Sebuah Restrospeksi Satu Tahun
Komunitas Kota
Oleh Rizqi Turama
“Ada rencana busuk apa
ini?”
Itulah pertanyaan yang
terlontar dari mulut saya pada kisaran Desember 2015. Pasalnya sepulang saya
dari merantau, ada dua orang junior saya yang menghubungi minta bertemu.
Dua-duanya saya tahu sebagai orang yang gila, gila sastra. Sebenarnya tanpa
ditanyakan pun, saya tahu maksud mereka mengajak bertemu itu.
Ada kegelisahan tentang
iklim sastra di sini. Mungkin karena mereka pikir saya punya sedikit hal yang
bisa dibagikan setelah merantau ke kota yang kehidupan sastranya begitu semarak,
mereka pun menanyakan pendapat saya. Di pertemuan itu, saya tangkap bahwa
sebenarnya mereka (juga saya) butuh wadah untuk berbagi, bercerita, bertukar pikiran,
dan sebagainya di bidang sastra. Maka saya pun menceritakan salah satu bentuk
kegiatan yang rutin dilaksanakan di PKKH UGM. Dan kami bersepakat untuk meniru
dan mengadaptasi bentuk diskusi itu.
Tanggal 9 Januari 2016,
yang kemudian disepakati sebagai hari ulang tahun Kota Kata, diskusi pertama
komunitas ini terselenggara. Diskusi pertama yang cukup meriah untuk kategori
diskusi sastra di kota ini. Bahkan diskusi tersebut diliput oleh Kompas TV
Palembang, juga didatangi oleh wartawan Sriwijaya Pos. Keberadaan Kota Kata pun
tersiar di kedua media itu. Setelah itu, saya dan teman-teman beberapa kali
diundang wawancara ke sejumlah media seperti Kompas TV Palembang pada bulan
April, ke Sriwijaya TV pada bulan Oktober, dan ke radio Trijaya FM pada bulan Desember.
Sebagai sebuah komunitas yang masih mencari bentuk, publikasi dari berbagai
media seperti itu memberikan semangat tersendiri. Semangat untuk, dalam bahasa
kekinian, eksis.
Namun, kami juga sadar
bahwa sekadar eksis tidaklah cukup. Eksis juga harus diimbangi dengan isi yang
berbobot. Maka di awal-awal terbentuknya, para pendiri Kota Kata bersepakat
untuk membuat sebuah diskusi yang terstruktur, membedah cerpen berdasarkan
unsur-unsurnya: tokoh, karakter, plot, setting, kalimat pertama, dan
seterusnya. Di masa-masa itu, hanya ada satu cerpen karya penulis terkenal yang
dibahas dalam pertemuan Kota Kata yang diadakan per dua pekan. Jika tema
pertemuan adalah plot, maka cerpen itu kami kulik habis plotnya. Jika tema
pertemuan adalah setting, jadilah setting yang kami kulik-kulik. Begitu
seterusnya.
Sampai semua unsur
pembentuk cerpen selesai, langkah berikutnya adalah membuat cerpen. Kami pun
mulai membahas cerpen buatan anak Kota Kata sendiri. Berarti, sejak itu ada dua
cerpen yang dibahas di diskusi Kota Kata: satu karya penulis terkenal, dan satu
karya anak Kota Kata. Beberapa kali diskusi diselingi dengan menulis bersama-sama.
Intinya, Kota Kata mengajak semua anggotanya untuk berkarya dan tak takut
karyanya ‘dikuliti’ agar tulisan tersebut jadi lebih baik.
Hingga kini di usianya
yang mencapai satu tahun, Kota Kata masihlah sebuah komunitas yang mencari
bentuk. Sebagaimana semua selebrasi dan peringatan penambahan usia, ada banyak
kata ‘semoga’ yang berhamburan. Di antaranya adalah semoga Kota Kata semakin
solid, semakin menunjukkan wujud dan bentuknya. Semoga dalam bentuknya di
masa-masa yang akan datang, akan ada semakin banyak orang yang merasa memiliki
Kota Kata. Sehingga jika dipanggil lagi untuk eksis di berbagai media, sudah
bukan lima pendirinya lagi yang terus-terusan tampil, tapi juga para suksesor.
Semoga dari Kota Kata lahir penulis-penulis dan tulisan-tulisan berkualitas.
Semoga apa lagi? Mari
kita lanjutkan, tidak dalam tulisan ini, tapi lewat tindakan. Tindakan-tindakan
yang membuat ‘virus’ sastra semakin tersebar di kota kita. Tindakan yang
mungkin akan memunculkan pertanyaan, “Ada rencana busuk apa lagi ini?”
ART.
Banyuasin, 9 Januari
2017.