Taman itu tidak lagi
terlihat rapi. Rumput-rumput tumbuh seenaknya. Mawar-mawar mengering.
Pohon-pohon bonsai terlihat seperti orang penuh dosa yang sakratul mautnya
begitu sulit. Kupu-kupu yang dulu sering hilir mudik di sana tak pernah muncul
lagi. Semuanya berubah begitu rupa sejak lima bulan lalu.
Dulu, setiap hari,
sejak jam sembilan sampai jam sepuluh pagi ada sepasang orang tua merawat taman
di depan rumahnya itu dengan telaten. Setiap daun mengembang hijau seolah dilap
dan dibersihkan satu demi satu. Atau mungkin memang begitu.
Setelah ‘berkebun’, keduanya
duduk di beranda. Memandangi taman mereka yang sebenarnya tidak begitu luas,
namun memang hijau dan menyejukkan. Ditemani oleh biskuit kelapa dan teh panas
tanpa gula. Saat itu, mereka akan berbincang tentang anak tunggal yang di
rantau, atau hal-hal remeh lainnya. Tiga atau empat kupu-kupu akan hinggap di tanaman
lidah mertua yang ada di pot kecil di tengah meja. Seperti ingin nimbrung dalam
perbincangan keduanya.
Semua itu jadi
pemandangan sehari-hari sampai akhirnya di suatu pagi sang suami tak lagi
merepons usapan tangan istrinya untuk membangunkannya sebagaimana biasa. Anak
tunggalnya yang merantau terpaksa pulang lebih cepat dari jadwal. Rumah beserta
tamannya dipenuhi oleh orang yang menunjukkan rasa berbela sungkawa.
***
Seminggu setelahnya,
taman kecil itu tetap tak tersentuh. Sang anak yang tahu bagaimana rutinitas
kedua orang tuanya, tidak berkomentar. Lagi pula tak mungkin membiarkan orang
tua bertaman di masa berkabung. Namun, ternyata hingga peringatan lewat seratus
hari, sang ibu tetap tak menghiraukan tamannya.
Rumpun hijau di depan
rumah sudah seperti semak belukar. Sang anak, yang sejak kematian ayahnya lebih
sering berkunjung, terpaksa merapikan taman. Namun tangannya tak setelaten sang
orang tua. Ia tak suka bertaman. Semua dilakukannya hanya agar taman itu tak
terlalu buruk dilihat tetangga. Ibunya, yang lebih banyak diam, tak bersuara
melihat anaknya seperti itu. Tidak melarang, tidak membantu. Tatapannya lurus
saja, menembus semua benda.
Mungkin karena tak
mampu menemukan cara lain, sang anak justru mempergiat aktivitas berkebunnya. Ia
bahkan rela mengajukan pindah tugas agar bisa tinggal di kota yang sama dengan
sang ibu. Frekuensi kunjungan ke rumah orang tuanya ditambah. Harapannya hanya
satu, agar sang ibu kembali bersemangat. Dengan melihatnya yang sering
berkebun, ibunya akan kembali punya daya hidup, pikirnya. Ia tahu harapan itu
bukanlah harapan kosong saat tiga bulan kemudian, ibunya tidak lagi menatap
kosong menembus semua benda. Meski demikian, ibunya masih belum bergerak. Hanya
memandang dari beranda.
Hanya pandangan, tapi itu
sudah lebih dari cukup untuk menumbuhkan harapan. Sang anak menambah lagi
jadwal berkunjung dan berkebun di rumah orang tuanya. Dari seminggu dua kali,
jadi seminggu tiga kali, lalu seminggu empat kali, hingga akhirnya ia
benar-benar berkebun di sana setiap hari. Sepulang kerja, ketika senja sedang
ranum-ranumnya, ia akan ada di taman itu, lengkap dengan mata ibunya yang
kembali bercahaya. Meskipun belum ada lagi kupu-kupu yang hinggap di bunga
manapun.
Pada senja yang
keseratus tujuh puluh tiga, saat ia hendak pamit pada ibunya setelah usai
berkebun, tanpa ia duga sang ibu tersenyum. Senyum pertama yang dikembangkan
oleh wanita itu sejak kematian suaminya. Anak tunggalnya bergetar. Terlebih
lagi, sang ibu memeluknya. Sebuah pelukan yang sudah bertahun-tahun tak pernah
ia rasakan lagi.
***
Sejak itu, sang anak
semakin serius merawat kebun. Dibelinya beberapa peralatan berkekebun.
Gerakannya masih kaku, tentu saja. Tapi itu tak masalah. Beberapa petak kebun
terlihat kembali hidup dan berseri. Dan yang paling penting, ia disambut dan
dilepas oleh ibunya dengan senyuman. Sesuatu yang tak bisa ditukar dengan
apapun. Ia yakin, waktunya semakin dekat. Ibunya akan kembali bertaman dan
‘hidup’ lagi.
Kerja kerasnya terbayar
saat empat minggu kemudian, sang ibu tidak hanya menyambutnya dengan senyum,
tapi juga dengan peralatan taman di tangan. “Ibu akan membantumu bertaman hari
ini,” suara ibunya gemetar. Ia tersenyum. Menahan air yang hampir tumpah dari
mata. Beberapa menit berikutnya, kedua anak-beranak itu sudah sibuk dengan alat
di tangannya.
Saat itulah sang anak
mencuri-curi pandang ke arah ibunya. Ayunan tangan sang ibu tetap lincah seperti dulu. Si anak sempat
tersenyum senang melihat ibunya kembali bersemangat. Namun senyum itu berubah
kalut ketika sang ibu menitikkan air mata. Sang anak tahu pasti, ibunya
terkenang saat-saat bertaman dengan sang ayah.
Setengah jam kemudian,
keduanya rehat. Duduk di beranda. Menikmati biskuit kelapa dan teh panas tanpa
gula. Berbincang tentang hal-hal remeh. Sambil memandangi taman yang kembali
hijau permai, meskipun kupu-kupu tetap belum ada yang hadir. Di tengah
perbincangan, air mata ibu kembali meleleh.
Kenangan, deritanya
memang tiada akhir.
***
Sendirian ia duduk di
beranda rumah. Menatap ke arah taman. Orang-orang baru saja pulang dari
mengungkapkan bela sungkawa. Setelah sore yang begitu indah, ibunya harus
menyusul sang ayah. Ia masih terpukau dengan nasib yang bisa begitu mudah
menunjukkan kuasa.
Matanya menatap nanar.
Terlalu menderita untuk melihat taman itu jika tak terurus kembali, namun
kembali merawat tumbuhan-tumbuhan di sana sama saja dengan menimbun dirinya
dalam penderitaan. Ia tak pernah menyangka bisa begitu terikat dengan taman.
Dua tahun yang lalu, ia sendiri tak akan mau berkotor-kotor dengan tanah demi
sebuah taman. Tapi setelah semua ini, ia sendiri bingung menentukan perasaannya
terhadap taman itu. Hanya saja, di tengah kebingungan itu, ia telah memutuskan
untuk menjual rumah. Ia harus hidup di jalannya sendiri, membentuk nasibnya
sendiri yang mungkin masih panjang.
Apabila hari itu, pukul
sembilan pagi, ia duduk di teras sambil menikmati semua yang biasa dinikmati
kedua orang tuanya, maka itulah yang dianggapnya sebagai ‘pesta perpisahan’.
Ditariknya napas dalam-dalam dan dikatupkannya kedua mata. Ketika ia membuka
mata lagi, pandangannya tertumbuk pada lidah mertua di dalam pot di atas meja.
Ia baru sadar bahwa ia telah abai pada tumbuhan kecil itu. Dicobanya untuk
mengingat-ingat dan barulah ia mahfum, dulu sebelum ia memutuskan untuk
bertaman, tumbuhan itulah yang tetap terlihat terawat sementara yang lain
sekarat. Satu-satunya tumbuhan yang dalam keterpurukan taman, setiap daunnya
tetap mengembang hijau seolah-olah setiap helai telah dilap sedemikian rupa.
Ia mencoba menggali
ingatan yang berkaitan dengan tumbuhan itu. Samar-samar, ia teringat suatu
hari, kedua orang tua itu memberikan kado ulang tahun dan doa yang tak ia
harapkan: sebuah tanaman dalam pot kecil dan doa agar ia kelak mampu melihat
sisi indah setiap tanaman selayaknya kedua orang tuanya.
Sang anak seketika
merasa dadanya penuh sesak. Mencoba menahan laju buliran air di sudut matanya.
Namun, ia tak mampu. Dan entah datang dari mana, sepasang kupu-kupu hinggap di
ujung daun tanaman di hadapannya.
***
ART.
Palembang, 24 November
2017