Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspress edisi Februari 2018
Hanya ada dua waktu
yang bisa membuat wanita itu diam: waktu makan dan waktu tidur. Selain dua
waktu itu, ia akan terus mengoceh. Tentang apa saja, dan sebagian besarnya
berupa keluhan. Seperti pantat milik orang yang masuk angin, tak berhenti
mengeluarkan aroma negatif.
Meskipun begitu, jangan
pernah berpikir untuk membuatnya berhenti bicara dengan memberikan makanan.
Memang, wajahnya akan terlihat seperti orang terkejut saking senangnya. Memang
juga, ia akan berhenti mengoceh. Tetapi, saat ia makan, mulutnya tidak ditutup
sehingga bunyi makanan yang dikunyah akan berkecipak. Bunyi itu begitu nyaring,
cepat, dan becek, seperti disengaja. Benar-benar mengganggu.
Pun jangan berpikir kau
akan terbebas dari gangguan jika dia tertidur. Sebab selama tidur, ia akan
memproduksi suara ngorok yang berasal dari tenggorokan. Seperti bunyi orang
yang hendak membuang dahak, padahal mendengkur. Seolah-olah sebongkah dahak
hijau kental bisa melompat keluar dari mulutnya kapan saja ketika ia mendengkur
itu. Bayangkan bunyi seperti itu terus-terusan terdengar seirama napasnya saat
tidur. Bah.
Hanya karena usianya
yang beranjak sepuh, maka tak ada yang berani berterus terang menentangnya.
Namun, diam-diam semua orang di kantor mencoba untuk membuat dia berhenti
mengoceh tanpa menimbulkan bunyi-bunyi lain yang juga mengganggu.
***
Hanya ada dua pilihan
bagi orang yang berhadapan dengannya: sengsara dalam diam atau merana dalam
perlawanan. Sejauh ini, aku dan hampir semua (kalau tak bisa dibilang semua)
orang di kantor memilih yang pertama. Ada saja alasan kami: menghormati yang
tua, tidak mau mencari musuh, diam adalah emas, dan sebagainya.
Hingga di sebuah sore
yang secerah pipi gadis belia yang sedang kasmaran, bos kami mengumumkan bahwa
esok kami akan kedatangan seorang personel baru. Tenaga muda yang masih segar
dan bisa jadi calon kuat untuk regenerasi yang tua-tua. Demi mendengar itu,
sang wanita tua berkata, “Jadi menurut Bos yang tua sudah tidak berguna lagi?
Bos jangan lupa dong bahwa kondisi
kantor sekarang bisa begini ya karena jasa yang tua-tua. Yang baru bisa ada
karena ada yang lama. Jangan seolah-olah begitu dong, Bos.”
Bos diam saja mendengar
ucapan seperti itu. Tidak menjawab. Karena jika menjawab sepatah kata saja,
maka sang wanita akan membalas dengan satu wacana, bukan satu paragraf, apalagi
satu kalimat. Kadang-kadang, karena terdiamnya bos seperti ini cukup kerap
terjadi, kami yang ada di kantor jadi bingung sebenarnya siapa yang bos di
sini.
Esoknya, tidak ada lagi
bekas-bekas kecerahan pipi gadis belia yang kasmaran, sebab yang muncul justru
adalah kemurungan gadis patah hati. Di dalam kantor, terasa mendung. Petir
seolah bersiap menyambar kapan saja di antara gumpalan awan-awan hitam.
Penyebabnya tak lain adalah si anak baru.
Wanita tua yang tak
bisa diam itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Mungkin karena
merasa keberadaannya terancam dengan kedatangan tenaga muda. Maka setiap
kalimat yang ia keluarkan selalu membawa-bawa unsur ‘peran yang tua dan tidak
tahu dirinya generasi muda’.
Tentu saja
kalimat-kalimatnya menghantamkan beban hitam yang tak mudah lepas dari pikulan.
Semua juga tahu bahwa yang ditujunya adalah si anak baru, tapi
kalimat-kalimatnya menyerbu semua orang. Dibiarkannya suaranya terdengar ke
setiap sudut ruang di hati agar mengelam, hitam, dan ranggas.
Setelah hampir seharian
bekerja di bawah guyuran kata-kata penuh sindiran dari sang wanita, si anak
baru menghela napas panjang, menatap lurus wajah sang wanita, lalu berkata,
“Tahukah betapa menyebalkannya setiap suara yang keluar dari mulutmu? Aku
bertaruh kau tak pernah mendengarkan suaramu sendiri.”
Kami, termasuk bos yang
kebetulan sedang lewat, terperangah mendengar ucapan yang begitu lugu dari anak
muda itu. Dengan komposisi seperdelapan perasaan terwakili, seperdelapan
perasaan geli, dan tiga per empat perasaan cemas, kami menoleh pada sang wanita
yang tidak bisa diam. Untuk satu detik yang terasa begitu panjang, wanita itu
terdiam. Di detik berikutnya, petir menggelegar, pecah dari awan hitam yang
sejak tadi menggantung di langit-langit kantor. Badai besar menghantam.
***
Hanya ada dua
kemungkinan yang terjadi pada orang-orang yang telah melewati badai: semakin
tangguh untuk menaklukkan badai berikutnya atau trauma dibayang-bayangi
perihnya sakit yang dibawa seumur hidup. Sejujurnya aku sempat berharap bahwa
anak muda itu akan mengalami yang pertama, terus-menerus mengkonfrontasi si
wanita yang tak bisa diam. Kupikir teman-temanku yang lain juga seperti itu.
Pasalnya, bagaimanapun juga, kami butuh suara yang mewakili keresahan kami
sendiri. Tapi harapan itu lenyap sehari setelah badai besar di hari kedatangan
si anak baru.
Di hari kedua, juga
hari-hari berikutnya, anak muda tersebut melunak. Bahkan, maaf, membenyek.
Tanpa ada yang menduga, ia membawa sekotak kue yang semenggoda surga ke kantor,
menyerahkannya ke wanita yang tak bisa diam itu, dan menawarkannya sebagai
harga perdamaian. Serah terima terjadi begitu cepat. Sang wanita dengan
ekspresi khasnya yang seolah-olah terkejut saking senang menerima kue itu,
menjabat tangan si anak baru, lalu mulai mengunyah. Bunyi kecipak yang basah
dan becek pun menyerbu. Berikutnya, bermacam-macam kue silih berganti dibawakan
oleh anak baru, khusus untuk sang wanita.
Hubungan keduanya pun semakin
hari semakin membaik. Bahkan terlalu baik untuk waktu yang terlalu singkat.
Beberapa kali aku sempat melihat telepon seluler milik si anak baru tertinggal
di ruangan sang wanita. Sebuah telepon seluler yang biasanya menjadi sebuah
privasi dan menyimpan rahasia, bisa begitu saja ditinggalkan di ruangan seorang
wanita yang tak bisa mengunci mulutnya. Aku dan orang-orang di kantor mulai
mempertanyakan kedekatan apa yang sebenarnya terjadi.
Selain itu, sang wanita
juga jadi lebih sering tertidur di kantor. Mungkin karena tenaganya banyak
terkuras untuk mengunyah makanan-makanan yang dibawa si anak baru. Dengkurnya
makin parah. Aku menduga kualitas dengkur sang wanita berbanding lurus dengan
tingkat kenikmatan makanan yang ia cerna. Bunyi dengkur khas yang seperti orang
hendak membuang dahak yang kental pun tak bisa dihindari semakin sering
terdengar.
Anak baru itu tentu
tahu bisikan-bisikan yang dibawa oleh angin, ditangkap oleh dinding kantor, dan
disampaikan padanya. Di antara bisikan-bisikan itu mengatakan bahwa dia adalah
seorang penjilat berlidah lentur. Beberapa yang lain mengatakan bahwa si anak
baru hanyalah prajurit pengecut yang mencari aman sendiri di tengah desingan
peluru. Si anak baru seakan tak peduli. Ia tetap memandang kami dengan sebuah pandangan
yang tak berubah. Seolah memang bisikan-bisikan semacam itulah yang ia
harapkan.
***
Hanya ada dua hal yang
mampu menguak rahasia: waktu dan pemaksaan. Bos kami telah melakukan yang
kedua. Meminta penjelasan pada si anak baru tentang perilakunya yang seperti
telah terencana. Namun si anak baru bergeming dan berkeras bahwa jawabannya
akan dibawa oleh yang pertama. Bersabarlah, karena momennya akan tiba dalam
waktu yang tak lagi lama.
Dua hari berselang, ia
mengecek semua pengeras suara di tiap-tiap ruangan. Setelah yakin semuanya
bekerja dengan baik, ia pergi ke ruang pengendali. Berdehem-dehem sedikit lewat
microphone. Lalu berkata, “Untuk Anda
yang belum pernah menyimak suara sendiri, selamat mendengarkan.”
Orang-orang
menghentikan aktivitas karena pengumuman yang tak biasa tersebut. Wanita yang
hanya berhenti bicara di dua waktu itu, membulatkan mata. Ia seperti pernah
mendengar kalimat itu: tentang orang yang tidak pernah mendengar suaranya
sendiri. Ia yakin pernah mendengar kalimat itu, tapi tidak ingat kapan dan di
mana. Juga tidak ingat siapa yang mengatakannya.
Di saat sang wanita berusaha
mengingat-ingat, dari pengeras suara terdengar bunyi berkecipak yang basah dan
becek. Seperti bunyi orang yang sedang mengunyah. Wajah sang wanita tampak
jengkel, ia berteriak, “Bunyi apa itu? Menjijikkan sekali?”
Aku dan teman-teman
yang mendengar ucapan sang wanita kesulitan menahan tawa. Namun rupanya sang
wanita sangat serius dalam bertanya. Ia tampak sebal karena kami tidak
menjawab. Tapi itu belum apa-apa, sebab beberapa detik kemudian bunyi kecipak
itu berganti. Menjadi suara tenggorokan yang seperti hendak mengeluarkan dahak
hijau kental. Sekali lagi sang wanita mengumpat kesal, “Hentikan suara itu! Aku
bisa muntah mendengar suara seperti ini! Siapapun! Hentikan suara itu!”
Kali ini aku dan
teman-teman pecah dalam tawa. Meskipun ternyata tawa kami tak bertahan lama.
Satu menit berselang, suara yang diputar di pengeras suara sudah berubah. Kali
ini menjadi suara badai. Kata-kata yang ada dalam badai itu seperti pantat
milik orang yang masuk angin, tak berhenti mengeluarkan aroma negatif.
Wanita itu diam. Ia
mengerti. Teringat pada sosok yang dulu pernah mengucapkan frasa ‘mendengarkan
suara sendiri’. Ia juga sepertinya teringat dengan telepon genggam milik
seseorang yang sering tergeletak begitu saja di mejanya, termasuk di saat dia
makan dan tidur. Dan ia juga ingat bahwa ada teknologi bernama rekaman di dalam
benda kecil itu. Ada api yang membakar di dadanya.
***
Hanya ada dua waktu
yang bisa membuatnya diam: waktu makan dan waktu tidur. Tetapi itu dulu. Kini
ia sudah sangat jarang bersuara. Hanya matanya yang nyalang menatap semua.
Menyambarkan bara yang tak kunjung padam di dada. Setelah semua yang terjadi,
aku tak tahu lagi mana yang lebih baik untuk si wanita tua: bicara atau diam?
Sialan.
***
ART.
Indralaya, 24 Februari
2017