Kamis, 08 Februari 2018

Pendiam di Dua Waktu


Cerpen ini pernah dimuat di Magelang Ekspress edisi Februari 2018

 
Hanya ada dua waktu yang bisa membuat wanita itu diam: waktu makan dan waktu tidur. Selain dua waktu itu, ia akan terus mengoceh. Tentang apa saja, dan sebagian besarnya berupa keluhan. Seperti pantat milik orang yang masuk angin, tak berhenti mengeluarkan aroma negatif.
Meskipun begitu, jangan pernah berpikir untuk membuatnya berhenti bicara dengan memberikan makanan. Memang, wajahnya akan terlihat seperti orang terkejut saking senangnya. Memang juga, ia akan berhenti mengoceh. Tetapi, saat ia makan, mulutnya tidak ditutup sehingga bunyi makanan yang dikunyah akan berkecipak. Bunyi itu begitu nyaring, cepat, dan becek, seperti disengaja. Benar-benar mengganggu.
Pun jangan berpikir kau akan terbebas dari gangguan jika dia tertidur. Sebab selama tidur, ia akan memproduksi suara ngorok yang berasal dari tenggorokan. Seperti bunyi orang yang hendak membuang dahak, padahal mendengkur. Seolah-olah sebongkah dahak hijau kental bisa melompat keluar dari mulutnya kapan saja ketika ia mendengkur itu. Bayangkan bunyi seperti itu terus-terusan terdengar seirama napasnya saat tidur. Bah.
Hanya karena usianya yang beranjak sepuh, maka tak ada yang berani berterus terang menentangnya. Namun, diam-diam semua orang di kantor mencoba untuk membuat dia berhenti mengoceh tanpa menimbulkan bunyi-bunyi lain yang juga mengganggu.
***

Hanya ada dua pilihan bagi orang yang berhadapan dengannya: sengsara dalam diam atau merana dalam perlawanan. Sejauh ini, aku dan hampir semua (kalau tak bisa dibilang semua) orang di kantor memilih yang pertama. Ada saja alasan kami: menghormati yang tua, tidak mau mencari musuh, diam adalah emas, dan sebagainya.
Hingga di sebuah sore yang secerah pipi gadis belia yang sedang kasmaran, bos kami mengumumkan bahwa esok kami akan kedatangan seorang personel baru. Tenaga muda yang masih segar dan bisa jadi calon kuat untuk regenerasi yang tua-tua. Demi mendengar itu, sang wanita tua berkata, “Jadi menurut Bos yang tua sudah tidak berguna lagi? Bos jangan lupa dong bahwa kondisi kantor sekarang bisa begini ya karena jasa yang tua-tua. Yang baru bisa ada karena ada yang lama. Jangan seolah-olah begitu dong, Bos.”
Bos diam saja mendengar ucapan seperti itu. Tidak menjawab. Karena jika menjawab sepatah kata saja, maka sang wanita akan membalas dengan satu wacana, bukan satu paragraf, apalagi satu kalimat. Kadang-kadang, karena terdiamnya bos seperti ini cukup kerap terjadi, kami yang ada di kantor jadi bingung sebenarnya siapa yang bos di sini.
Esoknya, tidak ada lagi bekas-bekas kecerahan pipi gadis belia yang kasmaran, sebab yang muncul justru adalah kemurungan gadis patah hati. Di dalam kantor, terasa mendung. Petir seolah bersiap menyambar kapan saja di antara gumpalan awan-awan hitam. Penyebabnya tak lain adalah si anak baru.
Wanita tua yang tak bisa diam itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Mungkin karena merasa keberadaannya terancam dengan kedatangan tenaga muda. Maka setiap kalimat yang ia keluarkan selalu membawa-bawa unsur ‘peran yang tua dan tidak tahu dirinya generasi muda’.
Tentu saja kalimat-kalimatnya menghantamkan beban hitam yang tak mudah lepas dari pikulan. Semua juga tahu bahwa yang ditujunya adalah si anak baru, tapi kalimat-kalimatnya menyerbu semua orang. Dibiarkannya suaranya terdengar ke setiap sudut ruang di hati agar mengelam, hitam, dan ranggas.
Setelah hampir seharian bekerja di bawah guyuran kata-kata penuh sindiran dari sang wanita, si anak baru menghela napas panjang, menatap lurus wajah sang wanita, lalu berkata, “Tahukah betapa menyebalkannya setiap suara yang keluar dari mulutmu? Aku bertaruh kau tak pernah mendengarkan suaramu sendiri.”
Kami, termasuk bos yang kebetulan sedang lewat, terperangah mendengar ucapan yang begitu lugu dari anak muda itu. Dengan komposisi seperdelapan perasaan terwakili, seperdelapan perasaan geli, dan tiga per empat perasaan cemas, kami menoleh pada sang wanita yang tidak bisa diam. Untuk satu detik yang terasa begitu panjang, wanita itu terdiam. Di detik berikutnya, petir menggelegar, pecah dari awan hitam yang sejak tadi menggantung di langit-langit kantor. Badai besar menghantam.
***

Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi pada orang-orang yang telah melewati badai: semakin tangguh untuk menaklukkan badai berikutnya atau trauma dibayang-bayangi perihnya sakit yang dibawa seumur hidup. Sejujurnya aku sempat berharap bahwa anak muda itu akan mengalami yang pertama, terus-menerus mengkonfrontasi si wanita yang tak bisa diam. Kupikir teman-temanku yang lain juga seperti itu. Pasalnya, bagaimanapun juga, kami butuh suara yang mewakili keresahan kami sendiri. Tapi harapan itu lenyap sehari setelah badai besar di hari kedatangan si anak baru.
Di hari kedua, juga hari-hari berikutnya, anak muda tersebut melunak. Bahkan, maaf, membenyek. Tanpa ada yang menduga, ia membawa sekotak kue yang semenggoda surga ke kantor, menyerahkannya ke wanita yang tak bisa diam itu, dan menawarkannya sebagai harga perdamaian. Serah terima terjadi begitu cepat. Sang wanita dengan ekspresi khasnya yang seolah-olah terkejut saking senang menerima kue itu, menjabat tangan si anak baru, lalu mulai mengunyah. Bunyi kecipak yang basah dan becek pun menyerbu. Berikutnya, bermacam-macam kue silih berganti dibawakan oleh anak baru, khusus untuk sang wanita.
Hubungan keduanya pun semakin hari semakin membaik. Bahkan terlalu baik untuk waktu yang terlalu singkat. Beberapa kali aku sempat melihat telepon seluler milik si anak baru tertinggal di ruangan sang wanita. Sebuah telepon seluler yang biasanya menjadi sebuah privasi dan menyimpan rahasia, bisa begitu saja ditinggalkan di ruangan seorang wanita yang tak bisa mengunci mulutnya. Aku dan orang-orang di kantor mulai mempertanyakan kedekatan apa yang sebenarnya terjadi.
Selain itu, sang wanita juga jadi lebih sering tertidur di kantor. Mungkin karena tenaganya banyak terkuras untuk mengunyah makanan-makanan yang dibawa si anak baru. Dengkurnya makin parah. Aku menduga kualitas dengkur sang wanita berbanding lurus dengan tingkat kenikmatan makanan yang ia cerna. Bunyi dengkur khas yang seperti orang hendak membuang dahak yang kental pun tak bisa dihindari semakin sering terdengar.
Anak baru itu tentu tahu bisikan-bisikan yang dibawa oleh angin, ditangkap oleh dinding kantor, dan disampaikan padanya. Di antara bisikan-bisikan itu mengatakan bahwa dia adalah seorang penjilat berlidah lentur. Beberapa yang lain mengatakan bahwa si anak baru hanyalah prajurit pengecut yang mencari aman sendiri di tengah desingan peluru. Si anak baru seakan tak peduli. Ia tetap memandang kami dengan sebuah pandangan yang tak berubah. Seolah memang bisikan-bisikan semacam itulah yang ia harapkan.
***

Hanya ada dua hal yang mampu menguak rahasia: waktu dan pemaksaan. Bos kami telah melakukan yang kedua. Meminta penjelasan pada si anak baru tentang perilakunya yang seperti telah terencana. Namun si anak baru bergeming dan berkeras bahwa jawabannya akan dibawa oleh yang pertama. Bersabarlah, karena momennya akan tiba dalam waktu yang tak lagi lama.
Dua hari berselang, ia mengecek semua pengeras suara di tiap-tiap ruangan. Setelah yakin semuanya bekerja dengan baik, ia pergi ke ruang pengendali. Berdehem-dehem sedikit lewat microphone. Lalu berkata, “Untuk Anda yang belum pernah menyimak suara sendiri, selamat mendengarkan.”
Orang-orang menghentikan aktivitas karena pengumuman yang tak biasa tersebut. Wanita yang hanya berhenti bicara di dua waktu itu, membulatkan mata. Ia seperti pernah mendengar kalimat itu: tentang orang yang tidak pernah mendengar suaranya sendiri. Ia yakin pernah mendengar kalimat itu, tapi tidak ingat kapan dan di mana. Juga tidak ingat siapa yang mengatakannya.
Di saat sang wanita berusaha mengingat-ingat, dari pengeras suara terdengar bunyi berkecipak yang basah dan becek. Seperti bunyi orang yang sedang mengunyah. Wajah sang wanita tampak jengkel, ia berteriak, “Bunyi apa itu? Menjijikkan sekali?”
Aku dan teman-teman yang mendengar ucapan sang wanita kesulitan menahan tawa. Namun rupanya sang wanita sangat serius dalam bertanya. Ia tampak sebal karena kami tidak menjawab. Tapi itu belum apa-apa, sebab beberapa detik kemudian bunyi kecipak itu berganti. Menjadi suara tenggorokan yang seperti hendak mengeluarkan dahak hijau kental. Sekali lagi sang wanita mengumpat kesal, “Hentikan suara itu! Aku bisa muntah mendengar suara seperti ini! Siapapun! Hentikan suara itu!”
Kali ini aku dan teman-teman pecah dalam tawa. Meskipun ternyata tawa kami tak bertahan lama. Satu menit berselang, suara yang diputar di pengeras suara sudah berubah. Kali ini menjadi suara badai. Kata-kata yang ada dalam badai itu seperti pantat milik orang yang masuk angin, tak berhenti mengeluarkan aroma negatif.
Wanita itu diam. Ia mengerti. Teringat pada sosok yang dulu pernah mengucapkan frasa ‘mendengarkan suara sendiri’. Ia juga sepertinya teringat dengan telepon genggam milik seseorang yang sering tergeletak begitu saja di mejanya, termasuk di saat dia makan dan tidur. Dan ia juga ingat bahwa ada teknologi bernama rekaman di dalam benda kecil itu. Ada api yang membakar di dadanya.
***
Hanya ada dua waktu yang bisa membuatnya diam: waktu makan dan waktu tidur. Tetapi itu dulu. Kini ia sudah sangat jarang bersuara. Hanya matanya yang nyalang menatap semua. Menyambarkan bara yang tak kunjung padam di dada. Setelah semua yang terjadi, aku tak tahu lagi mana yang lebih baik untuk si wanita tua: bicara atau diam? Sialan.
***

ART.
Indralaya, 24 Februari 2017