Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspress edisi Maret 2018
Bosku itu sepertinya
ketagihan untuk marah. Sehari saja ia tidak marah, mungkin akan muncul sariawan
di mulutnya. Jadi jangan heran jika suatu hari kau bertandang atau tidak
sengaja masuk ke ruang kantor kami dan menemukan bosku sedang marah-marah.
Memang begitulah dia.
Aku dan Fajri, rekan
satu divisi di kantor ini, sudah hafal dengan sifat bos kami. Setiap hari kami
mencoba berbuat sebaik mungkin, tapi selalu saja ada kesalahan yang terlihat
oleh bos dan membuatnya marah. Awalnya kami benar-benar mengira bahwa kami
berdua adalah orang bodoh yang tidak pernah bekerja dengan becus. Namun,
lama-lama kami tahu bahwa tidak demikian adanya. Masalahnya bukan pada kami,
tapi dia.
Setelah marah, dia akan
tampak sedikit lebih tenang. Kami bahkan juga sadar bahwa lebih baik jika dia
marah pagi-pagi. Sebab dengan begitu, ia tidak akan marah lagi sampai jam
pulang. Tapi, jika dia belum marah sampai menjelang pulang, maka
berhati-hatilah. Ia akan mencaci-maki antara sepuluh sampai lima belas menit
sebelum pulang. Tentu itu akan jadi penutup yang buruk untuk sebuah hari kerja.
***
Minggu lalu, bosku
mendapatkan perintah dari bosnya. Ia disuruh untuk membuat laporan kemajuan
program divisi kami. Dan bosku itu dengan santainya menunjuk aku dengan
telunjuk yang mengarah tepat ke hidungku dan berkata, “Kau saja yang kerjakan.
Aku sudah capek. Aku sudah terlalu tua. Kau yang masih muda yang
mengerjakannya.”
Kalimat itu lagi.
Selalu. Sebenarnya aku sudah teramat sungguh sangat benar-benar muak sekali
dengan kalimat-kalimat andalannya itu.
Bayangkan! Laporan
kemajuan program divisi dibuat olehku. Lalu apa tugas dia sebagai ketua divisi?
Aku melirik pada Fajri. Menggelengkan kepala melihat kelakuan sang bos.
“Tolong ya,” imbuhnya
kemudian. Tanpa mengubah ekspresi.
***
Selain pemarah, dia
juga pelupa. Mungkin karena benar dia sudah tua. Dua tahun lagi pensiun.
Masalahnya, sering kali ia jadi marah dan menyalahkan orang lain karena
kelupaannya sendiri.
“Mana berkas yang aku
minta?”
“Berkas apa, Pak?” aku
bingung.
“Berkas yang tadi aku
minta.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Yang tentang laporan
keuangan bulan ini.”
“Sudah saya serahkan ke
Bapak tadi.”
“Iya. Tapi sekarang aku
tidak pegang berkasnya. Paling sudah kamu ambil lagi. Mana?”
Aku diam. Mencoba
menahan emosi.
“Maaf, Pak. Tadi
seingat saya yang terakhir pegang berkas itu memang Bapak,” Fajri menyela.
Tampaknya ia ikut kesal.
“Tidak ada. Aku tidak
ingat pernah memegangnya. Dengar tidak? Tidak ada. TIDAK ADA,” nada bos
meninggi.
“Nanti di-print satu rangkap lagi saja, Pak,”
Fajri menjawab.
“Jangan nanti.
Sekarang. Kerja itu jangan ditunda-tunda. Kalau nanti terus, kapan mau buatnya?
Sekarang.”
Setelah mengatakan itu,
bos kami itu kembali ke kursi kekuasaannya. Membuka gawai dan membaca gosip-gosip
terkini tentang artis nusantara. Meskipun dongkol, aku sedikit merasa lega
karena hari ini bos sudah marah. Temperamennya akan jadi sedikit lebih baik di
sisa jam kerja. Sepertinya Fajri berpikiran tak beda denganku.
Di hari yang sama,
setelah jam kerja selesai dan bos pulang, aku membereskan ruangan seadanya. Tak
sengaja kulihat di meja bos ada dua rangkap laporan keuangan bulan ini.
***
Dengan bantuan Fajri,
keesokan harinya laporan kemajuan program divisi kami pun rampung. Aku berjalan
menuju meja bos. Menyerahkan tumpukan kertas yang telah terjilid rapi itu. Bos
kami meletakkan gawainya di meja dan mengalihkan pandangan ke arah barang yang
kubawa.
“Serahkan pada –menyebut nama bosnya-. Laporan ini
ditunggunya paling lambat hari ini juga. Jam 3. Begitu tadi katanya,” ujar
bosku.
Kulihat jarum di jam
tanganku, setengah jam lagi menuju jam 3. Aku benar-benar kesal melihat tingkah
bosku ini. Tapi kulakukan juga apa yang ia perintahkan. Bagaimanapun, ia masih
bosku. Menjelang keluar dari ruangan, Fajri memberi isyarat yang berarti, “Hari
ini bos belum marah.”
Aku tahu. Artinya aku
harus menyelesaikan tugas yang diberikan ini dengan baik, sebab jika tidak, bos
akan mendapatkan alasan untuk marah.
Sepanjang perjalanan
menuju ruangan bosnya bosku, aku terus-menerus mengingat-ingat Tuhan dan
memohon agar diberikan kesabaran menghadapi semua ini. Saat sampai, sekretaris
bosnya bosku mengatakan bahwa yang aku cari sedang rapat mendadak dengan dewan
direksi. Rapatnya mungkin akan berlangsung lama.
Aku sedikit tercenung,
berpikir. Jika aku kembali ke ruanganku dan bos tahu bahwa ‘tanggung jawabku’
ini belum terlaksana, tentu ia akan mengamuk. Jadi, aku putuskan untuk menunggu
saja bosnya bosku itu selesai rapat.
Jam 3 lewat lima belas
menit, rapat itu selesai. Bosnya bosku keluar ruangan. Aku menghampiri, tapi
dia, dengan sangat sopan, memintaku untuk menunggu sebentar lagi sebab ia harus
ke toilet barang dua atau tiga menit. Tentu saja aku mengangguk.
Saat bosnya bosku itu
di dalam toilet itulah, bosku datang.
“Sudah kau berikan
belum laporan itu? Kenapa lama sekali, hah?”
Belum sempat aku
menjawab, ia melihat bahwa aku masih memegang berkas yang dimaksud. Kontan saja
wajahnya memerah. Berkas di tanganku itu diambilnya secara paksa. Dengan nada
tinggi ia berujar lantang, “Yang begitu saja tidak becus. Apa guna kau kerja di
sini, hah? Bekerja kok tidak tuntas!”
Ya. Ia mengucapkan itu
di hadapan semua dewan direksi lain yang baru keluar dari ruang rapat, dan
tentu saja di hadapan bosnya bosku yang baru keluar dari toilet. Setelah
mendengar itu, semua orang menatapku.
***
“Apa bos sudah marah
hari ini?” tanya Fajri.
Aku menggelengkan
kepala. Belum. Sekarang jam kantor tinggal sebentar lagi. Bos sedang ke toilet.
Seperti yang sudah kukatakan. Berdasarkan pengalaman, jika sampai jam segini
bos kami belum marah, ia akan mencari-cari alasan sekecil apapun untuk
dijadikan bahan amuk. Maka kami pun mengecek hal-hal apa saja yang mungkin akan
jadi alasannya untuk marah. Tidak ketemu.
Kami pasrah. Jika tidak
tahu apa yang mungkin membuatnya marah, maka tidak ada yang bisa kami lakukan
untuk mencegahnya, atau paling tidak mengurangi kadar marahnya itu.
Dalam kondisi pasrah
itu, bos kami keluar dari toilet. Berjalan menuju kursi kekuasaannya. Matanya
menyusuri ruangan, senti demi senti. Aku dan Fajri menahan napas.
“Laporan harian sudah?”
ia memulai.
“Sudah,” jawab kami
serentak.
“Sudah dicetak?”
“Sudah.”
“Dijilid?”
“Sudah.”
“Rekap harga pasaran?”
“Sudah.”
“Sudah dicek
betul-betul? Tidak ada kesalahan rekap?”
“Sudah, Pak.”
“Grafik penjualan?”
“Sudah.”
“Mana buktinya?”
Kami pun menunjukkan
hasil kerja kami masing-masing yang sudah terbaring indah di atas mejanya. Ia
membukanya. Membaca sepintas. Tampak sekali mencari-cari celah kesalahan. Tapi
sepertinya tidak ketemu. Ia mulai gelisah. Ingin segera menemukan alasan untuk
marah.
Matanya ia edarkan
sekali lagi ke seluruh sudut ruangan. Memperhatikan mili demi mili. Namun,
sepertinya tetap tidak ketemu. Karena memang semua sudah kami kerjakan dengan
sebaik mungkin. Kegelisahan bos kami semakin terlihat. Ia sudah benar-benar
ingin marah, tapi belum menemukan alasan.
Lalu, tanpa kami
sangka, ia menunjuk dua rangkap laporan keuangan bulanan yang ada di atas
mejanya.
“Kenapa laporan
keuangan bulanan ini bisa ada dua rangkap, hah?”
Hening sejenak.
“Kenapa? Kan cukup satu
saja. Ini pemborosan. Buang-buang uang.”
“Karena Bapak yang
minta,” jawabku akhirnya.
“Tidak mungkin,”
nadanya meninggi.
“Betul, Pak,” Fajri
menyela, “Waktu itu laporan sudah dibuat, tapi Bapak bilang tidak ada. Lalu
Bapak minta dibuatkan satu rangkap lagi. Makanya sekarang ada dua rangkap
laporan bulanan.”
Wajah bos kami mulai
memerah, “Jangan mengada-ada kau, ya!”
“Saya tidak
mengada-ada, Pak.”
“Kau pikir aku sudah
pelupa? Apa buktinya, hah?” bos kami meledak.
Tanpa kuduga, Fajri
mengeluarkan gawainya. Memutar rekaman suara dari kejadian beberapa hari lalu.
Aku benar-benar terkejut ketika mengetahui bahwa Fajri begitu nekat merekam
adegan itu di telepon selulernya.
Demi mendengar rekaman
itu, mulut bos kami mengatup. Wajahnya benar-benar merah kali ini. Gerahamnya
bergemelutuk. Tangannya gemetar. Matanya menatap nyalang. Ia muntab, tapi tak
bisa menyalahkan kami sebab sekarang ada bukti kuat bahwa kami tidak bersalah. Aku
menahan napas untuk menutupi rasa takut.
“Dasar, tua bangka.
Apalagi yang mau kau katakan, hah? Mau marah dengan siapa lagi kau kali ini?
Kerjamu yang tak becus, dan kau mau menyalahkan orang lain?”
Aku dan Fajri menganga,
tapi belum sempat berkata apa-apa, bos kami telah melanjutkan.
“Kau sendiri yang
lupa,” tangannya menggampar meja. “Kau pikir orang lain tak tahu, hah? Kau tua
dan tak tahu diri. Hanya mengandalkan jabatan yang tak seberapa.”
Berikutnya kata-kata
kotor yang tidak pantas untuk dituliskan di sini berhamburan keluar dari
mulutnya. Belum pernah kami saksikan dia semarah itu. Napasnya megap-megap.
Itu adalah marahnya
yang paling lama yang pernah kami saksikan. Setengah jam ia mengumpati diri sendiri
tanpa henti. Tapi, setelah setengah jam itu ia tampak puas. Benar-benar puas.
Lalu tersenyum.
Aku dan Fajri
mengernyitkan dahi. Pulang dalam bingung.
***
ART.
Banyuasin, 18 Januari
2017