yang lintang pukang. Pelipis kiri Basau berdarah, kakinya
luka, dan rusuknya mungkin patah karena bertabrakan dan terinjak-injak, tapi
nasibnya lebih baik. Ia bisa selamat dan menjauh dari pusat kerusuhan.
Sebulan setelah kejadian tersebut, Basau mendapat
kabar bahwa temannya di barisan depan menghilang, mungkin diculik. Sementara, petugas masih mencari
teman-teman terdekatnya serta orang lain yang dicurigai. Tahu bahwa dirinya
masuk dalam radar, Basau meninggalkan ibu kota. Pindah ke pulau seberang.
Bertahun-tahun setelahnya, Basau masih tinggal di
tempat persembunyian. Di sebuah desa yang benar-benar jauh dari mana-mana. Berbaur
dan menjadi bagian warga transmigran. Dalam masa-masa sulit, sering kali Basau
menyesali diri. Menganggap bahwa kata-kata ayahnya dulu benar belaka. Tapi
darah muda mengguyurnya dengan amarah. Membalas dengan berkata bahwa ayah
terlalu naif serta pengecut dan tak mau peduli pada nasib bangsa.
Memang pada akhirnya Basau mulai kerasan. Di tempatnya
sembunyi ada banyak pohon. Udara sejuk. Waktu bisa dinikmati dengan hanya
bernapas. Betul. Ia tidak berlebihan. Karena bernapas di sana, terutama saat
matahari baru akan terbit, memberikan rasa lega yang luar biasa. Tak pernah
bisa ia dapatkan saat dulu masih tinggal di ibu kota. Bukan hanya itu, ia
kemudian menikahi seorang gadis dan mendapatkan seorang anak. Sebuah
penghiburan yang tak terbayangkan menyenangkan.
Hanya saja, di momen-momen tertentu, misalnya ketika
ia menganggap kunang-kunang di tepi hutan sawah serupa dengan lampu-lampu di
jalan raya yang dulu akrab dengannya, Basau tak bisa tidak ingat dengan
kehidupan lama. Tentu, selama bertahun-tahun itu, ada keinginan Basau untuk
kembali ke kota asalnya, tapi semua harus ditekan. Ia tak yakin teman-temannya
masih di tempat yang sama. Jika pun ia bertemu dengan satu saja teman semasa
masih muda dulu, ia tak bisa membayangkan dirinya harus mengaku sebagai seorang
yang begitu saja meninggalkan sesuatu yang pernah mereka sebut sebagai
perjuangan para pemuda. Tidak. Ia tak akan sanggup menceritakan kekalahannya.
***
Kekalahannya di masa lalu membuat Basau menutup
rapat-rapat segala cerita yang terkait, bahkan dengan anak dan istri sendiri. Istrinya
bisa mengerti. Tak banyak menuntut dan bertanya. Sebab mungkin ada luka yang
masih menganga. Tapi tidak dengan sang anak. Ia tak pernah puas dengan hanya
mendapatkan jawaban berupa sebuah nama kota tempat ayahnya berasal. Ia ingin
tahu lebih dari itu. Keingintahuan yang tumbuh bersama dirinya. Dari hari ke
hari. Dari tahun ke tahun. Hingga akhirnya menerbitkan sesuatu yang mendekati
obsesi.
Basau sendiri menandai tumbuhnya obsesi sang anak
muncul di saat yang sama dengan terbangunnya sebuah pabrik yang berjarak
delapan kilometer dari rumahnya. Ia juga mendapati ada beberapa persamaan
antara anaknya dengan pabrik itu. Misalnya dalam hal keras kepala. Warga desa pernah melakukan protes ke berbagai pihak terkait, tapi rupanya bangunan itu
tetap berdiri juga. Anak Basau sendiri rupanya tak mau kalah. Selama proses
pembangunan pabrik, ia berdiri di depan pagar proyek. Tak hendak beranjak.
Sesuatu yang kemudian diikuti oleh warga lain dan mendapatkan sorotan. Pembangunan
pabrik sempat terhenti, tapi hanya sebentar sebab mereka
telah mengantongi izin resmi.
Sejak kejadian itu, anak Basau menemukan bahwa ada hal
yang tidak disukai dari ayahnya. Sebabnya jelas, Basau tak pernah mau ikut
melakukan unjuk rasa dan hal yang sejenis. Bagi anak Basau, itu memalukan, naif, dan pengecut.
Saat sang anak beranjak remaja, Basau menemukan bahwa
pemuda itu mulai gemar mengebulkan asap dari mulutnya: kesamaan kedua dengan
pabrik tersebut. Bahkan, saat pihak pabrik kemudian melakukan pembakaran lahan
untuk memperluas daerah perkebunan yang ada di bawah nama mereka – asap
pembakaran begitu pekat – anak Basau tetap merasa perlu membeli batangan
tembakau untuk menambah variasi aroma asap.
Basau sendiri tidak melarang anaknya mengisap asap.
Sebab ia dulu juga begitu. Ia berhenti sebab aroma tembakau mengingatkannya
pada seorang teman yang menghilang diculik aparat. Dulu, temannya itulah satu-satunya orang
yang mampu mengimbangi Basau dalam hal mengisap dan mengebulkan asap. Hanya
saja, asap yang dikebulkan oleh pabrik serta pembakaran lahan itu sudah
berlebihan.
“Tak perlu kau tambahi lagi. Asap dari pabrik sudah
cukup,” ucap Basau pada anaknya di suatu pagi.
“Kita selalu merasa cukup, Pak. Tapi pabrik itu tidak
pernah. Aku cuma membiasakan diri dengan asap.
Lagi pula, asapku ini adalah asap perlawanan terhadap asap mereka.”
Basau tersenyum. Anaknya kurang ajar. Sama seperti dia
di masa muda.
Di hari anaknya pergi ke kota untuk melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi, Basau mendapati kenyataan baru. Ia kehilangan
udara pagi yang begitu menyejukkan dan menyenangkan sejak kedatangan pabrik. Ia
juga kehilangan anaknya yang pergi ke kota tempat ia dulu berasal. Anak itu,
mungkin sama seperti pabrik, begitu obsesif. Anaknya obsesif membuka masa lalu
sang ayah. Pabrik di desa obsesif membuka lahan baru.
Saat musim pembakaran lahan dan napas semakin sesak,
Basau mendapatkan telepon dari anaknya di kota.
“Aku sudah tahu ayah dulu tukang demo.” Kalimat itu
dilontarkan sebagai pembuka yang kemudian dilanjutkan dengan, “Tenang, Yah.
Nama ayah tidak busuk sebagai seorang pelarian seperti yang ayah khawatirkan.”
Basau hanya menjawabnya dengan terbatuk. Batuknya
lebih keras saat sang anak melanjutkan, “Teman ayah, ia
juga lari sebagai buronan dan tidak diculik oleh aparat seperti kabar yang
beredar. Anaknya sekarang jadi temanku. Kami sama-sama sering maju aksi. Seperti kalian
di masa muda.”
Di saat itu, ketimbang
penasaran dengan nasib temannya, Basau lebih ingin menceramahi anaknya. Mengatakan bahwa
ia harus menghindari kesalahan-kesalahannya di masa muda. Tapi ia tahu, hal itu
hanya akan disangkal oleh si anak. Seperti ia dulu menyangkal ayahnya.
“Besok kami akan aksi lagi. Menuntut adanya aturan tentang pembakaran lahan oleh pabrik. Aku tahu asap di sana sudah semakin parah.
Batuk ayah juga makin payah.”
Anak Basau mematikan sambungan telepon.
***
Telepon berdering, tapi tak kunjung diangkat. Anak
Basau terlalu sibuk. Matanya perih karena gas air mata. Tak hanya itu, ia merasa takut sekaligus sakit ketika sadar bahwa ada sesuatu yang menetes dari
kepalanya.
Sementara itu, di tempat lain, air menetes dari
langit. Jatuh menghantam bumi. Satu per satu dalam ritme yang begitu cepat. Basau
memegang telepon genggam. Nada tunggu tak kunjung sampai pada ujung penantian.
Basau begitu ingin memberikan kabar pada anaknya.
Bahwa hujan telah turun dengan begitu lebat. Setidaknya dalam dua jam terakhir.
Meluruhkan asap-asap yang beberapa minggu terakhir tampak begitu berkuasa,
menjadi seperti tanpa daya. Membuat udara sore jauh
lebih bersahabat.
Di antara nada tunggu yang semakin membuat jemu, Basau
tahu telah terjadi sesuatu. Televisi di
rumah mengabarkan kerusuhan yang terjadi saat mahasiswa berunjuk rasa di ibu
kota.
Asap telah semakin tipis.
Bahkan nyaris menghilang, tapi dadanya justru terasa bertambah sesak. Matanya perih. Perih
sekali. Ingatannya melayang pada kejadian dua puluh tahun lalu.
***
ART
Palembang, 3 Oktober 2019