Bala ingin menghajar
siapapun yang bilang bahwa sakit gigi lebih baik daripada sakit hati. Bahkan,
jika bertemu di akhirat, ia akan dengan senang hati menghajar pelantun lagu
dangdut yang membuat ungkapan itu terkenal.
Lagi-lagi malam ini Bala
tak bisa tidur akibat sakit gigi. Ia tak pernah semenderita itu ketika sakit
hati. Istrinya pun ikut nelangsa melihat penderitaan yang dialami Bala.
Tiga hari penuh derita itu dilalui Bala bukan
tanpa usaha agar sakit giginya berkurang. Di hari pertama, tepatnya setelah
pulang kerja, Bala tiba-tiba merasakan sakit luar biasa di gigi geraham kiri
yang paling belakang. Sakit yang menghentak-hentak seirama dengan denyut
jantungnya. Bala ingat bahwa dulunya gigi itu berlubang dan sudah ditambal tiga
tahun lalu. Lalu kenapa sekarang sakit lagi?
Di hari itu juga Bala
mendatangi dokter gigi yang dulu menambal giginya. Setelah mengetuk-ngetuk gigi
Bala dengan alat khusus, dokter mengangguk-anggukkan kepala.
“Sepertinya tindakan
yang saya ambil tiga tahun lalu itu gagal, dan ini untuk pertama kalinya
sepanjang karier saya sebagai dokter gigi.”
“Jadi bagaimana,
Dokter?”
“Perlu tindakan dari
dokter spesialis bedah mulut.”
Dokter itu pun
memberikan sebuah surat rujukan yang berisi rekomendasi tindakan lanjutan yang
ditujukan pada dokter di rumah sakit khusus gigi. Bersama sedikit obat pereda
nyeri, dokter itu menyerahkan surat rujukan yang telah ditulisnya kepada Bala.
“Silakan tunjukkan
rujukan ini ke dokter di sana. Bapak punya asuransi kesehatan yang dari
pemerintah, kan?”
Bala mengangguk.
Sedikit senang karena merasa akhirnya kartu asuransi itu akan terpakai juga.
“Segera ya, Pak. Gigi
Bapak ini butuh penanganan segera dari ahli bedah mulut.”
Sekali lagi Bala
mengangguk. Di rumah, ia menceritakan yang terjadi pada istrinya.
***
Bala adalah pendaftar pertama di Puskesmas
pada hari itu. Ia sudah berdiri di depan pagar setengah jam sebelum jam
operasional puskesmas. Namun, di bagian administrasi, ia hanya mendapatkan
kekecewaan. Perawat di puskesmas menggelengkan kepala. “Maaf, Pak. Kartu
asuransi Bapak ini tidak bisa digunakan.”
“Lho? Kenapa?”
“Bapak menunggak
bayaran selama tiga bulan?”
“Menunggak bagaimana?
Asuransi itu kan dibayari oleh kantor saya. Gaji saya sudah dipotong setiap
bulan untuk itu.”
“Maaf, Pak. Tapi ini
belum bisa dipakai sampai Bapak melunasi tunggakan.”
Sambil menahan sakit
gigi yang semakin heboh karena obat pereda nyeri dari dokter tidak terlalu
ampuh, Bala juga terpaksa menahan marah. Lalu, di hari itu juga, ia mendatangi bendahara
kantornya. Dengan wajah yang merah padam. Membuat bendahara yang biasanya
tampak acuh tak acuh, mau tak mau jadi sangat peduli dengan Bala.
Setelah menceritakan
semua yang terjadi pada sang bendahara, Bala mendapatkan sebuah kertas berisi
salinan bukti pembayaran asuransi yang telah dipotong dari gajinya setiap
bulan.
“Kau ke kantor asuransi
itu secepatnya, tunjukkan bukti ini. Jadi blokir atas kartu asuransimu itu bisa
segera dibuka.”
Bala mengangguk. Hampir
lupa mengucapkan terima kasih dan berlalu. Ia melangkah menuju kantor asuransi
milik pemerintah itu. Giginya semakin sakit.
***
“Bapak sejak kapan
punya kartu ini?” ujar wanita manis di depannya.
“Bulan Juli.”
“Itu Bapak buat secara
mandiri atau langsung dari kantor?”
“Buat sendiri.”
“Sejak kapan
pembayarannya dialihkan ke kantor?”
Bala mengambil napas
dalam-dalam. Mencoba untuk tetap bersabar menghadapi pertanyaan yang
bertubi-tubi. Menghujat wanita manis di depannya itu di dalam hati. Setelah
cukup tenang, ia menjawab, “Sejak bulan Oktober.”
“Jadi begini, Bapak.
Sekarang ini sedang dalam masa transisi. Selama masa transisi, Bapak masih
harus tetap membayar iuran bulanan asuransi ini.”
“Gajiku sudah dipotong
sejak bulan Oktober,” nada suara Bala mulai meninggi. Ia meletakkan bukti
pemotongan gaji dengan tidak sabar ke hadapan sang wanita.
“Iya, Bapak. Mohon
maaf. Ini bukan kebijakan saya. Memang dari pusat mengharuskan seperti itu.”
“Jadi kalian menyuruhku
membayar dua kali, hah?” kali ini suara Bala benar-benar keras. Beberapa orang
yang ada di dekatnya mulai menoleh. Tertarik ingin tahu apa yang terjadi.
“Sekali lagi mohon
maaf, Bapak. Ini sama sekali bukan kebijakan dari saya. Saya hanya pegawai
rendahan yang mengikuti instruksi dari pusat.”
Bala menggebrak meja.
Satpam mulai berjalan ke arahnya. Bala bersungut, “Tak usah disuruh, aku akan
keluar dari ruangan ini segera tanpa pengawalanmu.”
***
Setelah
dihitung-hitung, tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan oleh Bala kecuali membayar
‘tunggakan’ yang dibebankan padanya. Bagaimanapun juga, biaya bedah mulut
seperti yang dikatakan dokter bisa sampai tiga kali lipat dibandingkan
‘tunggakan’ asuransinya.
Maka hal yang
selanjutnya dilakukan oleh Bala adalah pergi ke ATM, memasukkan kartu ATM-nya,
menekan nomor identitas pribadi, memencet tombol pilihan ‘pembayaran asuransi’
yang tertera di layar, dan keluar dari bilik kecil itu. Ia meringis, tak tahu
karena sakit gigi atau karena sisa uang di ATM yang bahkan untuk beli pecel
lele di pinggir jalan pun tak cukup lagi.
Satpam segera mengenali
wajah Bala ketika ia kembali ke kantor asuransi. Tampak ia bersikap waspada,
namun Bala segera berkata, “Aku datang dengan damai.” Satpam pun mempersilakan
ia masuk.
Ia berhadapan lagi
dengan wanita manis yang sama setelah menunggu antrean selama setengah jam.
Wanita itu kikuk, kentara sekali bahwa ia takut, tapi juga harus bersabar
karena yang begitu itulah pekerjaannya. Hanya saja, wanita itu jadi tidak
secerewet tadi.
Bala sedikit bersyukur
karenanya. Ia langsung menunjukkan bukti pembayaran yang telah ia lakukan di
ATM terdekat. Wanita manis itu meminta Bala untuk menunjukkan kartu
asuransinya. Setelah mengetikkan beberapa huruf di keyboard komputer, ia pun berusaha tersenyum untuk kemudian berkata
pada Bala, “Pemblokiran pada kartu Bapak telah dilepas dan kartu ini sudah bisa
dipakai kembali untuk berobat.”
Waktu sudah menunjukkan
pukul empat sore. Artinya Puskesmas pun sudah tutup. Jadi, meskipun kartu
asuransinya sudah bisa dipakai, ia tetap harus menunggu sampai besok. Bala
meninggalkan kantor asuransi yang dikelola pemerintah itu. Pipinya yang sebelah
kiri mulai bengkak. Obat dari dokter itu memang tidak berpengaruh banyak.
Istri Bala semakin tak
tega melihat kondisi suaminya, tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa.
***
Seperti hari
sebelumnya, Bala menjadi pasien pertama yang mendaftar di Puskesmas. Perawat
yang sama telah duduk di belakang meja. Bala memberikan kartu asuransinya. Sang
perawat mengecek di komputer, kartunya sudah aktif. Ia pun menanyakan keluhan
Bala dan mempersilakan Bala menuju ruang dokter gigi.
Ia sebenarnya sudah
tahu bahwa meskipun sudah ada rekomendasi dari dokter praktik yang menyatakan
ia harus ditangani segera oleh dokter spesialis bedah mulut, dia tidak bisa begitu
saja ke rumah sakit khusus gigi dan mulut. Harus mendapat surat rujukan dari
Puskesmas dulu. Dan dokter gigi di Puskesmas-lah yang nanti akan memberikan
rujukan yang dimaksud.
Sekali lagi, Bala sudah
tahu itu, tapi yang tidak dia tahu adalah, “Dokter di Puskesmas tidak boleh
langsung memberikan rujukan ke rumah sakit. Bapak harus menjalani perawatan
dulu di sini. Setidaknya dua kali berobat ke sini, baru nanti kalau masih tidak
membaik, dokter Puskesmas akan memberikan rujukan,” seperti yang dinyatakan
dokter Puskesmas.
Bala menunjukkan
rekomendasi dari dokter yang dulu menambal gigi gerahamnya yang kini sakit,
“Tapi berdasar surat ini, saya harus segera dapat tindakan dari spesialis bedah
mulut.”
“Ya, tapi ini aturan
dari pusat, Pak. Kami nggak boleh
langsung kasih rujukan untuk pasien yang baru pertama kali datang. Minimal
harus dua kali.”
Bala baru akan buka
mulut lagi ketika dokter itu berujar, “Tenang saja. Ini obat pereda nyeri.
Minggu depan Bapak ke sini lagi. Nanti saya kasih surat rujukannya.”
“Minggu depan?”
“Iya. Minggu depan.”
***
Selama satu minggu itu
Bala tak bisa tidur nyenyak. Begitu pula istrinya, ia sering menangis tanpa
suara melihat suaminya menahan sakit. Obat dari Puskesmas sama saja dengan obat
yang sebelumnya, tidak berpengaruh pada sakitnya. Bahkan pipi kiri Bala semakin
membengkak. Hanya saja ia benar-benar tak punya pilihan lain selain menunggu
dan menunggu itulah yang ia lakukan selama seminggu.
Begitu hari yang
ditunggu datang, dengan tak sabar Bala mengambil surat rujukan dari dokter. Ia
memacu sepeda motor ke rumah sakit khusus gigi dan mulut. Melewati semua proses
pendaftaran dan bertemu dengan dokter di sana.
“Ini ada infeksi yang
serius. Gigi Bapak harus dibedah segera oleh ahli bedah mulut,” ujar dokter
itu. Bala harus menahan emosi untuk kesekian kali mendengar itu sebab ia sudah
tahu sejak awal.
“Tapi ada satu masalah.
Asuransi yang Bapak gunakan ini tidak membolehkan kami mengambil tindakan pada
kunjungan pertama pasien. Ini saya kasih obat pereda nyeri untuk Bapak. Silakan
datang lagi ke sini minggu depan, dan akan langsung kami ambil tindakan.”
Bala mengambil napas
dalam-dalam, begitu dalam. Tangannya bergetar menahan emosi. Namun ia teringat
dengan saldo di ATM-nya. Ia, sekali lagi, tak punya pilihan selain tunduk pada
birokrasi ini.
Ia pulang ke rumah
dengan wajah digagah-gagahkan. Tak ingin melihat istrinya semakin sedih melihat
kondisinya.
***
Istri Bala sedang duduk
menghadap televisi. Orang ramai telah pulang dari rumahnya, para tetangga yang
datang untuk memperingati tujuh hari kematian Bala. Kini tinggal ia sendiri di
rumah itu.
Channel
televisi
berganti-ganti karena remote-nya tak
berhenti dipencet oleh istri Bala. Sampai akhirnya sang janda memilih sebuah
siaran. Konferensi pers dari pemerintah.
“Kartu asuransi
kesehatan yang merupakan program unggulan kami telah berjalan dan terus
dijalankan. Sampai akhir tahun ini, telah jutaan masyarakat Indonesia yang
menikmati fasilitas ini,” ujar seseorang berpeci hitam di layar televisi itu.
Istri Bala tertawa
mendengar suara dari kotak berwarna itu. Ia tertawa terbahak-bahak. Sampai air
matanya meleleh.
***
ART.
Banyuasin, 12 Januari
2017