Review Novel Ayah
Berikut ini ulasan saya mengenai buku Ayah karya Andrea Hirata. Ulasan ini
saya mulai dengan poin-poin yang dianggap sebagai kekurangan, dan saya akhiri
dengan poin-poin positif.
Pertama, tipikal. Orang-orang yang
mengikuti karya-karya Andrea Hirata sejak awal, Laskar Pelangi, sampai Ayah
pasti merasakan ada beberapa hal yang sama atau setidaknya mirip-mirip dari
satu karya ke karya yang lain sehingga ceritanya relatif bisa ditebak. Sebagai
contoh, hampir semua novel Andrea Hirata, termasuk Ayah, bercerita tentang orang udik yang melakukan perjalanan ke
kota. Orang udik itu akan merasa gumun,
kagum, terheran-heran dengan kondisi tempat yang ia datangi. Tidak jarang,
orang-orang di tempat baru tersebut juga akhirnya tak kalah gumun, kagum, dan terheran-heran dengan
orang udik itu. Dalam novel Ayah ini
yang melakukan perjalanan adalah Tamat dan Ukun. Hal berikutnya yang tipikal
adalah persoalan cinta gila. Cinta gila yang dialami Sabari pada Lena mengingatkan
pada cerita sejenis, misalnya Arai pada Zakiah Nurmala, dan tentu saja Ikal
pada A Ling. Semuanya adalah cinta yang ‘berdarah-darah’ untuk diperjuangkan,
tapi berakhir manis. Ini juga berpengaruh pada karakter tokoh yang dibangun.
Secara jujur, dalam percintaan, karakter Sabari dan Arai hampir sama. Sama-sama
pantang menyerah dan tak tahu diri walaupun sudah ditolak berkali-kali.
Poin kedua yang saya soroti adalah
persolan pembangunan logika cerita. Pertemuan Ukun dan Tamat dengan
Jonpijarelli dan Manikam adalah kebetulan yang terlalu kebetulan. Cenderung
sedikit sinetron. Membayangkan di sebuah kota yang begitu luas, bisa bertemu
dengan mantan suami Lena. Lalu ketika ke kota lain yang tak kalah luas, bertemu
dengan mantan suami Lena yang lain lagi, tepat ketika sedang ada festival
tahunan pula. Jadi terkesan kebetulan yang dipaksakan. Poin ketiga berhubungan
dengan logika cerita, yaitu adanya ‘bolong-bolong’ cerita. Setelah selesai
membaca Ayah, akan ada beberapa
pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya, “Jadi siapa itu Amirza?” atau
“Bagaimana Ukun dan Amat akhirnya bisa bertemu dengan Zorro?” dan “Kenapa Lena
akhirnya mengizinkan Zorro dibawa, padahal sebelumnya Lena membawa Zorro dengan
paksa?”
Poin keempat yang saya anggap kelemahan
dalam novel ini adalah alur yang mudah ditebak. Ini berkaitan dengan poin
pertama, karena ceritanya tipikal dengan cerita-cerita sebelumnya. Persoalan
surat cinta palsu dari Lena untuk Sabari di majalah dinding, kehamilan Lena,
pengambilan paksa Zorro, dan kembalinya Zorro ke Sabari adalah contoh
bagian-bagian yang mudah ditebak tersebut. Tidak ada kejutan.
Berikutnya, seperti yang sudah saya
nyatakan, saya akan membahas kelebihan-kelebihan yang ada dalam novel Ayah ini.
Kelebihan pertama adalah tetap adanya
humor-humor segar. Humor hiperbolik yang cerdas dari Andrea Hirata. Bahkan di
novel ini ada jenis humor baru yang dilontarkan oleh Andrea Hirata, yaitu block, ctrl, copy, paste. Kelebihan
kedua adalah tetap adanya mitos-mitos baru. Mitos-mitos yang entah benar
beredar atau tidak. Pada buku-buku sebelumnya, ada mitos tentang awal musim
hujan di tanggal tertentu di bulan tertentu akan membawa keberuntungan. Di buku
Ayah, ada mitos tentang senja
berwarna biru. Kelebihan ini di satu sisi mungkin terlihat seperti kelemahan
karena bersifat tipikal, tapi berbeda. Sebab mitos-mitos yang dibawa selalu
baru dan tidak jamak diketahui. Berikutnya adalah adanya eksplorasi-eksplorasi
estetis yang dilakukan Andrea Hirata di dalam novel ini. Misalnya adalah
tentang struktur alur waktu yang tidak linear seperti terdapat dalam
karya-karya sebelumnya. Di novel ini alurnya waktunya fragmentaris, ada flashback, tidak melulu alur maju. Dalam
karya teranyarnya ini juga terlihat bahwa ‘aku’ tidak lagi menjadi dominan.
Yang dominan adalah sudut pandang ‘dia’. ‘Aku’ hanya sedikit sekali berperan,
yaitu di bagian akhir novel. Terakhir, adalah tentang perkembangan kemampuan
naratif Andrea Hirata. Sejak Laskar
Pelangi sampai Ayah terasa
kemampuan bercerita Andrea Hirata terasa semakin matang. Cerita disampaikan
dengan semakin mengalir. Membuat orang semakin terlibat di dalam
cerita-ceritanya. Bisa tertawa di satu bab, namun menangis di bab yang lain.
Kemampuan naratifnya inilah yang menurut saya menjadi titik utama dan mampu
mengatasi semua kelemahan yang telah saya paparkan di awal. Sebab dengan
kemampuan bercerita yang baik, orang tidak lagi begitu mempedulikan adanya
ketipikalan tokoh dan karakter, logika yang kurang pas, ataupun alur yang
tertebak. Semua tidak menjadi masalah karena semua disampaikan dengan apik dan
rapi. Andrea Hirata juga semakin menegaskan bahwa sebagai penulis, kita harus
bisa menggali sebuah cerita sederhana menjadi luar biasa. Sebab mungkin fakta
yang terjadi biasa saja, tapi lewat kata-katanya penulis mampu membuatnya
menjadi keajaiban yang mempesona.
Salam.
Rizqi Turama.
Yogyakarta, 14 Juni 2015