Cerpen ini pernah dipublikasikan di Koran Kompas pada edisi 10 Februari 2019
Karena sudah tiga hari berturut-turut mendapatkan
mimpi yang sama, Mek memutuskan untuk bercerita perihal mimpi tersebut pada
sang suami. Tentang lelaki berpakaian putih-putih yang mengatakan bahwa Mek
akan jadi tukang urut, kemudian menyentuh bahu kanan Mek. Pagi harinya, saat
sang suami sudah duduk di kursi reot, lelaki dengan tubuh ringkih itu hanya
manggut-manggut mendengarkan cerita Mek. Menarik napas dalam-dalam. Lalu
kembali menyeruput kopi.
“Bagaimana, Pak?” Mek mengejar.
“Apanya yang bagaimana?”
“Mimpiku itu lho.”
“Ya sudah. Namanya juga mimpi.”
“Tapi sudah tiga kali, Pak.”
Suami Mek kembali menyeruput kopi.
“Pak?”
Suami Mek menghela napas panjang.
“Pak?!”
“Apa sih, Bu? Itu kan mimpi. Kenyataannya aku sudah
tiga kali ditolak kerja di tempat orang. Garap lahan Pak Minto juga sudah tidak
bisa lagi. Kamu malah bahas mimpi.”
Mek diam. Menatap lantai rumah.
***
Hingga tiga bulan lalu, suami Mek masih bisa menggarap
lahan Pak Minto. Lahan itu sebelumnya hanya lahan mati dengan rumput ilalang
setinggi orang dewasa. Setelah Mek dan suaminya datang sebagai keluarga jauh
yang merantau, Pak Minto mengizinkan keduanya untuk memanfaatkan lahan itu
untuk cocok tanam. Daripada jadi lahan tak terurus, begitu kata Pak Minto.
Dari lahan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu, Mek
dan suami mengerahkan semua kemampuan. Mereka berhasil menanam beberapa
tanaman. Hasilnya, sebagian dimakan sendiri, dan sebagian lain bisa dibawa ke
pasar untuk dijual. Tentu saja tidak banyak, tapi cukup. Cukup untuk makan mereka dan anak-anak yang
kemudian lahir tiga kali beruntun. Pendek kata, cukup untuk hidup tidak mewah.
Tentu saja, selama kurang lebih dua belas tahun di
sela-sela hidup hemat mereka, Mek dan suami masih menyisihkan uang untuk
menabung. Hanya saja sering kali tabungan itu harus terpakai untuk kehidupan
sehari-hari dan keperluan lain. Bahkan, tak jarang, mereka justru harus
berutang ke Pak Minto atau yang lain untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak,
seperti biaya melahirkan. Namun, sekuat apapun mereka menabung, tabungan itu
tak cukup untuk mempersiapkan jika suatu waktu lahan itu tak bisa lagi digarap.
Dan itulah yang terjadi.
Saat mereka sedang senang-senangnya karena tampaknya
panen akan cukup berlimpah tahun ini, Pak Minto datang mengetuk pintu rumah
kontrakan mereka yang berada sekitar tiga kilometer dari lahan garapan. Mek dan
suami sama sekali tak menyangka bahwa setelah senyum, salam, dan ramah-tamah
yang menyenangkan, Pak Minto menyampaikan, “Lahan itu sudah dijual. Ada orang
yang mau membangun mini market waralaba di sana. Kabarnya satu atau dua bulan
lagi pembangunan akan dimulai.”
Kalimatnya tidak persis seperti itu karena disampaikan
dengan berbelit-belit dan sangat hati-hati agar tidak melukai siapapun. Hanya
saja, sehalus apapun penyampaiannya, memang kenyataan itu pahit dan tidak ada
manis-manisnya.
Panen yang sudah dibayangkan oleh Mek dan suami
seketika harus menguap. Sebelum pulang, Pak Minto memberikan sebuah amplop yang
berisi uang. Pak Minto sudah menyampaikan soal tanaman yang akan segera panen,
dan pemilik tanah yang baru setuju untuk membayar ganti rugi. Setelah dihitung,
Mek dan suami memang benar-benar rugi.
Setelah Pak Minto pulang, ada tiga puluh menit yang
habis di dalam keheningan yang pekat. Baik Mek maupun suami tak bersuara.
Meskipun begitu, ada kericuhan dan kegaduhan dalam benak masing-masing.
Kericuhan yang begitu rumit dan sangat sulit untuk disalurkan sampai tak ada kata
yang keluar dari mulut keduanya.
“Bagaimana, Pak?” ucap Mek setelah tiga puluh menit
dalam kerapuhan yang memutusasakan.
“Ya mau bagaimana lagi. Kita cari penghasilan lain,
Bu.”
Tapi rupanya mencari sumber penghasilan lain bagi
kedua orang itu tidaklah mudah. Tangan mereka telah terbiasa mencangkul,
memupuk, dan menyiangi. Sementara lahan semakin sempit dan kebun orang lain
sudah punya penggarapnya sendiri.
Sebenarnya Mek dan suami takjub juga dengan
perkembangan minimarket waralaba. Bisa-bisanya ia menjangkau titik di kampung
yang letaknya ratusan kilometer dari kota provinsi. Apalagi, sebulan dari sana,
dijual pula tanah di samping lahan garapan mereka yang selama ini aktif
ditanami padi untuk kepentingan pembangunan minimarket waralaba pesaing.
Mek tahu persis bahwa petak kecil sawah itu digarap
oleh tetangganya. Karena merasa senasib, didatanginyalah tetangga itu dan
menanyakan apa yang akan mereka lakukan untuk menyambung hidup setelah tanah
itu dijual. Jawaban mereka adalah, “Merantau ke kota. Cari kerja di sana. Di
sini sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan.”
Langkah itu akhirnya dilakukan juga oleh Mek, suami,
dan anak-anak mereka. Berbekal uang ganti rugi dari pemilik baru lahan garapan
ditambahi dengan sedikit tabungan mereka, kelima anak-beranak itu nekat pergi
ke kota provinsi. Mencari kerja apa saja.
***
Di kota mereka mengontrak petak kecil di sudut gang
kumuh. Tak perlu deskripsi mendetail soal kondisi rumah kontrakan baru mereka.
Anda tentu pernah membaca di berbagai cerpen dan novel mengenai jenis-jenis
rumah di tempat seperti itu. Atau, paling tidak, pernah melihatnya di sinetron
dan acara televisi yang mengeksploitasi kemiskinan. Kurang lebih, seperti
itulah kondisi kontrakan mereka yang terbaru.
Kelanjutannya, seperti yang sudah diketahui, suami Mek
ditolak bekerja di tiga tempat yang berbeda. Mek sendiri mengalami mimpi yang
sama tiga kali berturut-turut. Di
hari-hari berikutnya, Mek juga memimpikan hal yang sama.
Ia selalu menolak. Tidak mau menjadi tukang urut. Ia
lebih memilih menjadi buruh cuci harian ketimbang menjadi tukang urut.
Sekarang, selagi menunggu suaminya mendapatkan pekerjaan, ia sudah menjadi
buruh cuci di tiga rumah berbeda. Baginya itu lebih berwibawa. Namun, semakin
ia menolak, ia justru merasa bahu kanannya – bagian yang disentuh oleh lelaki
dalam mimpi – terasa semakin sakit.
Berita baik muncul seminggu kemudian. Suaminya
diterima untuk jadi buruh bangunan dalam sebuah proyek pembangunan jembatan
layang. Dua sejoli itu bisa tersenyum sedikit lega. Menjadi buruh bangunan dan
buruh cuci di kota tentu lebih baik ketimbang tidak mengerjakan apapun di desa.
Kecuali mimpi yang terus sama setiap hari dan bahu kanan
yang semakin hari semakin sakit, tidak ada problem berarti di rumah tangga
mereka. Sampai akhirnya, seorang wanita muda dengan riasan yang sederhana namun
memancarkan pesona sesungguhnya, datang mengetuk pintu kontrakan mereka.
“Aku datang ke sini karena mimpi yang berkali-kali,”
ujarnya. Mek dan suami terpana. Belum selesai keterkejutan keduanya, wanita itu
melanjutkan, “Bahuku sakit sekali. Aku perlu tukang pijit.”
“Tidak ada yang bisa memijit di rumah ini. Anda
mungkin salah alamat,” tukas suami Mek.
Perempuan itu menggeleng. Keras dan penuh keyakinan.
“Mek namamu, bukan? Marsini nama asli? Kau yang disebut oleh lelaki di mimpiku
sebagai satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan sakit di bahuku. Tolonglah
aku.”
Demi mendengar nama aslinya disebut, Mek terperanjat.
Mungkin dirinya sendiri sudah lupa dengan nama asli yang tak pernah diucapkan
itu. Sementara itu sang suami teringat dengan mimpi yang pernah diceritakan
istrinya.
“Tolonglah. Aku akan bayar lebih mahal ketimbang rumah
spa langgananku. Sembuhkanlah bahuku, Mek,” wanita itu bertutur lancar.
“Masalahnya, aku tak bisa memijit dan benar-benar
tidak pernah.”
“Cobalah dulu, Mek. Kumohon.”
Mek diam. Menoleh pada suaminya yang kemudian
mengangkat kedua bahu dan berjalan keluar rumah. Di dalam, wanita muda itu
mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah. Memberikannya pada Mek.
“Ambil uang ini, Mek. Sebagai uang muka. Kalau benar bahuku sehat setelah kau
pijit, akan kutambahi lagi. Kalau tidak, ambil saja uang ini sebagai rasa
terima kasihku karena setidaknya kau telah mencoba. Aku sungguh tak tahan.
Sungguh. Bahu ini sudah sakit lebih dari sebulan.”
Mek menarik napas panjang. Dipersilakannya sang wanita
untuk rebah di satu-satunya kasur tipis yang ada di rumah. Wanita itu mengerti
dan membuka baju kemeja yang ia kenakan dengan kesulitan karena bahu kanannya
tak bisa bergerak dengan leluasa.
Tangan Mek menyentuh bahu itu dan dengan cara yang
sulit dijelaskan, ia bisa merasa bahwa ada satu urat kecil yang tidak berada
pada tempatnya. Urat itulah yang membuat wanita di depannya merasa sakit. Saat
Mek mencoba ‘meluruskan’ urat itu, ia merasa sakit di bahunya sendiri juga ikut
terobati. Mek benar-benar terpana dengan perasaan yang baru ia alami ini.
Rupanya, wanita muda yang dipijit Mek juga merasakan
keajaiban itu. Ia berjanji akan mempromosikan kemampuan Mek pada semua orang
yang dikenalnya. Juga meyakinkan Mek bahwa Mek akan bisa hidup jauh lebih layak
dengan kemampuannya memijit. Mek tersenyum.
Dan mungkin karena memang sifatnya yang supel, ia
mulai menceritakan detail mimpinya pada Mek. Dua wanita berbeda usia itu
sepakat bahwa mereka telah didatangi oleh orang yang sama. Sama-sama tak jelas
siapa. Obrolan mereka jadi cair setelah menceritakan mimpi aneh tersebut.
Mek sudah merasa bahwa tak lama lagi urat yang tadi
salah tempat akan segera ada di posisinya semula, saat sang wanita muda bercerita
dengan lancar bahwa ia adalah istri seorang pebisnis muda yang sukses. Suaminya
baru saja membangun sebuah minimarket waralaba di salah satu pelosok kampung di
provinsi itu, sebuah ekspansi. “Suamiku mengalami negosiasi yang cukup panjang
dengan Pak Minto, pemilik tanah, karena ia memikirkan nasib penggarap lahannya.
Tapi berkat harga yang pas, Pak Minto pun rela melepas tanahnya. Tanah yang
benar-benar strategis.”
Tinggal satu usapan jempol lagi, Mek yakin, dan urat
yang salah tempat itu akan benar-benar kembali ke tempatnya. Namun, demi
mendengar ucapan terkahir sang wanita muda, Mek merasa dirinya harus menolak
untuk memijit.