Setiap hari ia memoles
bibir, bukan dengan lipstik, tapi dengan darah yang mengucur dari jantung
orang-orang di sekitarnya. Bibirnya yang runcing itu mampu merobek jantung
dengan sangat lincah. Tak hanya runcing, bibir itu juga tajam selayaknya
gunting yang dipakai dokter ketika akan menyunat sekelumit kulit hingga
terlepas dari tempatnya. Membuat darah menetes dan ia tadahi untuk kemudian
disapukan ke bibir.
Malam hari, sepulang
dari mengajar di universitas, ia selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Memeriksa
kondisi bibir. Jika bayangan memantulkan warna bibir yang lebih merah ketimbang
sebelum ia berangkat, senyum profesor kita akan mekar. Ia melihat senyum di
cermin itu menyerupai mawar yang merekah di pagi hari cerah dengan sedikit
embun tersisa dan berlatarkan kuning emas matahari yang belum silau, sempurna.
Namun, jika bibirnya malam itu sama merah dengan sebelum ia berangkat mengajar,
ia akan merasa menjadi orang yang merugi. Lebih parah lagi jika kadar merah di
bibir itu berkurang, sesungguhnya ia adalah orang yang celaka. Tak jarang mimpi
buruk mengetuk tidurnya dan bertandang ketika bibir itu tak semerah hari
kemarin.
“Seorang profesor
sepertiku harus selalu tampak cantik, dan wanita cantik adalah wanita yang
bibirnya selalu merah,” begitulah prinsip hidup yang dipegang teguh oleh
profesor kita. Maka jangan heran jika ia selalu membawa batu asah, itu untuk
mengasah bibirnya agar semakin runcing dan tajam hingga mempermudahnya
mendapatkan darah segar untuk dioleskan ke bibirnya.
***
Jauh hari sebelum
profesor kita menjadi profesor dan baru saja lulus sebagai doktor, tujuh tahun
lalu tepatnya, ia mendapati bahwa suaminya berselingkuh. Suaminya ingin
berkelit, tapi ketika melihat doktor itu memegang telepon genggam yang isinya
adalah percakapan mesrum (mesra dan mesum) dengan orang lain, sang suami
membatalkan niat tersebut. Dengan geraham yang bergemelutuk, napas tersengal,
dan air yang mengambang di pelupuk mata, doktor yang belum jadi profesor itu
berkata, “Aku ingin bertemu dengan selingkuhanmu.”
Sang suami berusaha
mencegah dan mengalihkan pembicaraan, tapi ia sadar bahwa istrinya adalah
seorang yang cerdas. Apalagi telepon genggam tersebut sudah di tangan sang
istri, hanya menunggu waktu kedua wanita yang ia nikmati tubuhnya tersebut akan
bertatap muka.
Karena tak ada pilihan
lain, sang suami pun mencari tempat yang aman untuk pertemuan keduanya. Ia juga
telah menyingkirkan semua barang pecah belah atau benda-benda lain yang mungkin
akan digunakan untuk saling melukai jika perkelahian terjadi. Namun, yang
terjadi justru di luar dugaan sang suami.
Sama sekali tak terjadi
perkelahian antarwanita. Tak ada saling jambak ataupun saling cakar. Mereka
hanya saling tatap dalam waktu yang entah berapa lama. Sang suami tak sempat
menghitung menit yang berlalu karena di tengkuknya ada sebuah beban yang
membuatnya hanya bisa tertunduk.
Sang doktor, selama
saling bertatapan dengan selingkuhan suaminya, sedikit kecewa karena tak ada
yang istimewa dengan fisik saingannya itu. Hanya satu yang mencolok dari wanita
yang ia laknat sepanjang sisa umurnya tersebut. Bibir. Belum pernah ia melihat
bibir yang begitu merah mengilap dan mencolok.
Ia baru akan membuka
mulut untuk bertanya kenapa bibir sang wanita selingkuhan bisa begitu merah
saat si selingkuhan menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah sudut yang teramat
tajam. Dengan sedikit gerakan, bibir itu mengarah ke jantung sang doktor.
Sedikit beruntung karena sang doktor sempat mengelak. Jantungnya selamat, tapi
ketajaman bibir itu dirasakan oleh hatinya. Mengerti bahwa sang wanita
selingkuhan bukanlah musuh yang bisa ia hadapi, sang doktor memutuskan untuk
pergi dengan hati berdarah.
Ketika hendak melangkah
pergi itulah ia sempat menoleh dan mendapatkan sang wanita selingkuhan sedang
mengoles bibir dengan darah yang tercecer dari hatinya. Hari itu merupakan hari
yang tak terlupakan oleh sang doktor. Ia menyimpulkan selingkuhan itu memiliki
sesuatu yang tak ia miliki, bibir yang begitu merah, tajam, dan runcing.
Mungkin itulah yang memikat suaminya, kecantikan yang tak ia mengerti. Sejak
hari itu juga, doktor kita memutuskan akan menunjukkan bahwa dirinya tidak
takluk.
“Aku akan memiliki
bibir yang lebih merah dari pada wanita laknat itu. Saat itu suamiku akan
mengemis untuk kembali, dan aku akan mencampakkannya dengan senang hati,”
begitu tekadnya.
***
Dari waktu ke waktu,
sang doktor terus mengasah bibir dan mulutnya agar runcing dan tajam. Namun
kemudian ia sadar bahwa itu saja tak cukup. Ia butuh jadi orang yang punya
pengaruh dan bisa tampil di depan umum agar ketajaman bibir itu bisa berguna.
Jika kariernya hanya berhenti pada level doktor, ia tak akan bisa memperluas
‘wilayah kekuasaan’. Ia harus menjadi lebih dari sekadar doktor. Di dunia
akademik, hanya level profesor yang sering diundang memberi kuliah di berbagai
tempat. Tak hanya di pulau tempatnya berada saja, tapi juga ke seluruh penjuru
nusantara. Maka ia pun mematok target baru: menjadi profesor.
Setelah berjuang
mati-matian, jilat sana-sini, meludah, terus menjilat lagi, ditambah dengan
sedikit penelitian yang ia lakukan di universitas, sedikit publikasi, jilat
lagi, ludah lagi, jilat lagi, akhirnya profesor kita mendapatkan gelar
profesor.
Ia senang bukan buatan.
Dengan jadi profesor, ia bisa mendatangi berbagai tempat. Memberikan kuliah di
sana-sini. Mendapatkan sambutan hangat di mana-mana – sebab ada banyak orang
yang mau menjilati ia sampai ke getah-getah terakhir. Dan yang lebih penting
adalah ia bisa bertemu orang banyak dan mempergunakan keruncingan mulutnya
dengan objek yang berganti-ganti.
Banyak jantung dikoyak
dan berdarah. Bibirnya semakin runcing dan merah. Ia bahagia.
***
Satu hal yang tidak
disadari oleh sang profesor adalah seiring dengan semakin tajamnya mulutnya,
mulut itu juga tumbuh semakin panjang, sedikit melengkung ke bawah. Tepatnya ke
arah jantungnya sendiri. Ia tak sadar karena ia hanya fokus pada warna merah
yang bertengger di sana. Merahnya sudah hampir sempurna. Mungkin tinggal
mendapatkan satu korban dengan kadar merah pada darah yang tepat, ia sudah akan
mencapai tingkat kesempurnaan pemilik bibir merah.
Dalam sebuah seminar
tingkat nasional, ia sumringah karena ada salah satu dosennya dulu menjadi
peserta. Darah seorang dosen senior yang telah punya banyak mahasiswa, tentu
akan lebih dari cukup. Dia akan jadi pelengkap dan penyempurna bagi ketajaman
mulutku. Setelah mendapatkan darahnya, aku akan mendatangi suamiku. Begitulah
yang dipikirkan sang profesor.
Sambil mendongakkan
kepala dan menunjuk orang yang pernah jadi dosennya itu, sang profesor berkata,
“Beliau ini dulu dosen saya, tapi sekarang saya jadi promotornya di S-3. Dulu
dia yang selalu jadi narasumber bagi saya, sekarang saya yang jadi pemateri dan
dia hanya peserta.”
Kemudian ia mengerahkan
teknik terbaik yang ia tahu untuk mengoyak jantung orang dengan menggunakan
mulut. Sial bagi sang profesor, sebab dosennya itu dilindungi oleh sebuah kaca
tak kasat mata. Kaca yang begitu keras dan tak bisa ditembus oleh mulutnya. Tak
sedikit pun dosen itu terluka.
Kenyataan itu membuat
sang profesor justru penasaran. Di sisa seminar, ia terus menggerakkan
bibirnya. Menyerang dosennya dari berbagai penjuru. Bunyi ‘ting-ting-ting’
terdengar nyaring ketika mulutnya itu bertabrakan dengan kaca pelindung dosen. Ia
mulai lelah, tapi marah.
Dengan sekuat tenaga ia
melancarkan serangan penghabisan. Berharap kaca itu akan pecah dan mulutnya
mampu mengoyak jantung sang dosen. Namun apa daya. Kaca itu bergeming. Justru
mulut sang profesor yang runcing dan bengkok itu jadi semakin bengkok. Karena
kekeraskepalaannya, mulut itu menikam jantungnya sendiri.
JLEB.
Sang profesor terkapar
dengan darah mengucur dari jantungnya. Peserta seminar panik. Beberapa pengikut
setianya menuding-nuding dosen yang terlindungi oleh kaca tak kasat mata,
mengatkan bahwa dosen itu pasti telah merencanakan pembunuhan. Beberapa yang
lain menyatakan bahwa sang profesor telah melakukan bunuh diri terencana. Sisanya,
dan jumlahnya paling banyak, hanya diam dan tak mengerti apa yang terjadi.
Sementara itu, sang
profesor megap-megap kehabisan pasokan oksigen dari jantung yang telah bolong.
Mulutnya masih menancap di jantung sehingga ia tak bisa berkata apa-apa. Hanya
bola matanya yang selama ini kering, perlahan dihiasi embun pagi. Di
detik-detik terakhir, bayangan mantan suami dan selingkuhannya melintas. Profesor
itu lalu mengembus napas terakhir, lewat hidung.
Dosennya yang sejak
tadi tak bereaksi, menitikkan air mata saat melihat anak didiknya mati. Kaca
tak kasat mata itu menghilang. Ia mendekati mayat. Orang-orang seperti tersihir
dan memberikan jalan. Perlahan dicabutnya mulut mantan mahasiswanya yang masih
menancap di jantung. Lalu terpampanglah sebuah bibir yang begitu merah.
Sempurna. Merah yang tak ada cacatnya.
Tapi bibir itu juga
begitu tajam. Tangan sang dosen terluka. Tangisnya pecah. Orang-orang
terperangah.
***
Palembang, 29 April
2016
ART.