Berikut ini ulasan subjektif saya terhadap buku karya Bli Can ini:
Bahasa yang digunakan dalam novel ini tergolong ringan. Tidak terlalu banyak bunga-bunga kata. Apalagi saya membaca buku ini setelah lebih dulu membaca Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata, yang dari halaman pertama sampai halaman akhir konsisten menggunakan kalimat yang 'meliuk-liuk'. Jadi, saya tidak mengalami banyak kesulitan dalam menikmati cerita yang disuguhkan oleh Bli Can dalam novel ini. Secara garis besar, sepertinya Bli Can ingin menggabungkan dua dunia dalam satu novel, yaitu dunia wayang dan dunia nyata, dan menurut saya, dalam beberapa poin penggabungan tersebut cukup berhasil.
Ketika bercerita tentang dunia wayang, tampak bahwa Bli Can benar-benar menguasai atau telah melakukan riset yang mendalam mengenai hal yang ia ceritakan. Saya yang terlahir bukan dari keluarga pencinta wayang sebelumnya hanya tahu sedikit-sedikit tentang cerita peperangan di padang kurusetra serta peperangan Baratayudha. Ketika membaca atau mendengarkan cerita itu pun, umumnya yang menjadi fokus cerita adalah tentang kehebatan para pandawa. Makanya, ketika mendapatkan bahwa novel ini menceritakan tentang Dewi Durga, sesuatu yang sejauh pengetahuan saya masih jarang dikait-kaitkan dengan perang besar itu, saya menjadi tertarik. Menurut saya, mengambil tokoh-tokoh minor untuk kemudian dijadikan pokok persoalan dalam sebuah cerita tersendiri selalu menarik, dan belakangan ini hal tersebut menjadi populer di kalangan beberapa penulis.
Bli Can pun tak kalah kuat saat menceritakan tentang bagian dunia nyata yang berlatar budaya Bali. Mungkin sebagian orang akan berkata hal tersebut wajar karena Bli Can adalah orang Bali. Tapi bagi saya, menjadi bagian dari masyarakat tertentu tidak menjadi jaminan bahwa kita bisa menulis budaya masyarakat tersebut dengan baik. Dengan kata lain, tetap harus ada upaya serius yang dilakukan agar bisa memahami dan menuliskan budaya tersebut menjadi cerita yang menarik. Sekali lagi, menurut saya Bli Can sukses dalam hal ini.
Hanya saja, sebagaimana bunyi peribahasa lama, tidak ada gading yang tak retak. Ada beberapa hal yang cukup mengganggu saya selama membaca Gandamayu. Pertama, sejak halaman-halaman awal, saya sudah merasakan ada bagian-bagian tertentu dari novel tersebut yang terlalu berceramah. Terutama ketika menyoroti dominasi laki-laki terhadap wanita. Mungkin karena terlalu bersemangat, atau entah karena apa, bagian tersebut seperti dipaksakan untuk hadir. Sehingga saya merasa untuk bagian-bagian yang 'berceramah' itu saya merasa kehilangan feel dari novelnya.
Hal kedua yang cukup mengganggu saya adalah sering munculnya kosa kata yang terlalu modern dan akademis ketika penulisnya bercerita tentang dunia pewayangan. Tentu tidak menjadi masalah kalau kata-kata canggih tersebut digunakan saat penulis bercerita tentang dunia nyata yang terjadi saat ini. Tapi, munculnya kata 'dominasi, diplomasi, konflik masyarakat,' dan sejenisnya saya rasa kurang pas ketika itu digunakan saat menceritakan tentang pewayangan.
Berikutnya, yang saya garis bawahi adalah persoalan dua alur cerita dalam satu novel. Memang Bli Can telah memberikan sebuah pengait antara cerita keduanya, namun saya pribadi merasa pengait yang diberi itu kurang kuat. Entah ini hanya perasaan saya saja atau memang benar adanya, namun dua cerita itu berdiri sendiri-sendiri. Saya mengharapkan ada peleburan yang lebih kuat antara keduanya dan menjadikannya sebuah cerita utuh yang benar-benar tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Mungkin peleburan antara dua dunia sebagaimana yang ditunjukkan SGA dalam Kitab Omong Kosong adalah bentuk peleburan yang saya harapkan.
Demikian ulasan saya. Sangat mungkin salah, tapi mungkin juga ada benarnya. Semoga bermanfaat.
ART.
Yogyakarta,
29 September 2015