Cerpen ini pernah tersiar di Koran Pantura edisi 23 Februari 2018
Suaranya sumbang. Tidak
enak didengar. Melengking. Fals. Tidak hanya itu, makhrojul huruf pun sepertinya tak selesai ia pelajari. Ketika
digabungkan dengan sound system di
masjid kampung yang sudah ada sejak zaman kakekku masih bujangan, maka
sempurnalah paduan ketidaksempurnaan tersebut. Celakanya lagi, Pak Ridwan (sepertinya)
tidak sadar bahwa suaranya begitu menyiksa orang-orang yang mendengarnya dan ia
malah terlihat sangat suka mengumandangkan azan. Setiap hari, hampir genap lima
waktu sholat, selalu ia yang jadi muazin.
Karena paduan antara
suara fals, makhrojul huruf yang
kacau, serta sound system yang
centang perenang, azan yang dilantangkan Pak Ridwan jadinya tak hanya buruk,
tapi juga aneh. Di bagian yang harokat-nya
ia panjang-panjangkan akan terdengar suara ‘waya-waya’. Misalnya di bagian,
“Hayya ‘alashsholah” akan menjadi “Hayya ‘alahsholaaaawaya-waya”. Begitu juga
di bagian, “Hayya ‘alalfalah” akan jadi “Hayya ‘alalfalaaaawaya-waya” dan seterusnya
untuk bagian-bagian lain. Karena itulah, ia kami panggil sebagai muazin
waya-waya.
Tentu saja tidak ada
yang memanggilnya ‘muazin waya-waya’ tepat di hadapan yang bersangkutan.
Panggilan itu jadi semacam kode. Dan tentu saja, sebenarnya sudah ada upaya
dari berbagai pihak untuk memperbaiki keadaan di masjid kampung kami itu.
Demi menjaga perasaan
Pak Ridwan, sang muazin waya-waya, pengurus masjid pernah mengadakan pengajian
rutin seminggu sekali. Materi yang diberikan penceramah utamanya tentang makhrojul huruf, cara-cara pengucapan
huruf hijaiyah yang baik. Namun, seperti mengukir di atas air, semua yang
diajarkan itu lewat-lewat saja bagi Pak Ridwan yang berumur sudah lebih dari
lima puluh. Tak ada sedikit pun perubahan. Ia tetap mengucapkan huruf
sebagaimana ia mau. Memanjang-manjangkan harokat yang harusnya pendek.
Memendekkan harokat yang seharusnya panjang. Setelah lebih empat bulan, penceramah
yang memang sudah dibebankan ‘misi rahasia’ itu pun akhirnya angkat tangan. Tak
bisa lagi berbuat apa-apa. Pengajian itu pun bubar jalan.
Pernah juga tercetus
rencana untuk memanggil guru ngaji privat bagi Pak Ridwan, tapi rencana itu
dibatalkan karena timbul kekhawatiran Pak Ridwan akan tersinggung. Merasa
dirinya dipojokkan atau sejenis itu. Pengurus masjid khawatir semangat Pak
Ridwan yang tinggi itu justru akan melempem dan layu sebab merasa diremehkan.
Bagaimanapun, seseorang yang selalu semangat menyemarakkan masjid haruslah
dianggap sebagai sebuah aset, bukan? Karena itu, tidak ada lagi yang bisa
dilakukan oleh para pengurus masjid selain pasrah dan berdoa.
Hingga akhirnya
datanglah Muammar ke kampung kami. Pemuda dua puluh tahunan itu baru selesai
merantau. Menuntut ilmu di pondok pesantren terkemuka di Jawa Timur. Orang
tuanya menyambut dengan perasaan rindu setelah lama tak bertemu keturunannya.
Pengurus masjid menyambut dengan perasaan seolah ia adalah jawaban dari semua
pasrah dan doa.
Rapat kecil pengurus
masjid telah bersepakat untuk meminta Muammar supaya aktif di masjid kampung. Permintaan
yang mendapatkan anggukan pasti dari yang diminta. “Memang itu yang ditugaskan
guru saya di pondok. Pulang, harus menyebarkan yang saya dapat di perantauan.”
Begitu ujar anak muda itu. Dan dari ucapan itulah permasalahan di masjid
kampung kami dimulai.
Keesokan harinya, saat Pak
Ridwan datang ke masjid seperti biasa untuk mengumandangkan azan subuh, ia
terkejut melihat Muammar sudah ada di posisi, memegang pelantang suara. Ketika
Muammar mengeluarkan suaranya, rupa-rupanya suara itu begitu merdu. Ditambah
dengan makhrojul huruf yang tidak
usah lagi dipertanyakan. Untuk pertama kalinya sound system yang telah butut sedemikian rupa, bisa tidak
mengganggu kualitas azan yang dikumandangkan.
Untuk pertama kali
pula, seusai azan subuh itu, puluhan warga kampung datang ke masjid. Ikut salat
berjamaah. Pengurus masjid pun terkejut melihat hal itu. Jamaah subuh, di luar
bulan puasa, maksimal tujuh –selain Pak Ridwan- orang yang semuanya sudah sepuh dan semuanya
merupakan pengurus masjid itu sendiri. Seusai salat, jamaah bubar. Para
pengurus masjid saling berpandangan. Seperti ada yang ingin disampaikan, tapi
tak tahu apa.
Hingga akhirnya hal
yang mereka khawatirkan terjadi. Salah seorang jamaah subuh dadakan itu, ketika
mengambil sandal dan hendak pulang, berujar dengan santai tapi cukup nyaring
untuk terdengar oleh semua yang masih ada di masjid, “Azannya tadi bagus. Bikin
semangat ke masjid. Nggak kayak
biasa.”
Muammar tampak bingung.
Pak Ridwan tampak tersinggung. Pengurus masjid meneguk ludah.
***
Untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan, pengurus masjid memanggil Pak Ridwan. Dan
seperti yang sudah diduga walaupun tidak diinginkan, Pak Ridwan benar-benar tersinggung
dan tak suka dengan keberadaan Muammar.
“Jadi saya sudah tidak
dibutuhkan lagi sebagai muazin di sini, kan?” ujarnya.
“Tentu saja bukan
begitu. Bapak tetap akan jadi muazin sebagaimana biasa. Emmmm.. Hanya saja...
Emmm.. Muammar akan bergantian azannya dengan Bapak.”
“Itu namanya tidak
‘sebagaimana biasa’.”
Pengurus masjid terdiam
sesaat. Untungnya salah satu dari tujuh lelaki renta itu ada yang masih cukup
lincah otaknya. “Tiga bulan lagi masuk bulan puasa, Pak Ridwan.”
“Terus kenapa?”
“Bapak suka nonton
sepak bola, kan? Apa yang akan dilakukan para pelatih kalau jadwal tim mereka
lagi padat-padatnya? Rotasi pemain. Apa karena pemain bintangnya tidak bermain
bagus? Bukan. Tapi untuk jaga stamina dan menghindari cedera akibat bintang itu
kelelahan bermain.”
Kali ini Pak Ridwan
yang terdiam. Ia teringat peristiwa tahun lalu di bulan Ramadhan. Karena jadwal
ibadah bertambah, dan hampir semua (mulai dari muazin, qori’, bilal, sampai ceramah dan imam) ia ambil bagian, suaranya
jadi serak dan tak mau keluar. Akhirnya, pengurus masjid yang tujuh orang itu
ambil alih sejak pertengah Ramadhan. Napas tua mereka yang sudah satu-satu
membuat mereka juga tersiksa.
“Dan,” lanjut pengurus
masjid, “Si anak baru itu, ia hanyalah pemain pelapis. Tak akan bisa
menggantikan posisi pemain utama. Sekarang kami ingin tahu dulu pantas tidaknya
dia jadi pemain pengganti.”
Pak Ridwan setuju. Ia
akan bergantian jadi muazin di masjid kampung. Sore itu ia pulang ke rumah.
Dengan senyuman yang aneh. Seperti senyum seorang anak kecil yang tahu bahwa
rasa obat tidak enak, tapi tetap juga menelan obat itu karena terus-terusan
dibujuk dan dibilang, “Obat ini tidak pahit kok.”
***
Sebagaimana aroma
parfum, kebenaran tetap akan menyeruak dengan sendirinya. Pengurus masjid bisa
saja bermanis mulut di depan Pak Ridwan, tapi kenyataan di lapangan tidak bisa
membohongi mata. Terjadi ketimpangan yang sangat jelas, terkait jumlah jamaah
salat, setiap kali keduanya jadi muazin.
“Aku merasa terpanggil
ke masjid kalau Muammar yang azan.”
“Sama. Tidak seperti
yang satu itu ya.”
“Yang mana maksudmu?”
“Kau tahulah. Muazin
waya-waya. Dari semangat, jadi malas ke masjid kalau mendengarnya.” Lalu kedua
orang itu tertawa.
Obrolan seperti itu
tersebar dan merebak. Tanpa bisa dikendalikan. Meskipun diucapkan secara
hati-hati mungkin agar yang bersangkutan tidak mendengar, namun di kampung
kecil seperti kampung kami, obrolan itu tetap saja jadi topik populer.
Efeknya tidak pernah
diharapkan oleh siapapun, termasuk mereka yang menyebarkan obrolan itu sendiri.
Pak Ridwan jadi pemurung. Muammar jadi sungkan serta tak enak hati. Masa-masa
ini menjadi masa yang paling berat bagi semua pihak. Baik Pak Ridwan maupun
Muammar sering menelat-nelatkan diri datang ke masjid, sama-sama takut menjadi
penghalang bagi yang lain untuk mengumandangkan azan. Pengurus yang semuanya
tua itu keteteran sebab azan jadi sering terlambat.
“Ini harus dihentikan.
Kita harus mengambil tindakan,” ujar salah seorang pengurus masjid.
Tapi mereka tak bisa
berbuat apa-apa. Hingga tiga minggu lebih lima hari suasana masih seperti itu. Sampai
akhirnya Tuhanlah yang bertindak. Di suatu dzuhur yang mendung, ketika Pak
Ridwan mengumandangkan azan, tiba-tiba ia seperti tersedak dan terdengar suara
seperti orang mendengkur tepat di bagian ‘waya-waya’. Dua detik kemudian lelaki
paruh baya itu ambruk. Tak sadarkan diri. Bunyi microphone berdenging.
Semua yang ada di dalam
masjid segera mendekat. Dengan wajah panik mereka mencoba mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Seorang mengambil air putih untuk dipercikkan ke wajah Pak
Ridwan. Seorang lagi mengambil air untuk diminum jika Pak Ridwan nanti
terbangung. Seorang lagi berlari ke rumah Pak Ridwan untuk memanggil
keluarganya. Sisanya, mengerumuni lelaki itu. Menepuk-nepuk pipinya sembari
memanggil-manggil. Namun tak ada respons. Tak ada jawaban. Butuh waktu sampai
lima belas menit untuk meyakinkan mereka semua bahwa Pak Ridwan telah diajak
pulang oleh-Nya.
Di antara isak tangis
keluarga, akhirnya disepakati bahwa jenazah akan segera dimandikan seusai salat
dzuhur. Sebab memang tidak ada keluarga yang harus ditunggu dan memandikan
jenazah serta menguburkannya harus disegerakan. Saat mengucapkan ‘seusai salat dzuhur’,
barulah orang-orang tersadar bahwa mereka belum ada yang melaksanakan kewajiban
itu karena Pak Ridwan sendiri meninggal di saat mengumandangkan azan.
Maka dipanggillah
Muammar untuk segera melantangkan panggilan salat. Wajah dan ekspresi Muammar memang
tampak lebih suram dari biasanya. Ia seperti diselimuti awan kelabu. Tertunduk
murung. Suara yang ia lantangkan juga terdengar sedikit lebih serak dari biasa,
walau tetap saja terdengar merdu. Karena suaranya dan kefasihannya, seperti ada
hening yang tercipta saat ia azan. Rasa-rasanya kepanikan yang tadi melanda
menguap begitu saja. Sampai, entah kenapa, untuk pertama dan terakhir kalinya,
aku mendengar Muammar mengeluarkan suara, “Hayya ‘alahsholaaaawaya-waya.”
Semua yang ada di
masjid, termasuk aku, hampir tersedak kala itu.
ART.
Palembang, 19 Januari
2018.
Selamat Ulang Tahun,
Sanggar EKS.